24 dua puluh empat

Bella POV

Aku sedang mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, di bawah langit biru yang sebentar lagi berubah warna menjadi jingga.

Langit jingga.....

Ah, rasanya setiap kali aku mengingat warna langit yang oranye itu, kenangan tentang Rayyen langsung menyeruak di kepalaku.

Raye...

Tadinya aku tidak tau mau kemana, tapi sekarang aku tau, aku ingin ke bukit, ke tempat kami waktu itu menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk saling membisu satu sama lain.

Pergi Ke bukit itu akan membuatku tambah sedih, tapi mau bagaimana lagi? Bahkan, hatiku tak rela untuk melupakan Rayyen. Laki-laki itu, entah mengapa daya tariknya begitu kuat. Tubuhnya seperti magnet, membuat para perempuan tanpa sadar mendekat.

Tidak butuh waktu lama, aku sudah sampai karna memang tadi aku tidak jauh dari bukit wisata ini. Aku memarkirkan mobil di tempat parkiran biasa. Parkiran hampir kosong, berarti hari ini tak banyak pengunjung yang datang. Mungkin karna cuaca tidak mendukung, langit biru di atas kepalaku gelap, di tutupi awan hitam yang kapan saja siap meledak.

Aku sedang beruntung hari ini. Bukit tidak ramai, bahkan tempat untuk mendaki sedari tadi aku baru melihat dua pasangan yang lewat, biasanya penuh dan sesak.

Aku berjalan mencari tempatku dan Rayyen waktu itu. Aku tanda dengan pohonnya. Letaknya sedikit jauh dan jarang pengunjung datang kesana, karna hanya ada pohon-pohon yang di hiasi lampu yang akan hidup otomatis jika sudah gelap. Bukit ini menyediakan taman yang luar biasa cantik dengan berbagai patung dan tempat bermain anak-anak. Ada juga tempat-tempat kuliner lezat jika naik ke atas lagi, dan ada pemandian air hangat alami jika kita mendaki lagi.

Aku menyeringai lebar ketika aku sudah menemukan tempat yang sedaritadi ku cari. Bayanganku bersama Rayyen waktu itu membuatku meringis. Betapa indahnya waktu itu jika kami adalah pasangan kekasih, tapi kenyataannya waktu itu kami hanya sekedar teman. Bukan, bukan teman, bahkan waktu itu Rayyen bilang, aku hanya sekedar gadis bodoh yang tak sengaja di temuinya di perpustakaan kota. Jadi yang di sekolah aku ini apa? Hantu? Ck, Dasar kau Raye.

Aku duduk di rerumputan hijau. Langit biru yang mendung, apakah langit jingga yang kunanti dapat terlihat? Mungkin tidak. Tapi, setidaknya aku ingin disini lebih lama lagi. Disini aku serasa bersama dengan Rayyen.

Aku memang belum terlalu lama mengenal Rayyen. Tempat yang memberi kami kesempatan untuk berdua tidaklah banyak, hanya beberapa seperti taman hiburan, bukit ini, Mall, perpustakaan kota, belakang sekolah dekat gudang, apartermennya, dan dirumahku waktu itu. Tapi, setiap tempat yang memberiku kesempatan berduaan dengannya begitu berharga.

Orang bilang cinta itu tidak hanya datang di saat kita sudah mengenal seseorang dengan jangka waktu yang lama, cinta terkadang datang di saat kita hanya sebentar mengenalnya namun hal-hal yang kita lalui bersamanya terasa begitu istimewa dan berharga setiap detiknya.

Dulu aku tidak mencintai Rayyen, aku hanya merasa nyaman padanya walau dia sering mengataiku bodoh, seperti babi dan semacamnya. Tapi, lama-lama cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Cinta itu tumbuh karena aku selalu merasa bodoh saat berada di dekatnya, cinta itu tumbuh di saat melihat wajahnya yang begitu kesal karna kebodohan yang ku buat. tapi walau begitu aku tidak bisa berharap lebih darinya. Suatu saat dia akan bahagia dengan gadis yang di takdirkan untuknya. Satu-satunya harapanku saat ini, aku ingin dia mengundangku di pernikahannya dan melihatnya bahagia dengan gadisnya. Sakit? Itu pasti, tapi sakit itu akan hilang jika melihatnya tersenyum bahagia.

