Finland benar-benar patah hati. Tadinya ia sangat bahagia bisa kembali menginjakkan kaki di Singapura, namun setelah bertemu Sophia dan mendengar betapa Caspar tak mau menemuinya, dan bahkan menuduhnya selingkuh dengan Jean, hatinya merasa sangat sakit sehingga ia tak mau berlama-lama di Singapura.
Lauriel langsung menelepon maskapai dan mempercepat kepulangan mereka ke San Francisco. Tengah malam mereka sudah berada di pesawat menuju Amerika.
Finland berusaha terlihat baik-baik saja di pesawat. Ia malu bila dilihat menangis oleh penumpang lain. Tetapi ketika lampu pesawat sudah dimatikan dan para penumpang di kabin bisnis beranjak tidur, ia menangis diam-diam di kursinya.
Mereka tiba di Amerika di pagi hari setelah terbang 20 jam dan transit di Jepang sebentar. Begitu mendarat di San Francisco, hati Finland kembali terasa sesak. Wajahnya yang muram sangat diperhatikan oleh Lauriel yang dengan penuh pengertian membiarkannya sendiri.
"Kau kelihatan capek sekali. Aku bawa Aleksis ke rumahku ya, biar kau bisa beristirahat." Ia menawarkan kepada Finland setelah mereka berjalan menuju ke tempat parkir. Lauriel menaruh mobilnya di tempat parkir bandara agar mereka lebih gampang pulang ke kota.
Finland menggeleng.
"Aku tidak apa-apa... "
"Tapi kau kelihatan tidak baik-baik saja." Lauriel bersikeras. "Cutimu masih ada, kan? Kita seharusnya masih di Singapura sampai 3 hari ke depan. Bagaimana kalau aku mengajakmu berlibur? Aku baru membeli rumah di Colorado, letaknya di tepi danau, cantik sekali."
"Kau kan sudah punya rumah di San Francisco...?" tanya Finland heran.
"Rumahku di San Francisco terlalu kecil," kata Lauriel sambil mengangkat bahu. "Aku ingin Aleksis bisa menikmati udara segar pegunungan dan hidup dekat dengan alam."
Finland hanya bisa mengomel dalam hati. Rumah Lauriel yang katanya kecil itu terdiri dari dua lantai dan memiliki halaman dan taman, sesuatu yang sangat langka di San Francisco, dan harganya sudah pasti di atas 10 juta dolar. Finland sendiri sekarang tinggal di apartemen satu kamar tidur di tengah kota dengan harga sewa 1500 dolar per bulan.
"Pekerjaanku di San Francisco, aku tidak bisa pindah ke Colorado mengikutimu, dan Aleksis harus tinggal bersamaku," kata Finland menegaskan.
"Aku tahu," kata Lauriel. "Kita ke sana hanya untuk liburan."
"Oh..."
"Jadi bagaimana? Kau mau ikut ke sana dan menikmati pemandangan danau yang cantik atau mau merana di San Francisco sampai cutimu selesai?" tanya Lauriel lagi.
Dengan lesu Finland akhirnya setuju.
Lauriel ternyata hanya merendah saat ia mengatakan baru membeli rumah di Colorado. Yang sebenarnya ia baru membeli sebuah pertanian besar yang indah.
Bangunan utamanya megah sekali seperti mansion dan ada setidaknya 10 pelayan yang mengurusi bangunan utama itu saja. Letaknya di tepi sebuah danau cantik berwarna hijau biru yang mengingatkan Finland akan warna matanya. Di seberang danau ada hutan pinus yang cantik sekali dan di belakangnya terlihat pegunungan biru yang menjulang tinggi, menjadikannya seperti setting sebuah lukisan yang sangat indah.
Semua keindahan itu berhasil membuat Finland melupakan sedikit kesedihannya. Saat mereka tiba, tak henti-hentinya Finland berdecak kagum. Di belakang mansion ada padang rumput dan istal berisi kuda-kuda dan hewan ternak. Hewan-hewan seperti kelinci dan rusa masih berkeliaran dengan bebas di padang rumputnya.
