Bam dan Arga saling berpandangan dengan mimik wajah datar. Dua anak itu lalu melirik pada sepasang mata besar dan tajam di samping mereka. Bam berusaha sebisa mungkin untuk tidak menunjukkan wajah takutnya, namun tetap saja, auman nafas dan juga besarnya tubuh Red Valhi membuat bulu kuduknya meremang. Untung saja tampilan monster itu sekarang terlihat jauh lebih menyejukkan. Walaupun begitu Arga dan Bam tetap tidak bisa melupakan bagaimana rupa sosok asli dari makhluk petir itu.
"Hei Kazo, kau yakin ini aman?" seru Bam akhirnya. Tangannya berpegangan pada tubuh makhluk itu sehalus mungkin. Dia tidak mau tiba-tiba saja Red Valhi mengamuk hanya karena dirinya mencengkeram tubuhnya terlalu kuat.
Empat orang itu kini tengah duduk di atas tubuh Red Valhi. Monster buas yang kini sudah sejinak kucing rumahan itu tengah membawa mereka melintasi tembok-tembok labirin menuju gerbang masuk Porta Loka.
Arga dan Bam hanya bisa ternganga ketika melihat makhluk itu benar-benar tunduk pada semua ucapan Kazo. Terlebih seluruh kekuatan makhluk itu yang sebelumnya bisa mengatur dan merampas emosi musuhnya tidak lagi berpengaruh pada mereka semua. Tentu hal ini akan menguntungkan, namun jika diingat seberapa buas dan mengerikannya makhluk itu jelas membuat mereka tidak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri.
"Kalian tenang saja, sekarang Light itu teman kita," sahut Kazo sembari mengelus-elus kepala dingin Red Valhi yang sudah mendapat julukan baru. Sekali lagi Arga dan Bam saling berpandangan saat melihat Red Valhi baru saja tersenyum sambil menikmati belaian tangan Kazo di kepalanya. Sungguh pemandangan yang mengagumkan sekaligus menyeramkan.
Sedangkan Naoki sejak tadi tampak duduk diam sembari melipat kedua kakinya. Pria berambut panjang itu terlihat sedang melakukan komunikasi melalui Alpha sejak tadi. Entah siapa yang ia hubungi, yang jelas mimik wajahnya memperlihatkan kerutan yang tampak serius sekali. Hingga lima menit kemudian Ain Naoki kembali membuka matanya, ia tampak mengatur laju nafasnya sesaat. Berkomunikasi menggunakan Alpha memang sangat melelahkan, bahkan untuk ukuran pemimpin para penjelajah dengan kasta Vimal, Naoki masih cukup tampak kewalahan.
"Siapa yang kau hubungi?" seru Bam setelah melihat pemimpinnya itu sudah selesai mengatur nafasnya. Tapi Naoki tidak langsung menjawab. Ia lalu menatap Kazo yang duduk di atas kepala Red Valhi.
"Hei Kazo, bisakah kau suruh makhluk lelet ini jalan lebih cepat."
Jelas, ucapan Naoki yang sembarang membuat Bam dan Arga meneguk ludah dengan wajah pucat. Makhluk itu memang tidak terlihat memiliki telinga, tapi dia masih bisa mendengar dengan jelas. Karena hanya selang beberapa detik Naoki menyelesaikan kalimatnya, makhluk itu langsung mengaum kencang dan melempar tubuh penjelajah Rania itu dengan salah satu akarnya.
"Kyaaaa… Apa yang kau lakukan, dasar makhluk baper!" teriak Naoki saat mendapati dirinya terlempar jauh hingga tubuhnya mendarat tajam di atas tembok labirin.
Tiga anak yang menyaksikan kejadian itu bukannya merasa takut dan prihatin malah tertawa terbahak-bahak. Terutama Bam, kapan lagi dia bisa menistakan pemimpinnya.
"Hahahaha… Sekarang rasakan apa yang selama ini aku rasakan hahahah…"
Bam masih semangat menertawakan Naoki. Selama ini Naoki terlalu sering menegur sikapnya yang selalu dianggap minim sopan santun. Dan sekarang pemimpinnya itu baru saja mendapat boomerang dari ucapannya selama ini.
