webnovel

The Last Night of Us

Setidaknya izinkan aku menikmati rasa cinta kami saat bersama untuk terakhir kalinya. Setelah ini aku janji, aku akan melepaskannya karena aku tidak layak bersamanya. He deserves better dan aku tidak ingin melukainya lebih lanjut. Cukup aku saja yang terluka. Pepatah bilang cinta tidak harus memiliki. Apa pepatah itu untukku? Cinta tidak memiliki itu bagaikan duri. Cinta membuatku ingin memilikinya tapi takdir tidak berpihak padaku. Biarlah duri karena tidak memiliki tertancap di hatiku asalkan dia tidak. Biarlah nantinya aku tidak memiliki cintanya lagi, yang terpenting aku masih memiliki cintaku untuknya dan aku tidak akan membiarkannya memiliki cintaku. Ia lebih pantas memiliki cinta yang lain. Karena cintaku sudah tidak bisa berbuat banyak, aku terjebak dalam sebuah ikatan yang sakral.

“Pamanmu sepertinya sangat menyayangimu sampai-sampai kau dibelikan mobil seperti ini.”

Dengar dia percaya bahwa pamanku yang membelikan mobil sialan ini padahal aku berbohong padanya. Tidak mungkin kan saat ini aku mengatakan Kevin yang memberikannya? Adam pasti bertanya siapa Kevin.

Aku mematikan mesin mobilku saat sampai di tempat tujuanku.

“Berhenti membahas mobil ini Adam. Aku merasa kau sekarang lebih menyukai mobil sialan ini dibandingkan diriku,” kataku sinis.

“Untuk apa kau cemburu terhadap benda mati?” Adam tertawa pelan, “aku tidak membahas mobilmu. Aku membahas pamanmu sayang.”

“Berarti kau menyukai pamanku di bandingkan aku!”

“Inilah yang kurindukan. Cemburumu.”

Bibirku maju mengerucut saat ia terus menggodaku tapi aku suka dengan momen-momen seperti ini.

Aku menitipkan mobil ini pada temanku. Hari ini Adam mengajakku mampir ke tempat kediamannya. Aku sengaja menitipkan mobil ini. Aku tidak ingin mobil ini sampai ketempat kediaman Adam. Khawatir kalau di mobil sialan ini ada alat pelacaknya.

Adam sempat bertanya mengapa aku tidak membawa mobil ini sampai ke rumahnya dan aku menjawabnya dengan alasan klise. Temanku ingin meminjam mobilku. Lagi, aku berbohong dan lagi ia percaya begitu saja.

***

Rumah kayu klasik yang indah. Rumah ini memang tidak besar tapi indah. Rumah ini lebih cocok untuk keluarga kecil bahagia. Sepasang suami istri dan seorang anak di dalam akan menjadikan rumah ini lebih indah. Dulu aku punya impian seperti ini tapi impian itu sepertinya harus kutelan hidup-hidup.

Sebelum kami kemari, kami berbelanja beberapa bahan makanan di supermarket dan berencana membuat makan malam di rumahnya. Sudah 7 jam aku menghabiskan waktu dengannya. Aku selalu melihat jamku saat-saat bersamanya. Waktu berlalu terlalu cepat.

Aku sibuk mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kantong plastik.

“Biar aku bantu mengiris sayurnya.”

Adam mengambil pisau dari tanganku dan tanpa membuang waktu ia langsung memotong kecil sayurannya. Dia tidak ahli dalam urusan memasak atau mengiris makanan. Dulu kami sering melakukannya dan dia selalu membuat hasil masakanku terlihat aneh.

“Ada lagi yang bisa kuiris?” tanya Adam bersemangat setelah selesai mengiris.

Aku memasukkan bahan-bahan yang sudah di racik ke dalam panci. Malam ini kami akan makan lasagna.

“Tidak. Sudah selesai. Tinggal menyajikannya saja.” bibirku menyunggingkan senyuman.

“Baunya harum.” raut wajahnya tidak sabar untuk mencicipi masakanku.