"Kau kaya sekali..." Finland akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya ketika mereka sedang piknik di tepi danau bersama Aleksis. "Kau punya warisan atau apa? Aku tidak pernah melihatmu bekerja..."
"Aku sudah banyak bekerja di masa mudaku dulu. Sekarang aku hanya ingin menikmati hidup," jawab Lauriel. "Aku dulu seorang pekerja keras."
"Apa pekerjaanmu?" tanya Finland.
"Hmm... kau pernah mendengar bajak laut dengan julukan Black Bart?" tanya Lauriel. Finland menggeleng. Lauriel tersenyum simpul. Ia membuka sesuatu di Google dan memberikan ponselnya kepada Finland. "Aku adalah Black Bart."
Finland melihat di wikipedia Black Bart merupakan julukan untuk seorang bajak laut terkenal yang bernama Bartholomew Roberts yang menjadi inspirasi tokoh Pirates of Carribean yang diperankan Johnny Depp. Ia adalah seorang bajak laut muda dan tampan yang beroperasi antara tahun 1682 - 1722 dan diperkirakan berhasil menjarah lebih dari 400 kapal selama kariernya. Walaupun sangat sukses ia membenci foya-foya, tidak mengizinkan adanya penumpang wanita di kapal dan melarang anak buahnya minum alkohol berlebihan. Ia mati dalam pertempuran dengan kapal perang Inggris dan kematiannya membuat sangat banyak anak buahnya berduka.
"Black Bart mati dalam pertempuran dengan kapal perang Inggris..." kata Finland.
"Aku masih hidup, kan? Kami memang biasa memalsukan kematian dengan pindah ke negara lain dan mengambil identitas baru." Lauriel mengangkat bahu. "Harta yang kukumpulkan selama puluhan tahun menjadi bajak laut sudah lebih dari cukup untuk hidup selamanya, aku juga berinvestasi dan banyak benda kuno yang kumiliki sejak dulu sekarang harganya sudah menjadi sangat mahal. Kekayaanku yang terkumpul selama 500 tahun ini sudah lebih dari cukup..."
Finland seketika ingat sesuatu. Rasanya ia pernah mendengar Caspar dan Flora berbicara tentang Lauriel saat ia datang ke Jerman.
"Namamu Lauriel?" tanyanya kemudian.
"Benar. Aku sudah bilang, kan?"
"Oh.... Kau alchemist tertua itu?"
"Uhm... kau membuatku merasa tidak enak dengan nada pertanyaanmu begitu. Memangnya kenapa kalau aku paling tua? Apakah itu hal yang buruk?" Lauriel menatap Finland lekat-lekat. "Seorang pria itu seperti fine wine, semakin tua semakin baik rasanya dan semakin mahal harganya."
"Uhm.. bukan begitu. Kau masih kelihatan seperti berumur 25 tahun," kata Finland. "Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya hidup seperti kalian. Aku pernah bertanya kepada Caspar, bagaimana rasanya hidup demikian lama... apakah kalian tidak merasa bosan atau bagaimana. Dia bilang semuanya biasa saja, karena begitulah kehidupan yang dijalaninya sejak semula. Dia justru tidak tahu bagaimana rasanya hidup sebagai manusia biasa. Standar normalnya berbeda denganku..."
Suaranya sedikit serak saat menyebut nama Caspar, tetapi Lauriel pura-pura tidak memperhatikan.
"Aku mengerti maksud pertanyaanmu," kata Lauriel. "Setelah hidup lebih dari 550 tahun dan menjelajahi setiap inci bumi ini... aku akhirnya merasa bosan dan tidak ingin hidup lagi. Tidak ada gunanya hidup selamanya kalau tidak ada orang yang kita cintai..."