Aku menidurkan tubuhku di atas rerumputan, memandangi langit sore yang mendung di atasku. Betapa indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini. Aku memejamkan mataku, berharap rasa sesak di dada yang kurasakan saat ini hilang sejenak, berharap aku bisa merelakan semuanya.

Harapanku saat ini hanya ada 3 yaitu, aku ingin Farhel bahagia dengan Rawzora, aku ingin suatu saat nanti Rayyen bahagia dengan gadisnya, dan aku ingin suatu saat nanti aku menemukan lelaki yang bisa menggantikan posisi Farhel dan Rayyen di hidupku. Aku memang masih memikirkan Farhel tapi bukan berarti aku masih mencintainya.

Lama aku memejamkan mata, tapi tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang datang dan tidur di sampingku, melakukan hal yang sama seperti yang ku lakukan. Aku membuka mata cepat, kemudian terduduk untuk melihat siapa orang yang tiba-tiba berada disampingku.

Aku terpekik kaget, nyaris menjerit jika aku tidak membekap mulutku sendiri. "Rayyen!?"

Rayyen, dia tetap tiduran santai tak memperdulikan keterkejutanku. "Kembali ke posisi seperti tadi, dan pejamkan juga matamu seperti tadi." Ucapnya begitu tenang.

"Kenapa?" Tanyaku bingung.

"Lakukan saja jika kau tak ingin menyakitiku."

Aku kembali membaringkan tubuhku di rerumputan, dengan sejuta pertanyaan tentunya. Dengan ragu aku juga memejamkan mataku kembali.

"Kenapa kau disini?" Tanyaku.

"Seharusnya aku yang bertanya kenapa kau yang ada disini." Balasnya pelan.

"Aku yang seharusnya bertanya karena aku yang duluan datang ketempat ini."

"Kau salah. Setiap hari aku datang kesini dan melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan sekarang, tapi hari ini aku datang terlambat."

"Kenapa Kau sering datang kesini?" Aku membuka mata sedikit, lebih tepatnya mengintip. Ku lihat Rayyen sudah membuka matanya, ia memandang langit. Pandangan itu, ah, pandangan yang sama saat di Jerman waktu itu.

Agak lama dia tidak bersuara lagi.

"Bodoh, mengapa kau terlahir sebagai Ruzh?" ucapnya, menurutku dia sedang mengalihkan pembicaraan.

"Karena aku bukan terlahir sebagai Manusia." Jawabku sedikit bingung atas pertanyaannya.

"Kenapa kau tidak terlahir sebagai Manusia saja?"

"Kau pikir aku bisa request sama Tuhan?"

"Aku minta maaf." Kata Rayyen pelan, tapi aku tetap dapat mendengarnya.

"Aku sudah memaafkan atas pedasnya mulutmu itu, aku juga mengerti bahwa seharusnya aku tidak hadir ke dalam hidupmu." Ucapku berusaha serius.

"Aku minta maaf bukan untuk itu, tapi aku minta maaf karna Rawzora harus pergi ikut bersamaku dan teman-temanku. Aku merasa kau dan Zora sudah sangat akrab, tapi dia tetap harus pergi bersama kami. Kau carilah teman baru dan tetap berhati-hati atas identitasmu." Ucapnya parau.

"Apa?" Aku terduduk lagi. Aku menatapnya yang masih tiduran di rumput sambil tangan kananya ia jadikan bantal. Aku berharap bahwa aku salah dengar.

Rayyen tak pernah mengalihkan pandangannya dari langit. Dia tak pernah melirikku sedikitpun. "Kembali ke posisimu tadi jika kau ingin bicara padaku."

"Kenapa aku harus seperti tadi jika ingin berbicara padamu?"

"Mengertilah. Aku tidak boleh menatap matamu. Jika kau seperti itu, mata ini memaksa untuk menatapmu. Melawan diri sendiri lebih berat daripada melawan musuh yang sangat kuat."

Aku mengerti, dengan cepat aku kembali berbaring seperti tadi. "kenapa kalian pergi? Apa kalian akan pulang ke Amoddraz? Apa urusan kalian sudah selesai?" Tanyaku bertubi-tubi.

"Kami tidak kembali ke Amoddraz, kami hanya pindah ke kota lain."