Aku menarik kursiku dan duduk. Adam sudah sejak tadi duduk di situ, menungguku menyajikan makanan di meja. Tanpa dipersilakan makan, dia mengambil sendok dan garpu lalu memakannya tanpa menawariku. Melihatnya makan saja sudah membuatku kenyang.

“Enak.” Adam menjilati bibir atasnya sambil mengusap perutnya memberi tanda bahwa ia sudah kenyang.

Menyadari piringku masih utuh, dahinya mengernyit. “Kau tidak makan?”

“Tidak. Aku sudah kenyang. Habiskan saja punyaku.”

“Bagi dua.” Adam mengedipkan matanya. Ia mengambil setengah porsi milikku lalu menghabiskannya. Bibirku tidak bisa berhenti untuk tersenyum dan hati ini serasa dihujani bunga mawar. Bunga mawar yang berduri di mana memberi kesenangan akan indahnya bunga itu dan di waktu yang bersamaan memberi luka karena durinya.

“Sejak kapan kau jadi rakus begini?”

“Aku tidak rakus. Aku hanya menikmati masakan dari orang yang kucintai. Orang-orang yang kucintai tidak pernah memasak makanan untukku kecuali dirimu,” ujarnya lembut penuh sayang.

“Siapa yang kau cintai selain diriku?” tanyaku lembut.

Sejenak Adam diam tampak berpikir. “Orang tuaku, meskipun aku tidak pernah tau siapa mereka….”

Mendengarnya hatiku seperti tersayat silet. Adam pernah bercerita bahwa saat bayi ia dibuang dan staf panti asuhan menemukannya. Di sanalah ia dibesarkan. Pria baik hati yang tidak kenal benci pada siapapun sekalipun orang tua kandungnya yang kemungkinan membuangnya. Dialah Adam. Manusia yang tak pernah lelah akan apapun. Itu yang membuatku semakin mencintainya.

“... dan dirimu. Di dunia ini yang kutahu aku hanya punya dirimu,” lanjutnya.

Aku terhenyak. Ya Tuhan, ini lebih sulit dari yang kukira. Mendengarnya akan membuatku lebih terluka dan dia juga akan sangat lebih terluka. Aku tidak peduli dengan lukaku, aku peduli dengan lukanya nanti.

“Kau tidak hanya punya diriku di dunia ini. Di luar sana banyak orang yang mencintaimu dan terkadang kita tidak menyadari itu. Kau punya mereka, orang-orang yang mencintaimu.”

Semuanya akan baik-baik saja Luna. Esok dia akan baik-baik saja. Adam pria yang bijak jadi pasti dia tak akan melakukan apapun.

Aku tidak henti-hentinya menyemangati diriku. Aku tidak ingin terlalu kalut karena pikiran-pikiran negatifku. Sudah jam 10 malam, Adam menyuruhku pulang tapi aku tidak mau. Aku ingin menghabiskan malamku bersamanya, malam terakhir kami. Awalnya dia bersikeras tidak mengijinkanku bermalam bersamanya tapi aku tetap ngotot dengan berbagai alasan yang menurutku bodoh.

Dan kalian pasti bertanya, bagaimana dengan Kevin? Apa Kevin tidak akan mencariku karena malam ini aku tidak pulang? Pagi-pagi sekali Kevin pergi ke Mexico. Dia ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggali. Dia bilang selama 4 hari akan ada di sana. Untungnya dia tidak mengajakku jadi aku bisa bermalam di mana saja dengan bebas. Dan Ally ia kembali ambil cuti selama satu minggu, jadi tidak ada yang mengetahui aku ada di apartemen atau tidak.

#Flashback beberapa jam lalu sebelum bertemu Adam#

“Selama aku pergi kau tidak boleh pergi tanpa izinku. Jika kau melakukannya maka hukuman akan menantimu. Kau mengerti?” ancam Kevin.

Kepalaku mengangguk.

“Jika butuh apapun hubungi Zak. Dia akan sigap untukmu selama aku tidak ada.”