Finland terdiam. Ia ingat tahun lalu saat pertama kali bertemu Lauriel, pemuda itu menunjukkan sebuah botol yang disebutnya kematian dan mengatakan bahwa ia sudah bosan hidup.
"Uhm... waktu kita baru bertemu, kau bilang kau ingin mati. Apakah botol itu berisi racun?" tanyanya pelan-pelan. Aleksis yang duduk di sampingnya bermain dengan sebuah lonceng tiba-tiba menjadi diam dan memandang Lauriel dengan mata bulatnya penuh tanda tanya. Pemuda itu yang menyadari Aleksis menatapnya penuh perhatian segera tersenyum dan menggeleng.
Ia mengusap-usap rambut Aleksis dengan lembut sebelum menjawab, "Itu bukan racun, melainkan obat."
"Obat apa?" tanya Finland tidak mengerti.
"Menjadi alchemist itu adalah suatu kelainan genetik. Seharusnya manusia tidak bisa hidup selamanya. Semua sel seharusnya akan mati dan tidak beregenerasi kembali. Obat itu menyembuhkan kelainan genetik seorang alchemist dan membuat kami menjadi seperti manusia normal." Lauriel mengangkat Aleksis ke pangkuannya dengan penuh kasih sayang, seolah pada anaknya sendiri. "Paman Albert, kakeknya Caspar menemukan obat untuk memutasi gen kami sehingga kami memiliki gen super, dan membuat kami menjadi manusia sempurna. Mutasi itu diturunkan secara genetik, dan keturunan alchemist murni tidak perlu meminum obat apa pun untuk mendapatkan keistimewaan itu. Kami bisa tetap muda selamanya dan hidup abadi, kalau kami mau. Tetapi tidak semua orang cocok dengan hidup seperti itu. Setelah ratusan tahun, sebagian orang ada yang menjadi lelah dengan kehidupan, ada yang merindukan keluarga dan teman-teman mereka yang sudah meninggal, dan tidak mau lagi hidup abadi, maka akhirnya obat penangkal pun diciptakan. Semua orang alchemist yang ingin kembali menjadi manusia biasa dapat meminum obat ini dan mati. Itu sebabnya botol itu disebut kematian."
"Oh... Jadi setelah meminum obat itu, kau akan menua dan akhirnya mati?"
"Benar sekali." Lauriel menatap Aleksis cukup lama sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku sudah membeli tanah pertanian ini, dan akan menghabiskan sisa hidupku di sini dan mati. Petualanganku di dunia sudah selesai. Tetapi aku berubah pikiran saat melihat Aleksis. Aku tidak pernah punya anak, dan aku merasa tidak punya tujuan hidup lagi. Semua petualangan besar yang ingin kulakukan sudah kulakukan... tetapi kini aku ingin membagi semua itu kepada Aleksis. Aku ingin membawanya keliling dunia untuk membuat crop circle, berlayar di lautan luas menjelajah bumi, dan menunjukkan kepadanya harta karun bajak laut yang kusimpan di Karibia. Aku bahkan sekarang mau menunggu sampai Space X meluncurkan perjalanan ke luar angkasa agar dapat menjelajah angkasa bersama anakku. Aku sudah membicarakannya dengan Elon*..."
Finland ingat kata-kata Caspar dua tahun lalu, bahwa Finland akan berubah pikiran dan ingin menjadi abadi jika mereka mempunyai anak, karena ia akan ingin melihat anak-anaknya tumbuh dewasa dan hidup bahagia. Inikah yang dirasakan Lauriel terhadap Aleksis? Ia ingin tetap hidup abadi agar dapat melihat Aleksis tumbuh dan bertualang bersamanya?
"Tetapi Aleksis bukan anakmu..." kata Finland pelan, "Suatu hari nanti kau akan bertemu seorang perempuan, jatuh cinta dan punya anak sendiri. Aku yakin itu akan terjadi."