"Kenapa? Apa karena diriku?"

"Tidak." Jawabnya cepat.

"Raye, ku mohon jangan pergi. kalian adalah temanku, jika kalian pergi bagaimana denganku?"

"Kami harus pergi, kau akan baik-baik saja tanpa kami. Dulu kau juga hidup tanpa kami."

"Tapi..."

"Jaga dirimu baik-baik, bodoh. jangan kau cium laki-laki seenak jidatmu lagi, jangan cengeng, jangan manjat pagar untuk cabut lagi, jangan selalu membuat orang kesal karna tingkah bodohmu itu, jangan pakai sendok teh untuk mengaduk adonan kue, jangan baca buku terbalik, jangan menguntit orang kalau kau sedang kesepian... pokoknya jangan tambah bodoh lagi. Kau mengerti?" ucapnya dengan suara yang lemah.

"..." aku hanya terdiam, aku tidak sanggup membalas ucapannya karena aku berusaha untuk menenangkan kekacauan di dadaku.

"Jangan menangis kalau lagi kesepian, berjanjilah padaku." Ucapnya. Aku merasakan dia duduk dari tidurannya, kemudian dia mengusap puncak kepalaku. Dengan cepat aku membuka mata, mata kami bertemu, kulihat terukir senyum pahit di bibirnya.

"Selamat tinggal, aku menyayangimu." Dengan cepat Rayyen berdiri, kemudian dengan langkah cepat dia berjalan pergi.

Aku terkejut saat dia mengucapkan itu, aku sangat terkejut saat dia bilang menyayangiku.

"Raye!!!" Panggilku sambil menangis. Kalian pasti mengataiku cengeng, tapi percayalah, rasanya sangat sakit, lebih sakit dari di putuskan sama pacar padahal lagi sayang-sayangnya.

Ku lihat Rayyen menghentikan langkahnya, tanpa berbalik dia berucap. "Jangan nangis. kalau nangis, kau jelek seperti babi. Jadi jangan menangis, kau bukan gadis cengeng, 'kan?" Setelah itu dia berjalan pergi sambil memegangi dadanya.

Punggung laki-laki yang berbadan tinggi itu menghilang dari pandanganku saat dia mulai menuruni bukit. Aku hanya bisa terisak, menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Semuanya sudah berakhir, kisahku dengan Raye sudah berakhir.

Selamat tinggal, Raye.

Aku merasakan sesuatu di pergelangan tanganku. Aku langsung berhenti menangis ketika melihat sebuah gelang emas putih dengan permata biru melingkar dengan indah.

Gelang ini....

Raye.. bagaimana bisa?

"Raye!!" Aku bangkit dari dudukku, kemudian berlari kencang mencari Rayyen. Aku ingin mengatakan sekali saja, bahwa aku mencintainnya.

Aku berlari menuruni bukit, berharap dia masih ada. Aku berharap berpisah dengan cara baik-baik dengannya. Tapi aku terlalu banyak berharap, dia tak ada lagi. Dia tak tampak lagi, bahkan aku tidak melihat mobilnya di parkiran. Aku terlambat.

"RAYE! AKU MENCINTAIMU." Teriakku sambil terisak. "AKU TAU KAU DAPAT MENDENGARKU. AKU MENCINTAIMU! SEMOGA KAU BAHAGIA, Raye." Aku pasti dianggap gila oleh pengunjung yang ada di sekitarku. Aku tidak peduli itu, walau Rayyen tak ada di depanku, aku tau dia dapat mendengarku.

Deringan ponsel membuatku tangisku mereda. Nama Rawzora tertera di layar. Aku mencoba meredakan tangis dan menghilangkan isakan sebelum mengankat telpon.

"Halo?" Ucapku.

"Bisakah kau temui aku di jembatan Herdas? Aku menunggumu daritadi disini. Aku sudah mengirim pesan dan menelponmu berkali-kali tapi kau tidak mengangkatnya ataupun membalasnya." Ucapnya dari sebrang.

"Maaf, aku akan segera kesana."

Setelah menutup telpon, aku langsung berjalan ke mobilku, kemudian melaju cepat.

*

"Kenapa kau menyuruhku kesini?" Aku berdiri disamping Rawzora. Dia menatap ke air sungai, tersenyum pahit lalu menoleh kearahku.