Berhentilah membossy, gerutuku. Lagi, aku mengangguk.

“Dan ketika aku pulang, aku ingin kau berada di rumah.”

“Ya baiklah. Berhenti memberitahuku. Aku bukan anak kecil lagi. Pergilah, katanya kau ingin buru-buru.” sebenarnya aku yang lebih buru-buru. Aku sudah ada janji dengan Adam.

“Aku pergi.” ia pun pergi tapi sebelum itu, Kevin melumat bibirku dulu sebagai tanda perpisahan.

“Dasar pria mesum!” omelku sambil memukul dadanya pelan.

Satu jam setelah kepergiannya aku bertemu Adam di tempat yang telah kami janjikan.

#Flashback end#

Aku tersenyum menang karena Adam membiarkanku untuk bermalam di rumahnya. Malam terakhir.

Ada dua kamar, satu kamar Adam dan satunya lagi gudang. Adam menyuruhku untuk tidur di kamarnya sementara dia akan tidur di ruang tamu.

“Kau tidak perlu tidur di luar. Kau bisa tidur di sini.” aku menepuk-nepuk sisi ranjangku. Kau jalang Luna! Dan aku tidak peduli. Maafkan aku Tuhan.

“Kau sadar dengan apa yang kau katakan? Aku ini pria normal Luna. Tidur satu ranjang dengan seorang wanita apalagi dirimu bisa membuatku menginginkan yang lebih.”

Aku mengerti betul apa yang ia maksud. “Aku mempercayaimu kau tidak akan melakukan hal semacam itu. Sejak dulu kau selalu menjaga kehormatanku. Kau tak mungkin akan menghancurkan apa yang kau jaga selama ini dalam sekejap kan?” aku menunggunya untuk merespon tapi ia bergeming sedikit pun.

Terlalu lama melihatnya menimbang-nimbang permintaanku, aku menarik tangannya duduk di sisi ranjang. Aku tahu apa yang kuperbuat ini adalah suatu kesalahan besar dan aku berusaha menepisnya. Ini bukan salahku, salah takdir. Jadi anggap saja semua yang kulakukan ini salah takdir. Kenyataannya begitu kan? Kalau aku tidak terikat hubungan sakral dengan pria lain aku tidak mungkin berbuat seperti ini.

“Kita telah melakukan dosa besar Luna,” gumamnya.

Bukan kita tapi aku yang berdosa besar.

Bahu Adam kujadikan sebagai sandaran bantal kepalaku. Aku sedikit mendongakan kepalaku untuk menatapnya. “Kita hanya tidur di ranjang yang sama. Bukan make love,” desisku, meraba bibirnya dengan jariku.

Adam sedikit menundukan kepalanya untuk menyentuh bibirku. Aku memejamkan mataku merasakan bibirnya menempel di bibirku. Ia menciumku lembut tanpa memaksa.

Aku meremas kaosnya sambil merasakan bibirnya. Kubuka mulutku agar lidahnya bebas menjelahiku. Tidak sabar, aku mencecap lidahnya dan mengabsen setiap giginya dengan lidahku. Semua itu berlangsung cepat sampai kami hampir kehabisan nafas.

“Da-dari mana.. kau belajar ini?” tanyanya dengan nafas kami yang masih terengah-engah.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Pikiranku melayang pada Kevin saat-saat Kevin menciumku dengan panas meskipun aku tidak pernah membalas ciumannya. Kenapa Kevin melintas dipikiranku?! Dan kenapa pula rasa bersalah padanya muncul begitu saja?! Ini tidak benar Luna.

“Dari film. Kau tahu bahwa film-film di negara ini tidak di sensor saat adegan panas.”

Pembohong. Julukan baru yang pantas kudapatkan. Aku belajar ciuman itu dari Kevin tanpa sadar, bukan dari film.

“Negara ini membawa pengaruh buruk untukmu,” ejek Adam, “jangan terlalu banyak menonton film panas.”

