"Dasar bocah lemah. Kenapa mau mati saja harus ajak-ajak orang lain. Sialan!"
"Tapi, kalau aku tidak turun tangan, aku juga akan ikut terbunuh. Merepotkan!"
Suara cacian dan keluhan itu terus berdenging jelas di telinga Kazo. Anak itu masih berada di ambang keputusasaan yang menyelimutinya. Suara langkah kaki makhluk itu terdengar semakin mendekat, diiringi dengan suara runtuhnya tembok-tembok labirin.
Kazo sekuat tenaga berusaha untuk membuat dirinya tersadar dari rasa hampa ini. Setidaknya dia harus menyelamatkan teman-temannya, karena selama ini merekalah yang selalu melindungi dirinya.
"Pinjamkan aku pedangmu."
Kazo berbisik pada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya pada pria berambut biru yang baru saja terdengar menggerutu di dalam sana. Kazo tahu itu adalah dia, karena dirinya hampir saja kembali lagi ke dalam alam bawah sadarnya jika tidak berusaha untuk menahan diri.
Lalu tiba-tiba suara pria itu terdengar begitu jelas di pikirannya. Padahal sebelumnya dia tidak pernah bisa berkomunikasi dengan pria berambut biru itu jika tidak berada dalam alam bawah sadarnya.
"Meminjamkan, enak saja! Menggunakannya saja kau tidak bisa," sahut pria itu.
Kazo menghela nafasnya kasar sambil berusaha menumpu tubuhnya yang sudah hampir tersungkur.
"kau benar-benar mau mati dilahap makhluk itu? Jadi hanya itu penantianmu selama ribuan tahun? Menyedihkan."
"Apa katamu? Lancang sekali mulutmu, bocah. Memangnya kau pikir siapa yang membuatku menunggu selama itu?"
"Mana kutahu. Cepat berikan pedangmu! Makhluk itu semakin mendekat."
"Aku tidak peduli. Lebih baik mati saja sana!"
"Baiklah, mari kita mati bersama-sama," sahut Kazo datar. Dia sudah enggan bernegosiasi dengan pria keras kepala itu. Makhluk itu semakin mendekatinya dengan gemuruh hawa panas dan juga tatapan nyalang yang penuh dengan kebencian. Kazo ingin berlari, tapi semua energinya telah terkuras habis karena emosi tubuhnya yang sudah dilahap makhluk itu.
"Kau sudah gila, cepat menyingkir dari sana!" teriak pria itu.
"Bukankah kau bisa melihat kalau aku tidak bisa?"
"Lalu kau mau benar-benar berdiri bodoh di sana tanpa melakukan apapun?"
"Berisik. Sudah kubilang pinjamkan pedangmu!"
"Pedang itu milikmu bodoh, kenapa juga harus kupinjamkan."
"Tapi bagaimana aku bisa memanggilnya."
Pria itu terdengar menghela nafas kasar. "Pusatkan sisa energimu. Cobalah bayangkan Alpha milikmu dan cari Agome di sana."
"Kau gila? Aku tidak akan sempat.."
"Lakukan dan coba saja!" potong pria itu dengan geram.
Sudah tidak ada waktu lagi, makhluk itu sudah siap untuk menebas tubuhnya dalam jarak yang begitu dekat. Kazo sebisa mungkin melakukan apa yang pria itu katakan, sisa energinya sudah hampir habis sama sekali.
Kazo memejamkan kedua matanya. Mencoba menutup kedua pendengarannya sesaat dari kebisingan yang dibuat makhluk petir itu. Dia berusaha membayangkan Alpha miliknya yang selama ini selalu Kazo sebut sebagai mimpi. Ide ini gila, ia tidak akan sempat menemukan pedang itu. Lalu...
WUSH!
"Cepat temukaaaaaan!"
BOOM!
Akar cahaya itu menampar jelas di mana tempat Kazo berada. Menimbulkan suara ledakan yang menggelegar dan juga hancurnya tembok labirin di sekitarnya. Serpihan tembok itu melayang dan seketika langsung melebur menjadi abu yang berterbangan seperti debu.
Kepulan asap masih tersisa di sana, menguar sangat tebal dan menyesakkan. Namun, bayangan seseorang yang terlihat berdiri tegak dengan sebilah pedang panjang yang menahan akar cahaya milik Red Valhi terlihat begitu jelas.
Seorang anak laki-laki dengan kaus hitam bergaris biru panjang dan celana pendeknya yang sudah tampak rombeng dan tidak utuh. Rambut biru peraknya berkibar tegak, menampik udara dan juga debu yang mencoba menyelubunginya.
Ya, dia memang Kazo, yang berdiri tegak dengan tampilan cukup berbeda. Terutama pada sepasang matanya yang menatap tajam dengan warna bola mata yang berbeda. Apa yang terjadi pada bola mata kanannya? Mata ruby merah itu sudah tidak ada, digantikan dengan tatapan berwarna biru terang yang menyilaukan.