Light yang merasa dirinya mendapat tepuk tangan meriah atas perbuatannya, merasa ingin melakukan sekali lagi saat Naoki kembali mendarat di atas punggungnya.
"Hei Light, Hentikan itu! Kau harus belajar memaafkan kesalahan orang lain, paham. Tidak semuanya harus kau balas dengan perbuatan juga." Kazo segera mencegah niat buruk Light yang mencoba ingin melempar Naoki sekali lagi. Dan ajaibnya, makhluk yang semula tampak bersemangat itu langsung tertunduk dengan wajah lesu. Ia langsung kembali menurunkan akarnya yang sudah hampir melilit tubuh Naoki.
"Jadi dia benar-benar mendengarkanmu, Kazo." Ucapan itu keluar dari mulut Arga. Anak tampan berambut hitam itu berdiri di belakang adiknya, jelas raut wajahnya memperlihatkan sebuah kekaguman dan kebanggaan tersendiri.
Secara perlahan dan satu persatu, kekuatan Kazo yang selama ini tersegel dan tersembunyi mulai bangkit dengan sendirinya. Arga berharap Kazo akan terus mempertahankan keyakinannya tentang dirinya sendiri dan juga dari mana ia berasal. Karena selama ini Kazo masih enggan menerima takdir dan juga kenyataan tentang dirinya sendiri.
"Aku juga tidak tahu bisa melakukan hal seperti ini, tapi ini sangat menyenangkan bukan? Aku semakin penasaran dan tidak sabar untuk melihat Porta Loka."
"Jadi sekarang kau sudah yakin?"
"Memangnya ada lagi yang harus kuragukan ketika aku melihat dan juga bisa melakukannya sendiri?"
Kazo memberikan tatapan tegas yang selama ini tidak pernah dilihat oleh Arga. Perubahan itu cukup nyata di depannya, namun Arga menyukainya karena memang itu yang diharapkan dari Kazo. Karena apa yang dimiliki oleh Kazo bukanlah hal yang harus diremehkan.
Kekuatan besar anak itu masih terkubur di dalamnya, setidaknya dia harus memiliki keyakinan yang kuat agar dia bisa membangkitkan apa yang dimilikinya. Arga lalu melirik pada panjang yang ada dibalik punggung adiknya, bahkan sekarang dia sudah bisa membawa pedang itu secara nyata. Karena biasanya seorang Vimal membutuhkan latihan panjang dan waktu bertahan-tahun untuk mendapatkan senjata mereka secara nyata. Sedangkan Kazo sepertinya tidak butuh masa pelatihan untuk membuat Agome mau menampakkan wujudnya.
"Hei Kazo dari mana kau mendapatkan ini?" Arga kembali berucap seraya mengangkat pergelangan tangan kanan adiknya. Ia lalu menyingkap ujung kaus Kazo yang memperlihatkan sebuah tato melingkar di pergelangan tangannya. Padahal gambar seperti tato itu sebelumnya tidak ada.
Jelas ekspresi wajah Kazo jauh lebih terkejut lagi. Ia menatap pada Arga yang kini menautkan kedua alisnya, seolah bertanya lebih lanjut lagi. Anak berambut biru itu menatap nanar pada pergelangan tangannya. Gambar sebuah tali yang melingkar dengan empat bulatan kecil di sekitarnya, Kazo tidak mungkin lupa itu. Ia baru mendapatkan benda itu beberapa hari yang lalu di dalam mimpinya. Tapi benarkah itu adalah mimpi atau sebuah ingatan yang lain, karena gelang pemberian ibunya kini melekat dan menyatu dengan dirinya. Kalau bukan mimpi, lalu di mana tempat itu?
"Maaf mengganggu obrolan keluarga kalian, tapi bisakah kau membuat Tuan Light berjalan lebih cepat dari ini?" ucap Naoki dengan kalimat hati-hati, bahkan ia memakai kata Tuan untuk Light karena dirinya tidak mau dilempar lagi ke tembok labirin.
"Tuan Light?" Bam menimpali dengan nada geli. Tapi Naoki tidak menggubrisnya.