Lihatlah dia selalu percaya dengan apa yang kukatakan. “Kau tidak curiga padaku kalau aku pernah melakukan itu pada pria lain?” pertanyaan itu begitu saja keluar dari mulutku.

“Tidak. Aku percaya padamu,” jawabnya tanpa keraguan sedikit pun. Adam mendekapku dalam pelukannya dan kepalaku masih mendongak.

Aku tertegun. “Mengapa kau begitu percaya padaku?” kali ini raut wajahku terlihat serius.

“Karena aku mencintaimu. Mencintai berarti mempercayai. Bukankah aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya? Atau kau masih ragu kalau aku mencintaimu?”

Aku tidak pernah sekali pun ragu padanya. Sikapnya sudah menunjukan rasa cintanya padaku. Hanya saja aku tidak ingin dia mempercayaiku lagi.

“Jangan terlalu mempercayaiku.” lebih tepatnya jangan mempercayaiku lagi, lanjutku dalam hati.

Tubuh Adam menegang setelah mendengar perkataanku. “Itu artinya kau memintaku untuk tidak terlalu mencintaimu," ujarnya berat.

Ya. Kalau boleh, berhentilah mencintaiku agar besok saat semuanya berubah aku tidak melihatmu terluka.

Aku tidak mengubris ucapannya karena apa yang ia katakan benar.

“Luna…,” panggilnya setelah kami saling diam cukup lama.

“Hm?”

“Apa impianmu?” tanyanya. Adam menatap lurus pada langit-langit kamar.

Mengapa Adam tiba-tiba bertanya seperti itu? Aku berpikir mencari jawaban yang tepat tapi sepertinya tidak ada jawaban yang tepat karena aku sudah tidak mempunyai impian lagi. Impianku telah tertelan takdir.

“Entahlah. Aku masih belum menemukan jawabannya. Aku merasa lahir tanpa impian,” kataku dengan nada humor, “bagaimana denganmu? Apa impianmu?”

“Setiap manusia terlahir untuk memiliki impian Luna,” ujarnya, “impianku? Sederhana, seperti….”

Aku menoleh padanya. “Seperti apa?” tanyaku mendesak.

Adam ikut menoleh. Kami saling menatap. “Memiliki keluarga bahagia dan menjadi suami serta ayah yang baik untuk calon istri anakku nantinya. Membangun keluarga kecil yang bahagia.”

Aku tersenyum penuh sayang. “Siapa pun yang menjadi istrimu nanti pasti akan sangat bahagia memiliki suami sepertimu. Suami yang akan melimpahkan semua kasih sayang terhadap keluarga kecilnya.”

“Ucapanmu seolah-olah bukan kau yang akan menjadi istriku melainkan wanita lain,” cibirnya sambil tertawa kecil.

Memang bukan aku. Aku ingin menangis menjalani semua ini. Aku tidak sanggup mendengar apapun darinya. Cukup.

Aku mendekatkan diriku padanya. “Tidak ada yang tahu siapa jodoh kita Adam. Kita sebagai manusia bisa berencana siapa jodoh kita tapi Tuhan yang menentukan,” kataku parau lalu aku membenamkan wajahku di dadanya. Menahan air mata.

Dengarlah ucapanku bak orang dewasa yang sangat mengerti akan perjalanan hidup.

Tidak ada suara yang keluar dari mulut Adam. Ia tampaknya sedang mencerna ucapanku.

Dengan lembut Adam membelai rambutku sebagai penghantar tidurku. Sekilas aku menatapnya, ia sepertinya terganggu dengan ucapanku tadi. Ada kilauan kecewa di matanya.

“Kau mengkhianatiku?” tanyanya kecewa.

Aku menggeleng kuat. “Tidak. Aku tidak mengkhianatimu.”

Aku melangkah mendekatinya tapi ia mundur menjauhiku.

Matanya berbinar hendak menangis. “Luna aku sangat mencintaimu tapi mengapa kau melakukan ini?” suaranya bergemetar. Ia semakin bergerak mundur.