"Lama sekali."

"Maaf, aku tidak berbakat menjadi pembalap." Canda ku garing.

Dia terdiam sejenak seperti sedang merangkai kata-kata. "Bella, kami harus pergi, jaga dirimu baik-baik."

"Aku sudah tau, tapi kenapa kalian pergi?"

"Apa kau mencintai Rayyen?"

"-----" aku terdiam. Apa boleh aku mengatakan iya?

"Kalau kau mencintainya, lupakan dia. sekarang tubuhnya melemah, rasa sakit yang terkadang dia rasakan sekarang rasanya semakin parah. Tubuhnya akan sembuh jika berada di dekatmu, tapi rasa sakit akan datang jika dia memaksa pergi menjauh darimu. Dia harus pergi menjauh darimu karena dia takut memberikan detak jantungnya yang ketiga untukmu." Ucapnya sambil memperhatikan reaksiku. Dia menatap sedih lalu berbicara lagi.

"Rayyen melakukan kesalahan, dia telah memberikan dua detak jantungnya untukmu. Rayyora sangat marah sekarang, gadis itu mengamuk tiada hentinya dan ingin kau mati agar Rayyen bisa sembuh. Tapi Rayyen tidak akan membiarkanmu mati hanya karna dirinya." sambungnya.

"Kenapa aku harus mati?"

"Kami hanya punya 3 detak jantung seumur hidup, dan jantung itu akan berdetak untuk pasangan kami. Detak yang ketiga harus kami berikan pada sosok yang sudah di takdirkan untuk kami, kalau tidak kami akan mati karna tubuh kami rapuh dengan sendirinya. jantung Rayyen sudah berdetak 2 kali untukmu, kesempatannya tinggal sekali lagi. jadi kumohon jangan temui dia lagi sebelum dia menemukan gadis yang sudah di takdirkan untuknya, dia harus memberikan detak ketiganya untuk gadis itu agar dia bisa melupakanmu."

Aku hanya diam. Aku tidak menyangka bahwa Rayyen benar-benar sudah memberikan 2 detak jantungnya untukku. Aku pikir waktu itu dia hanya asal bicara.

"Hanya ada dua cara agar kami bisa membantu Rayyen hidup normal tanpa merasakan sakit lagi. Cara pertama kami harus segera menemukan gadis yang di takdirkan untuknya, kemudian membantu agar jantungnya berdetak yang ketiga kalinya untuk gadis itu, maka Rayyen akan melupakanmu dan mencintai gadis itu seumur hidupnya. Cara yang kedua, kami harus memaksamu mati, setelah kau mati maka detak jantung Rayyen akan kembali menjadi 3 detak lagi. Tapi aku sudah menyayangimu, aku ingin kau tetap hidup, jadi kami memutuskan untuk pergi."

"Mati? Mungkin aku bisa melakukannya." Usulku. Ini salahku, Rayyen seperti itu karna salahku, jadi aku ingin bertanggung jawab.

"Tidak, Bella. Mati itu jalan terakhir. Dulu aku juga sama seperti Rayyen. Aku mencintai laki-laki dari bangsa Ruzh, dia sama sepertimu. detak jantungku sudah ku berikan semua untuknya. Aku bahagia karna aku sangat mencintainya. Tapi aku menyesal, aku telah melalukan kesalahan, aku mencintainya sebelum menjalankan upacara penentuan pasangan yang di berikan buku suci,"

"Waktu itu Ruxe yang pertama melakukan upacaranya karena umurnya lebih awal mencapai 18 tahun , kemudian dua minggu setelahnya disusul oleh Ryder, lalu seminggu kemudian Rayyora, tiga hari kemudian Rayyen dan dua hari kemudian aku. Aku, Rayyen, dan Ryder sangat terpukul waktu itu. Jodoh kami di Bumi pastilah manusia, otomatis kami harus tinggal di Bumi untuk selamanya karna Manusia tidak bisa tinggal di Amoddraz. Rayyen dan Ryder tidak masalah akan hal itu, tapi aku? Aku sudah memberikan semua detak jantungku untuk laki-laki bernama Duris. Aku sangat terpukul waktu itu, aku bahkan Rela mati karna rapuh asal aku tetap bisa bersama Duris, tapi Duris yang mengetahui hal ini langsung mengambil tindakan agar aku tetap bisa hidup. Dia juga sangat mencintaiku, dia lebih memilih untuk mati agar detak jantungku kembali menjadi tiga detak lagi, dia juga ingin aku tetap hidup dan bahagia bersama orang yang sudah di takdirkan untuku. Itulah yang ku tau saat membaca pesan terakhirnya untukku."

