webnovel

Mencoba Hidup Baru

Tiga tahun kemudian.

"Sekar, aku pulang." Sekar menoleh untuk melihat siapa yang memanggil namanya sepagi ini. Sekar lalu tersenyum saat tau orang yang sangat dirindukannya beberapa hari ini ternyata sudah berdiri di depan pagar rumahnya. Sekar meletakkan selang air dan menghentikan kegiatannya menyiram tanaman di kebun yang terletak di samping rumah.

Sekar membuka pagar dan mencium tangan laki-laki yang memanggilnya, "Mas sudah pulang, capek?" tanyanya sambil meraih tas yang dipegang laki-laki tadi. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya lalu mencium kening Sekar untuk melampiaskan kerinduannya pada Sekar, sang istri yang sudah tiga hari ini ia tinggalkan.

"Semua capek Mas hilang saat bertemu kamu," balas laki-laki itu sambil memeluk Sekar. Sekar tersenyum dan buru-buru melepaskan pelukan sang suami. Sekar memutar tubuhnya untuk menghindari tatapan laki-laki yang sudah dua tahun ini menjadi suaminya tapi sama sekali belum pernah menyentuh dirinya. Suami yang dicarikan Kayla untuk mengobati rasa trauma yang mendalam meski mereka harus bersembunyi sejauh mungkin karena keluarga suaminya tidak menyukai Sekar. Laki-laki baik hati itu bernama Aditya Prasaja.

"Sampai kapan, Sekar?" tanya Aditya.

"Aku nggak mau bahas itu. Mas pasti lapar, ayo kita makan." Sekar meninggalkan Aditya yang hanya bisa membuang napas. Terlalu sulit baginya masuk dan membuka hati Sekar walau waktu akhirnya mengobati semua rasa trauma yang dialami Sekar.

Aditya kembali mengingat masa-masa sulit yang ia hadapi saat rasa trauma dan luka batin Sekar belum sembuh. Sumpah serapah, makian, pukulan, dan hinaan selalu ia dapatkan saat berusaha dekat atau mendekati Sekar. Sekar membangun banteng pertahanan agar Aditya tidak bisa masuk. Baru enam bulan ini Sekar mulai melupakan rasa traumanya dan menerima Aditya sebagai suami meski mereka masih tidur di kamar yang berbeda.

Sekar menghentikan langkahnya dan kembali memutar tubuh untuk melihat wajah Aditya yang masih tetap tidak berubah meski sudah ribuan kali Sekar menolaknya. Masih tersenyum walau hatinya terluka.

"Sekar bodoh! Sampai kapan kamu menyia-nyiakan Aditya? Laki-laki itu terlalu baik untuk wanita egois seperti kamu. Cari di mana laki-laki yang mau menerima wanita seperti kamu yang tega …." Sekar menggelengkan kepalanya. Ia kembali menghampiri Aditya dan untuk pertama kalinya Sekar menyentuh pipi Aditya. Aditya kaget dan membalas memegang tangan Sekar.

"Sekar," panggil Aditya sekali lagi.

"Maafin aku ya Mas. Aku bukan istri yang baik, aku selalu membuat Mas sedih selama kita menikah. Seharusnya sedari awal aku menolak keinginan Kayla menyuruh Mas menikahi aku. Wanita yang tega membuang …." Aditya meletakkan jari telunjuk di bibir Sekar supaya Sekar berhenti mengingat masa lalunya.

"Kita sudah janji tidak akan membahas masa lalu lagi. Jadi Mas mohon berhenti menyalahkan diri sendiri. Tidak ada satu pun wanita yang ingin berada di posisi kamu. Waktu itu kamu sedang sakit dan orang sakit tidak tahu perbuatannya itu salah atau benar," ujar Aditya. Sekar membuang napasnya lagi.

"Aku nggak tau."

"Kalau kamu mau kita bisa cari anak itu. Kamu hanya perlu mengingat di mana kamu meninggalkan bayi itu." Sekar menggelengkan kepalanya.