"Aku akan coba bilang itu pada Light, tapi memangnya kenapa? Apa terjadi sesuatu?"
"Arion dan pasukannya sudah berada di dalam labirin."
"Apa?"
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" sembur Bam.
"Aku ingin bilang tapi makhluk si…. Maksudku Tuan Light malah mengajakku bermain-main," sahut Naoki sembari mencoba menahan rasa kesalnya pada makhluk itu.
"Lalu apa yang terjadi di sana, siapa yang baru kau hubungi?" seru Arga.
"Aragon. Sudah jelas sesuatu yang buruk terjadi di sana karena aku tidak mendapat kabar yang utuh dari mereka."
"Sialan, kenapa mereka gigih sekali. Hei Kazo, apa mak...Tuan Light tidak bisa lebih cepat lagi?" teriak Bam.
Kazo segera mengangguk paham. "Tentu, dia pasti bisa. Light, ayo lebih cepat lagi, ada musuh yang datang di belakang kita."
Makhluk buas itu terdengar mengaum sambil menggoyangkan akar-akarnya.
"Light bilang pegangan!" teriak Kazo.
"Apanya?"
Belum sempat Bam dan Arga memahami maksud teriakan Kazo, Light tiba-tiba membuat bentuk tubuhnya menyusut. Ukuran badannya menjadi lebih kecil, begitu juga dengan akar-akar cahaya yang terlihat lebih tipis dari sebelumnya.
Lalu tanpa aba-aba, makhluk itu langsung melesat bagai kilat petir, membuat empat orang yang menumpang di atasnya harus berpegang kuat-kuat pada tubuh makhluk itu. Arga hampir terpeleset dan melepas pegangannya, namun dengan sigap Kazo menangkap pergelangan tangan kakaknya dan kembali menariknya ke atas.
Namun lama kelamaan, empat orang yang sempat kewalahan mencari pegangan di atas tubuh Light akhirnya mulai terbiasa. Makhluk buas itu lari dengan kecepatan tinggi, menembus dinding-dinding labirin yang semakin lama semakin menyempit.
Kazo menyipitkan matanya saat ia menangkap seberkas cahaya putih tampak di ujung jalan.
"Kalian lihat itu?" teriaknya dengan nada kencang.
"Itu gerbang Donya, gerbang masuk ke Porta Loka. Tapi kita tidak akan bisa masuk secara sembarang."
"Apa maksudmu? Lalu bagaimana kita melewatinya?" Arga menimpali ucapan Naoki yang masih sulit dimengerti.
"Karena kau dan Kazo dianggap sebagai pelarian dari Porta Loka, jelas gerbang itu akan menolak kalian. Makanya, itulah kenapa Ayahku sendiri yang menjemput kalian ke sini."
"Tuan Maori, lalu dimana beliau menunggu kami?" seru Bam.
"Aku tidak pernah jauh dari kalian, Bamberda."
Suara serak yang terdengar parau itu jelas membuat tiga anak muda yang sedang mencoba menahan keseimbangan tubuh mereka terlihat menatap beku. Sosok tubuh Ain Naoki yang duduk bersila itu kini menampilkan wajah seorang pria tua dengan jenggot putih panjang. Wajah renta yang menatap dengan sorot mata bijaksana dan hangat, setidaknya itulah kesan yang dilihat Kazo pada pria itu.
Meskipun tubuh itu masih milik Naoki, tapi orang yang ada di hadapan tiga anak muda itu sudah berbeda sama sekali. Tiga anak muda itu sudah tahu bahwa kekuatan Vimal Ain Maori bisa menggabungkan tubuhnya dengan orang yang dikehendakinya. Tapi melihat kemunculannya yang tiba-tiba, tentu membuat mereka terkejut.
Bahkan Bam sendiri masih tampak belum terbiasa dengan kekuatan milik pemimpin Bangsa Rania itu. Anak itu wajahnya terlihat memerah, mengingat sejak tadi dirinya selalu mencaci dan menghina Ain Naoki bahkan juga menertawakannya. Dan ternyata selama itu Tuan Maori juga ada bersama mereka, rasanya Bam semakin ingin mengumpat pemimpinnya itu suatu hari nanti.