"Lalu bagaimana? Jika kau pergi kau tidak akan bisa bertemu dengan Farhel."

"Aku bisa, detak jantungku baru 1 kali berdetak untuknya, jadi aku bisa untuk tidak terlalu sering bertemu dengannya."

"Dia belum bisa mencintaimu jadi bagaimana jika dia mencintai wanita lain?"

"Jodohnya adalah aku, mau bagaimanapun suatu saat dia tetap akan bersamaku. Hanya saja saat ini aku belum bisa membuatnya mencintaiku."

"Aku akan meridukanmu, Rawzora," kataku sedih.

"Aku juga, aku nitip Farhel ya, Aku ingin menjalankan tugasku dulu. Tugasku menjaga, melindungi, membantu putra mahkota. Jadi mau bagaimanapun bagi kami hidupnya lebih berharga dari segalanya termasuk nyawa kami."

Aku hanya tersenyum kearah gadis yang sedang berada di depanku ini. Wajahnya yang begitu cantik sama dengan wataknya yang begitu baik.

"Kapan kalian pindah?" Tanyaku memaksakan senyum tipis.

"Lusa, kami harus mengurus apartemen dulu."

"Kalau begitu aku akan merindukan kalian semua."

Aku memeluknya, dia juga membalas pelukanku. "Rawzora." Bisikku pelan.

"Ada apa?" Jawabnya.

"Kau benar. Aku mencintai, Rayyen. Bawa dia pergi sejauh mungkin. Usahakan mataku tak melihatnya lagi, karna jika mata ini melihatnya sekali lagi, aku tidak yakin dia akan baik-baik saja setelah itu. Aku bisa saja menciumnya lagi."

Rawzora melepaskan pelukanku cepat. "Menciunnya lagi? Maksudmu?"

"Ini semua salahku. Aku menciumnya. Dan tidak lama kemudian dia menciumku."

"Pantas saja."

"Maafkan aku. Kau boleh marah padaku sekarang." Ucapku penuh dengan penyesalan.

Rawzora tertawa. "Untuk apa marah, toh itu tak akan mengembalikan detak jantung Rayyen lagi. Aku hanya minta satu hal. Jangan pernah kau menampakkan dirimu di depan Rayyen lagi. Kau bisa saja membunuhnya. Dia itu sudah ada yang memiliki."

"Aku tau." Ucapku sambil mengangguk sedih.

Zora melirik pergelangan tanganku. "Gelang itu? Apa kau mendapatkannya dari Rayyen?" Tampak jelas di wajah cantiknya dia sangat terkejut dan tak percaya.

"Entahlah. Tadi kami tak sengaja bertemu. Setelah dia pergi, aku baru sadar di pergelanganku sudah ada gelang cantik ini." Aku menunjukkan gelang di tanganku padanya.

"Ini gelang Rofig milik Rayyen. Lebih tepatnya ini gelang tahta. Seharusnya kau tidak boleh memakai gelang ini. Ah, Rayyen. Dia itu.... luar biasa ceroboh. Jika tidak ada gelang ini, dia tak bisa membawa istrinya nanti untuk duduk di tahta. Istrinya tak bisa menjadi Ratu tanpa gelang ini jika dia sudah menjadi Raja nanti."

Aku terkejut. "Benarkah? Lalu bagaimana? Kalau begitu ini ku kembalikan." Aku berusaha membuka gelang cantik permata biru ini, tapi tak bisa. Gelangnya sangat pas di pergelangan tanganku, dan tak ada untuk pengaitnya sehingga tak bisa di buka.