"Aku nggak ingat." Aditya memeluk Sekar dan kali ini untuk pertama kalinya Sekar tidak menolak dan membiarkan Aditya memeluknya selama mungkin. Sudah cukup ia menyakiti laki-laki sebaik Aditya yang rela dibuang keluarga besarnya karena menikah dengan wanita kotor sepertinya yang tega membuang darah dagingnya sehari setelah bayi itu dilahirkan. Sekar menutup matanya saat suara tangis bayi tiba-tiba terdengar di telinga, ia memeluk Aditya seerat mungkin agar bayangan bayi itu tidak mengganggu hidupnya lagi. Sampai kapan pun ia tidak akan pernah mau melihat anak dari benih laki-laki yang sudah memerkosanya dan membuatnya hancur seperti dulu.

"Maaf Mas, lagi-lagi aku membohongi kamu," ujar Sekar dalam hati.

Aditya shock saat mendengar Sekar memintanya untuk tidur di kamarnya. Sungguh dalam mimpi pun Aditya tidak pernah menyangka Sekar bisa menerimanya sebagai suami. Sejak awal ia hanya mencoba membantu Kayla, sepupunya yang meminta pertolongan Aditya untuk menyembuhkan Sekar. Aditya pikir dengan bantuannya, Kayla bisa kembali ke kota dan berhenti merecokinya setiap mereka bertemu. Ternyata rencana tinggal rencana. Aditya langsung terpikat dan memberanikan diri menikahi Sekar walau konsekuensinya ia diusir dan tidak diakui sebagai anak lagi oleh kedua orangtuanya.

"Kamu serius?" tanya Aditya yang masih tidak percaya. Sekar mengangguk dan menarik tangan Aditya untuk masuk ke kamar bersamanya. Meski bayangan malam tragis itu masih suka menghantuinya, tapi Sekar tidak mau mengecewakan Aditya lagi. Malam ini Sekar akan menuntaskan tugasnya sebagai istri sebelum Aditya kembali pergi menunaikan tugasnya keluar kota dan meninggalkannya untuk beberapa hari ke depan.

"Aku mau kita mulai dari awal. Ajari aku melupakan masa lalu, ajari aku menerima Mas sebagai suami, ajari aku untuk membiarkan Mas menyentuh tubuhku yang sudah kotor ini …." Aditya meraih pinggang Sekar dan mencium keningnya pelan.

"Aku nggak pernah menganggap kamu kotor. Kamu hanya masuk ke lubang neraka karena keadaan." Aditya mencium kening, hidung, dan berakhir di bibir Sekar. Cukup lama mereka berciuman walau Sekar tidak membalasnya. Aditya tidak patah semangat dan semakin memaksa Sekar untuk membalas setiap sentuhannya, Sekar akhirnya terpancing dan membalas ciuman Aditya.

"Aku harap setelah Mas Aditya meniduriku, bayangan laki-laki jahat itu hilang untuk selama-lamanya." Doa Sekar dalam hatinya.

Rumah tangga Sekar dan Aditya berbeda dengan rumah tangga Ardan dan Maudy. Pernikahan itu berhasil membuat Ardan yang tadinya sombong, angkuh, dan arogan menjadi family man walau semua itu hanya ditunjukkannya di depan Maudy. Ardan tidak pernah lagi marah-marah tanpa alasan dan memperlakukan Maudy selayaknya seorang istri pada umumnya.

"Kamu jadi ke Bandung minggu depan?" tanya Ardan saat Maudy membantunya memasang dasi di leher Ardan.

Maudy mengangguk dan mencium pipi Ardan setelah tugasnya selesai. "Jadi, kamu sih diajak nggak mau. Ya sudah aku pergi sendiri saja." Maudy berakting marah dan membuang mukanya. Ardan tertawa dan memeluk Maudy dari belakang. Sudah tiga tahun mereka menikah dan rasa cinta Ardan semakin besar.

"Maaf ya, kali ini aku nggak bisa temani kamu ke acara itu. Ada hal penting yang harus aku lakukan. Hal yang akan membuat kamu bahagia saat ulang tahun kamu minggu depan," bisik Ardan pelan di telinga Maudy. Senyum Maudy hilang bersamaan dengan ingatannya tentang waktu yang diberikan Tuan Felix akan jatuh tempo bersamaan dengan hari ulang tahunnya.

"Sayang," Ardan memutar pelan tubuh Maudy yang tiba-tiba menegang. Ardan melihat mata Maudy tiba-tiba sayu dan sedih, "Kamu kenapa? Wajah kamu pucat banget." Ardan menyentuh kening Maudy. Maudy memeluk Ardan dengan erat dan mencium aroma tubuh Ardan agar bayangan dan kenangan selama tiga tahun ini bisa tersimpan di kepalanya.