Ia mengayunkan Agome dengan gerakan yang begitu halus dan ringan. Bahkan ia menahan laju akar milik makhluk petir itu tanpa beban sama sekali. Pedang sepanjang sembilan puluh senti itu terlihat lebih besar dari ukuran sebelumnya. Dengan gagang hitam yang ujungnya terdapat ukiran berbentuk simbol api dan berwarna merah menyala. Bilahnya terlihat biru dan semakin tajam. Kepulan asap terlihat menguar dari bilah pedang itu ketika ujungnya menyentuh akar milik Red Valhi.
"Apa itu?" gumam pria berambut biru dengan nada suara yang terdengar heran.
"Memangnya apa?" sahut Kazo.
"Agome dalam bentuk lain."
Kazo melirik pada pedang di tangannya. Memang, bentuk dan ukurannya kini cukup berbeda dari saat pertama Kazo menggunakannya. Ukiran dengan simbol api di gagangnya dulu tidak ada, begitu juga ukuran bilahnya yang terlihat lebih besar dari ukuran sebelumnya. Bahkan pedang itu terasa begitu ringan di tangannya.
WUSH
Kazo tersentak. Akar milik Red Valhi yang lain tiba-tiba menyerangnya secara tiba-tiba. Anak itu melompat menuju lorong labirin yang lain, mencoba menjauhi tempat dimana Arga dan yang lain masih tergeletak pingsan. Kini energi Kazo telah terisi kembali, bahkan tubuhnya terasa begitu ringan dan lebih cepat dari sebelumnya. Semua perasaan hampa dan kosong yang sempat ia rasakan kini telah pulih kembali. Ia siap menghadapi makhluk petir itu dengan seluruh kekuatannya.
Makhluk itu meraung marah, rupanya kesal karena merasa diabaikan. Ia membelok dan kembali melambaikan akarnya pada Kazo yang berdiri tegak di atas tembok labirin. Anak itu kembali melompat.
"Jadi kau mau terus menghindar? Cih, lalu apa gunanya kau menggengam senjata." cemoh pria itu.
"Berisik sekali, lebih baik kau kembali ke alammu sana!" teriak Kazo sambil melompat menghindari serangan membabi buta Red Valhi.
"Sialan, kau mengusirku."
"Kalau begitu diam! Kau merusak konsentrasiku."
"Awas saja kalau sampai kita bertemu nanti."
"Sekaraaaang!"
Kazo berteriak kencang lalu melompat tinggi tepat saat makhluk itu membelakanginya. Selama ini Kazo terus menuntunnya menuju tembok-tembok labirin yang menjulang semakin tinggi, mencari pijakan agar dirinya bisa melompat ke tubuh Red Valhi.
Kazo melompat tepat di atas punggung Red Valhi.
"Astaga, panas sekali!" teriak Kazo saat kedua kakinya menjejak pada tubuh makhluk itu. Anak itu masih terus berteriak sambil terus melompat konyol di atas tubuh Red Valhi, bahkan kini sepatunya sudah hampir meleleh terkena panas tubuh makhluk itu.
"Sial!"
Kazo membuat pijakan es sedikit demi sedikit, meskipun itu akan percuma karena akan cepat mencairnya. Red Valhi terlihat meraung marah dan menggoyang-goyangkan tubuhnya saat menyadari musuhnya kini dengan lancang sudah menaiki tubuhnya. Tangannya menampar tembok yang ada di sekitarnya hingga labirin itu telah rata menjadi ruangan yang lapang.
"Ayo, Agomeeeee!" teriak Kazo sambil menancapkan pedangnya pada punggung makhluk itu.
Raungan kasar terdengar menggema. Makhluk itu menggoyangkan tubuhnya lebih keras dan bergerak kasar saat merasakan pedang milik Kazo yang menembus sempurna di punggungnya. Anak itu harus berpegangan kuat pada gagang pedangnya agar tubuhnya tidak terlempar.
Tusukan Agome membuat punggung makhluk itu tampak semakin bercahaya kemerahan, minimbulkan retakan sedikit demi sedikit dan merubah cahaya itu berwarna biru dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Dan anehnya, makhluk itu kini sudah tidak meronta buas seperti sebelumnya. Perlahan pergerakannya mulai terlihat lamban dan halus.
Kazo kembali memijak dengan tenang pada punggung Red Valhi. Dingin. Itulah yang dirasakannya, rasa panas itu telah menghilang sama sekali. Bahkan warna tubuh makhluk itu sudah berubah sama sekali, berwarna biru perak sama persis dengan bilah pedang Agome. Tapi, makhluk itu masih hidup dna tidak hancur.
Kazo mencabut pedangnya dengan kening berkerut. "Kenapa dia tidak mati?"