"Sekeras apapun kau berusaha, gelang itu tak akan bisa lepas dari pergelangan tanganmu. Kecuali Rayyen yang melepasnya." Rawzora menepuk pundakku pelan. Dia tersenyum. "Rayyen sudah membuat kami hampir gila. Gelang ini, berarti dia mencintaimu bukan karna detak jantung. Sebelum kau menghilangkan detak jantungnya yang pertama, dia pasti sudah pernah memikirkanmu terus menerus. Entah kau beruntung atau kau sial. Yang jelas, cinta itu sangat menakutkan bagi kami." Rawzora memelukku sekali lagi, kemudian dia pamit lalu pergi.

•••••

Author pov

Rayyen hampir saja menabrak mobil di depannya saat dia mendengar Bella terisak sambil mengatakan

"RAYE! AKU MENCINTAIMU."

"AKU TAU KAU DAPAT MENDENGARKU. AKU MENCINTAIMU! SEMOGA KAU BAHAGIA, Raye."

Bibirnya melengkungkan senyum tipis. Tangan kirinya memegangi dadanya yang mulai terasa sakit lagi. Dia menepi sebentar.

"Ck, gadis bodoh itu. Dia ingin aku cepat mati ternyata." Gumamnya pelan.

'Gelang tahta itu aku berikan padanya, agar aku tau dimanapun dia berada. Setelah nanti aku berhasil menemukan pasanganku, aku akan meminta gelang itu kembali. Meminta gelang itu kembali hanya untuk alasan, karna tujuan utamaku hanya ingin menciumnya dengan ciuman bertubi-tubi tanpa takut detak jantungku hilang lagi.

Dulu, sore hari di Jerman waktu itu, aku melihat seorang gadis yang sedang menonton pengamen yang memainkan Biola dengan nada yang sangat buruk. Tak ada yang mau membuang-buang waktu untuk melihat pertunjukkan pengamen itu, kecuali dia. Setelah pengamen itu menyelesaikan lagunya, dia bertepuk tangan dengan senyum tulus, kemudian memberi dua lembar uang.

Dengan konyolnya dia meminjam Biola pengamen itu, kemudian memainkannya. Tak butuh waktu lama, dengan permainan bagusnya yang membawakan lagu dari Indonesia yang berjudul 'Sempurna' itu, dia berhasil menarik perhatian orang banyak. Orang-orang yang tadinya tak selera memandang kearah pengamen itu, kini datang mendekat. Banyak yang memberikan sejumlah uang untuk permainannya itu. Aku ikut tersenyum ketika melihat dia dan pengamen itu tersenyum bahagia. Aku hanya memperhatikannya dari jauh sehingga dia tak menyadari kehadiranku.

Sehari setelah itu, aku bersandar di tembok bata. Aku mengadu pada langit seperti biasa, aku bercerita tanpa mengeluarkan suara. Aku bercerita tentang gadis Biola dengan senyum manis kemarin, aku bercerita tentangnya pada langit. Pada saat itu, untuk pertama kalinya aku berharap pada pasanganku. Aku berharap pasangan yang ditakdirkan untukku mempunyai senyum manis dan pandai bermain Biola seperti dia.

Dimanapun aku berdiri, pasti banyak gadis-gadis yang menggangguku, itu membuatku kesal. Aku hendak pergi, tapi pandanganku jatuh pada sosok yang tertunduk memandangi ujung sepatunya. Sosok itu berdiri tak jauh di depanku, ia memakai kaos panjang berwarna biru malam. Sosok itu adalah gadis kemarin, gadis Biola dengan senyum manis. Aku ingin menyapanya, tapi tiba-tiba dia berlari seolah dia telah melakukan kesalahan. Saat itu terakhir kalinya aku melihatnya. Dan bertemu lagi setelah dua tahun kemudian saat aku dan teman-temanku pindah ke Indonesia.

Awalnya aku tidak menyadari bahwa dia itu gadis Biola yang di jerman waktu itu, karna aku sudah berhasil melupakannya dengan susah payah. Aku tidak pantas memikirkannya. Hingga, tiba-tiba dia menciumku, membuat jantungku berdetak untuk yang pertama kalinya. Disusul yang kedua saat aku tak tahan lagi, aku menciumnya. Waktu kami berdua kena hukuman hormat bendera karna terlambat, disitulah aku baru ingat bahwa dia gadis Biola itu. Ya, itu dia, gadis Biola dengan senyum manis itu ternyata bernama Victoria Bella Darwis.'

_________________________________

avataravatar
Next chapter