“Kevin jangan mundur lagi atau kau bisa jatuh!!” teriakku ketakutan.

Kevin tidak mengindahkan perkataanku. Ia malah mundur selangkah lagi dan tubuhnya terjatuh dari jurang yang sangat juram.

“Kevin!!!!” aku terbangun dari mimpi burukku berteriak memanggil namanya.

Keringat bercucuran dari seluruh tubuhku dan deru nafasku tak beraturan. Perasaan bersalah semakin menghujaniku di tambah mimpi yang baru kualami. Tidak. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini hanya mimpi. Lagipula Kevin tidak mencintaiku. Ini hanyalah mimpi. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Tadi itu cuma mimpi buruk.

“Kevin?”

Aku terkesiap saat menyadari ia dari tadi sudah mengambil posisi duduk di sebelahku. Adam tentu saja mendengar teriakanku dan pasti ia curiga. Apa yang harus kukatakan padanya?

“Kau mimpi buruk? Siapa Kevin?” tanyanya, menatapku dalam.

Aku tahu ia sudah curiga. Terlihat dari caranya menatapku. Aku berusaha untuk menghindari menjawab pertanyaannya. Benar saja, ia tidak bertanya lebih lanjut.

***

Adam mengajakku ke sebuah taman kecil keesokan pada sore harinya. Taman ini tidak ramai, sepi. Aku tidak tahu mengapa ia tiba-tiba memaksaku untuk ikut bersamanya ke taman.

Mimpi semalam terus saja menghantuiku.

“Ada yang ingin kubicarakan," ujar kami bersamaan.

Kami berdua tersenyum setelahnya. Lucu sekali bisa bicara di waktu yang bersamaan. Aku dan Adam tampak serius tapi bedanya aku serius dengan wajah tidak tenang dan Adam serius dengan wajah senang.

“Jadi siapa dulu yang berbicara?” tanyanya. Kami berdua berdiri berhadapan cukup dekat.

“Aku," kataku dengan perasaan yang berkecambuk.

Adam tersenyum menungguku.

Ini janjiku. Aku sudah menghabiskan malamku bersamanya dan sudah saatnya aku mengakhirnya dan bicara terus-terang padanya.

Aku memejamkan mata sambil mengambil nafas dalam-dalam lalu menatapnya, menghela berat. Mengumpulkan semua keberanianku untuk mengatakannya. Mataku mulai berlinang tidak sanggup dengan apa yang akan kuucapkan.

“A-adam...,” kataku setengah berbisik, “kita harus mengakhiri hubungan kita sampai di sini.”

Senyumnya hilang, Adam menautkan alisnya. Rautnya tampak ragu dengan apa yang kuucapkan. Hampir satu menit ia seperti itu lalu akhirnya ia berucap, ”Kenapa?”

Aku menahan air mataku yang hampir terjatuh. Aku tidak boleh menangis di hadapannya atau semuanya akan menjadi sulit.

“Karena terlalu banyak alasan untuk mengakhiri hubungan ini dan tidak ada satu alasan pun untuk kita mempertahankan hubungan ini.”

Sesaat ia kembali diam lagi, menganalisa setiap perkataanku lebih lama kemudian ia menatapku serius.

“Aku tidak mengerti,” gumamnya.

Aku tahu dia mengerti, dia hanya tidak yakin dengan perkataanku. Lihat saja ekspresinya.

“Aku-.aku.." aku mengedarkan pandanganku ke bawah. Tidak sanggup menatapnya lebih lama lagi. “Aku sudah menikah,” jawabku mantap.

“Kali ini leluconmu tidak lucu Luna.”

“Ini bukan lelucon. Aku serius. Aku sudah menikah dengan pria lain.” pandanganku masih ke bawah. Tidak terasa setetes air mata jatuh dari sudut mataku.

Adam mendongakan wajahku dengan jarinya. “Tatap aku dan katakan sekali lagi.”

“Aku sudah menikah,” kataku lantang.