Tepat saat itu, Red Valhi tiba-tiba membalik tubuhnya dengan cepat dan itu membuat Kazo terpeleset hingga kehilangan keseimbangan. Dia mencoba menancapkan pedangnya pada tubuh makhluk itu tapi gagal. Lantai kasar di bawah siap menyambut tubuhnya.
Tapi, sebelum itu terjadi, akar tangan milik Red Valhi langsung menyambar dan mencengkeram tubuhnya dengan kuat. Kazo berteriak saat tubuhnya terhimpit akar yang melilitnya. Akar-akar biru itu mengangkat tubuhnya tepat di depan wajah makhluk buas yang menatap nyalang penuh kebencian.
Meskipun warnanya telah berubah dan sinar biru itu terlihat lebih menyejukkan, tapi pancaran mata bengis itu masih terlihat jelas saat Kazo menatapnya. Makhluk itu mendengus kasar, menatap lekat pada tubuh mungil Kazo di tangannya.
"Apa yang kau mau?" teriak Kazo sambil berusaha melepaskan diri pada lilitan tubuhnya. Dia tidak bisa menggunakan Agome karena pedang itu terlepas dari tangannya saat Red Valhi menyambar tubuhnya tadi.
Makhluk itu mendenguskan nafasnya dengan kasar, hawa panas itu benar-benar telah menghilang. Diganti dengan suasana beku yang mulai menyelimuti area labirin itu. Tusukan pedang Kazo ternyata juga mempengaruhi kekuatan milik Red Valhi. Tapi tetap saja, makhluk buas itu masih terlihat mengerikan dan bersiap akan melahap tubuh mungil Kazo kapan saja.
Kazo menutup matanya saat makhluk itu menarik tubuhnya mendekati mulutnya yang penuh dengan taring-taring panjang bercahaya. Jelas, Red Valhi akan melahap tubuhnya sekarang juga.
Namun diluar dugaan, makhluk itu malah mengusapkan tubuh Kazo pada pipi dan kepalanya dengan begitu lembut dan halus. Seperti seekor binatang yang sudah lama tidak bertemu dengan tuannya. Bahkan makhluk itu kini menggelepar- gelepar di lantai labirin sambil terus mendekap tubuh Kazo ke dalam pelukannya.
Melihat respon tak terduga dari makhluk itu membuat Kazo terperangah tidak percaya. Monster buas yang beberapa saat lalu masih terlihat menakutkan dan bisa membunuh kapan saja kini terlihat seperti seekor kucing yang merindukan belaian pemiliknya.
Mau tidak mau Kazo tertawa saat merasakan akar tangan Red Valhi yang terus menggelitik perutnya. Keduanya terlihat seperti sepasang teman yang saling melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu.
"Bagaimana kau melakukannya?" seru si pria berambut biru dari dalam sana dengan nada suara yang kembali terdengar heran. Seolah hari ini begitu banyak kejadian mengejutkan yang dilihatnya.
"Aku sendiri juga tidak tahu. Tapi yang jelas, kita selamat karena tidak jadi mati bukan." Seru Kazo riang sambil menepuk pelan tubuh Red Valhi. "Ayo bangun, Light!"
"Light?"
"Itu nama pemberianku untuknya. Lagipula sekarang dia terlihat menggemaskan sekali," ucap Kazo sambil mengelus pelan kepala makhluk itu yang kini sudah terbangun dengan wajah tersenyum.
Pria berambut biru itu terdengar berseru pelan, mungkin kalau bisa melihat ekspresi wajahnya dia akan menatap dengan penuh keanehan. Dia melihat itu antara takjub dan juga sebal. Dia takjub karena selama ini Red Valhi adalah monster legenda mengerikan yang tidak bisa di sentuh oleh siapapun, dan sekarang malah tunduk pada anak kecil yang beberapa saat lalu diremehkannya. Dan yang membuat sebal, tentu saja karena anak itu sekarang bisa berdiri dengan sombong karena bisa menaklukan makhluk paling mengerikan di dalam Verittam ini.
"Oya Light, apa kau tau di mana letak pintu gerbang menuju Porta Loka?" seru Kazo pada Light. Makhluk itu terlihat mengangguk dengan imutnya.
"Baiklah, ayo antar aku ke sana. Tapi sebelum itu, bisakah kau membuat tiga orang payah itu bangun dari pingsannya?" ucap Kazo sambil menunjuk pada tubuh Arga, Bam dan Naoki yang masih tergeletak di lantai labirin. Dengan segera, Light kembali mengangguk.
"Anak pintar."
Naoki yang sebenarnya dari tadi masih tersadar tentu takjub dan tidak percaya dengan hal yang dilakukan Kazo karena bisa menaklukan Red Valhi. Hal mustahil itu benar-benar sedang terjadi saat ini di depan matanya.
"Kau memang bukan anak biasa, Kazo. Tapi aku tidak akan membiarkanmu bergaul dengan Bam terlalu lama, karena sekarang kaupun juga tidak punya sopan santun." gerutunya dengan suara pelan.