Lauriel tertawa mendengarnya, seolah Finland mengatakan sesuatu yang lucu.
"Finland, aku sudah menjelajahi bumi ini selama 550 tahun... Aku sudah melihat kerajaan dibangun dan dihancurkan, perang terjadi silih berganti, penguasa diangkat dan dijatuhkan. Aku melihat zaman berubah dan kehidupan berkembang. Kalau aku mau memiliki istri dan anak, itu seharusnya sudah terjadi sejak lama, tetapi nyatanya aku masih sendiri. Aku tidak menyukai manusia. Hanya sedikit orang yang dapat kutoleransi." Nada bicaranya kemudian menjadi serius. "Aku sudah menganggap Aleksis seperti anakku sendiri, dan aku mau mengangkatnya sebagai anakku secara resmi kalau kau tidak keberatan. Semua milikku akan menjadi miliknya..."
Di saat ini Finland sudah tahu bahwa Lauriel sangatlah kaya, walaupun ia tidak pernah terlihat bekerja. Sebagai perempuan yang tumbuh dalam kemiskinan, mendapatkan ayah angkat yang kaya bagi anaknya adalah suatu godaan besar, apalagi kini Caspar sudah melupakannya dan tidak mau mengakui anaknya, malah tinggal bersama Sophia...
"Aku tidak terbiasa menerima kebaikan orang lain," katanya kemudian. Ia tak dapat menerima tawaran Lauriel. "Beri tahu aku apa alasanmu sebenarnya? Tidak mungkin kau mau melakukan semua itu untuk seorang anak yang tidak ada hubungannya denganmu...."
Lauriel menggeleng-geleng melihat Finland yang keras kepala.
"Kau sudah menerima kebaikanku selama satu tahun ini, pernahkah aku memiliki motif tersembunyi? Aku tidak membutuhkan apa pun di dunia ini. Aku punya segalanya. Kalau aku menginginkan sesuatu sebagai balasannya, tidakkah aku sudah akan memintanya sejak lama?"
"Tapi tidak ada manusia sebaik itu..." desis Finland. "Maaf, aku memang pesimis. Aku tidak percaya ada orang yang bisa terlalu baik kepada orang lain tanpa menginginkan sesuatu..."
Lauriel menatap Finland agak lama dan kemudian sesuatu terbetik di benaknya.
"Hmm... kau pikir aku menginginkanmu?"
Finland tidak menjawab. Ia ingat bahwa di Singapura, Lauriel menggenggam tangannya dan mulai bersikap agak berbeda.
"Tidakkah kau pikir aku bisa mendapatkan perempuan mana saja yang kuinginkan?" tanya Lauriel lagi.
"Benar." kata Finland pelan. "Tetapi nyatanya kau di sini bersamaku dan Aleksis, dan sudah setahun - sejak kita bertemu pertama kali - kau tidak pernah meninggalkan kami."
Akhirnya Lauriel tersenyum dan mengangguk pelan.
"Hmm... kau benar."
Finland menarik napas panjang. Ia sudah menduga hal ini.
"Maafkan aku... luka hatiku masih sangat baru. Aku tak tahu kapan hatiku akan pulih dan bisa membuka diri untuk orang lain." Finland melengos sedih. Ia ingin menyembunyikan air matanya. "Kau sangat baik, tetapi aku tak bisa menerimamu."
"Tidak apa-apa, Finland. Aku bisa menunggu." Lauriel tersenyum lembut. "Aku tidak terburu-buru."
.
.
*Elon Musk = Pemilik Space X dan Perusahaan Teknologi Tesla
Lauriel itu keren banget lho... Caspar aja dulu merupakan pengagum Lauriel dan ikut dia kemana-mana untuk bertualang.
Saya sih suka sama tokoh Lauriel/Rory ini...
Babang Caspar sih bodoh, ga mau ketemu sama Finland, jadinya Lauriel juga bisa ambil kesempatan kan?