Mulutnya hampir terbuka lebar tapi ia mengatupnya rapat-rapat. Adam diam. Dia kosong, tatapannya kosong. Jiwanya seperti berkelana berpisah dengan raganya tapi kemudian ia kembali sadar. Mulutnya tidak mengucapkan apapun, wajahnya yang mengucapkan segalanya.

“Lalu apa artinya ini?” tanpa aba-aba, ia menciumi bibirku. Merasakannya seperti candunya selama ini. Aku tidak sanggup menolak bibir yang ia berikan padaku. Semua ini terasa indah dan perih untuk di tolak. Kedua tanganku menangkup wajahnya erat, kubalas ciumannya dengan hati terluka.

Ciuman kami terlepas begitu saja saat aku merasakan ada yang menariknya menjauh dariku. Tubuhku tidak bisa bereaksi ketika melihat pria yang kukenal menghajar wajah Adam.

Ba-ba-ba-gaimana di..a bisa di sini? gumamku gagap sekaligus terkejut.

“Keparat!!”

Satu pukulan keras mendarat di wajah Adam. Sudut bibirnya sampai mengeluarkan darah akibat pukulan itu dan Adam tersungkur ke tanah.

Adam terlalu terkejut menerima pukulan tiba-tiba itu sehingga ia tidak sempat menghindarinya ketika hantaman keras mendarat di perutnya dan wajahnya berturut-turut.

“Kevin hentikan!” Aku menarik lengannya tapi ia tidak mempedulikanku. Lengannya dengan kuat menghempaskan tanganku sehingga pantatku mendarat di tanah.

Kevin dengan bengis menarik kera leher Adam. “Berani-beraninya kau menyentuh istriku!” lalu ia berkali-kali kembali menghantam wajah Adam tanpa memberi kesempatannya untuk bernafas. Adam kembali tersungkur ke tanah. Ia sama sekali tidak berdaya. Wajahnya penuh dengan luka.

Kevin hendak memukulnya lagi tapi dengan segera aku menghampiri Adam yang tersungkur lemah lalu mendekapnya kuat dalam pelukanku agar Kevin tidak bisa menghajarnya lagi.

“Hentikan Kevin. Adam tidak bersalah!” isakku keras. Aku semakin mempererat memeluk Adam.

Ia membelalak melihatku yang sudah memeluk Adam sambil menangis. Tangan Kevin yang sudah mengepal keras melunak. Tatapannya menjadi lemah tapi kemudian ia kembali menatapku penuh amarah.

Tanpa berkata apapun. Kevin menarik lenganku dan menyeretku paksa. Aku berusaha memberontak tapi tenaganya terlalu kuat, ia malah semakin memperkuat cengkramannya. Cengkramannya itu membuat lenganku terasa perih.

“Lepaskan aku!!” teriakku keras dengan air mata yang masih membasahi pipiku.

Kevin tidak mempedulikanku. Ia terus menyeretku memaksaku masuk ke mobil. Kakiku bergerak mundur terus berontak.

“Diam atau akan kubunuh pria itu!”

Ucapannya yang dingin sontak membuatku diam dan berhenti berontak. Kevin membantingku kasar masuk ke dalam mobil. Aku bergidik ngeri menatapnya penuh ketakutan. Kevin duduk di kursi kemudi lalu ia mengambil ponselnya menelepon seseorang.

“Adam Roig di Green Park," desisnya dingin ditelepon.

“Ma-mau apa kau?” tanyaku dengan suara ketakutan.

“Menghancurkannya.” Kevin tersenyum dingin. Senyum dinginnya begitu mengerikan.

Suaranya menghancurkan diriku dalam sedetik. “Ini salahku bukan salahnya. Jangan sakiti dia!” kedua mataku masih menatapnya ngeri pada sosok yang menatapku dengan ekspresi mengeras.

Kevin tetap saja tidak mempedulikanku. Ia melaju mobilnya dengan cepat sementara aku terus memikirkan berbagai hal buruk yang akan terjadi.