Tiga tahun ini Maudy terlena dan hanyut dalam peran sebagai istri Ardan dan melupakan tugas yang diberikan Tuan Felix. Tuan Felix pun tidak pernah ikut campur sejak kepindahannya ke Australia. Tuan Felix akan kembali saat tugasnya berakhir dan itu berarti Tuan Felix akan kembali satu minggu lagi untuk menagih hasil kerjanya. Sialnya, sampai detik ini Maudy sama sekali belum berhasil membuat Ardan menyerahkan seluruh hartanya.

"Aku nggak apa-apa. Kayaknya aku masuk angin saja." Maudy mengambil jas milik Ardan dalam lemari dan menyuruh Ardan untuk segera ke kantor. Sejak pagi kondisi Maudy memang tidak baik. Perutnya mual dan kepalanya pusing, andai selama pernikahan ini Maudy tidak minum pil KB mungkin ia akan berkesimpulan dirinya sedang hamil.

Salah satu perjanjian yang harus Maudy tepati, tidak boleh hamil selama pernikahan ini berlangsung dan Maudy mengamini perjanjian itu makanya ia selalu tepat waktu minum pil KB. Ardan pun tidak pernah mengungkit tentang anak dan meminta anak sejak mereka menikah dan Maudy berkesimpulan Ardan tidak menyukai anak-anak.

"Aku akan suruh Arjuna mengantar kamu ke rumah sakit. Aku nggak mau kamu sakit," ujar Ardan sambil mencium kening Maudy sebelum pergi ke kantor. Maudy hanya bisa mengangguk dan tidak membantah apa pun perintah Ardan.

"Bagus." Ardan melambaikan tangannya dan meninggalkan Maudy.

Setelah Ardan pergi, Nimas menghampiri Maudy dan memegang bahu kakaknya itu. "Sampai kapan Mbak membohongi Mas Ardan?" Maudy tersentak saat sadar Nimas sepertinya sudah tau apa yang selama ini ia tutupi dari keluarganya.

"Ka … kamu tahu?" tanya Maudy gugup. Nimas membuang napasnya dan mengajak Maudy untuk masuk ke dalam mobilnya. Maudy memegang tangan Nimas dan menatap adiknya itu dengan tatapan memohon.

"Mbak nggak tau kamu tahu darimana tapi Mbak mohon jangan pernah beritahu Mas Ardan," pinta Maudy dengan wajah mengiba. Nimas melepaskan tangan Maudy dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu beberapa bulan yang lalu. Sejak awal aku sudah mengira Mbak dan Mas Ardan menikah bukan murni karena cinta tapi uang. Waktu itu aku tanpa sengaja menemukan ini." Nimas mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Surat perjanjian antara Maudy dan Tuan Felix.

"Siapa Bianca Rose? Mbak dulu menjual diri untuk membiayai aku dan ibu?" tanya Nimas dengan suara serak. Maudy langsung kehilangan kata-kata ketika Nimas akhirnya tahu semua masa lalunya. Nimas membuang surat itu dan memeluk Maudy dengan erat. Tangisnya akhirnya pecah dan menyayat hati.

"Mbak, hentikan semua kebohongan ini," pinta Nimas.

"Nimas."

"Mbak jujur dan ceritakan semua masa lalu dan perjanjian konyol ini ke Mas Ardan. Mas Ardan sangat mencintai Mbak dan aku yakin dia pasti akan memaafkan dan melindungi Mbak dari orang-orang jahat itu. Hentikan Mbak, sudah cukup kita makan dengan uang haram," pinta Nimas dengan penuh harap.

"Mbak takut Nimas. Tuan Felix sangat kejam dan dia bisa menghancurkan kita semua."

"Tapi dia takut sama Mas Ardan. Aku yakin Mas Ardan bisa mengatasinya, aku mohon." Maudy menggelengkan kepalanya, sampai kapan pun ia tidak akan pernah bisa lepas dari cengkraman Tuan Felix.

"Mbak!"

Huekkk huekkk

Maudy menutup mulutnya saat rasa mual kembali menyerangnya. Maudy menatap Nimas dan menghitung kapan terakhir kali halangannya datang dan seharusnya halangannya sudah datang sejak sepuluh hari yang lalu.

Next chapter