webnovel

Biyandra

Maudy meneteskan airmatanya ketika dokter memberitahunya jika di rahimnya kini sudah tumbuh janin milik Ardan. Nimas mencoba menenangkan kakaknya dengan memegang tangan Maudy.

"Ibu seharusnya bahagia," ujar dokter kandungan yang ditemui Maudy. Maudy menggelengkan kepalanya. Hamil berarti neraka baru untuknya dan juga anak yang dikandungnya. Tuan Felix tidak akan membiarkan darah daging Ardan hidup di dunia ini. Jika kehamilannya sampai diketahui Tuan Felix bisa dipastikan Maudy akan kehilangan nyawa dan juga anaknya.

"Saya tidak boleh hamil, dok." Maudy memegang tangan dokter dan menatapnya dengan wajah mengiba.

"Mbak!" teriak Nimas berusaha mengubah pikiran Maudy untuk menggugurkan anaknya.

"Kamu diam! Kamu nggak tahu apa-apa," teriak Maudy dengan kalut. Nimas acuh dan menarik tangan Maudy meninggalkan ruang praktek dokter. Maudy mencoba menghalau tangan Nimas dan meminta dokter menggugurkan bayinya.

"Lepas Nimas. Mbak nggak boleh hamil," wajah Maudy sudah bersimbah airmata.

"Nggak, sudah cukup Mbak berbuat dosa di masa lalu. Jangan pernah Mbak menambah dosa dengan membunuh anak Mbak sendiri. Ya Tuhan! Itu anak Mbak dan Mas Ardan." Maudy luruh dan terduduk di lantai. Ia menangis sesegukan dan bingung dengan langkah yang akan diambilnya.

Maudy memegang perutnya dan isak tangis semakin terdengar keras dan menyayat hati Nimas. Nimas memeluk kakaknya untuk menenangkannya. "Mbak pasti sayang anak itu. Mbak harus bertahan dan menjaganya. Lebih baik sekarang Mbak jujur dan beritahu semua rencana jahat Tuan Felix ke Mas Ardan. Mas Ardan pasti marah dan membenci Mbak tapi dia nggak akan mengusir wanita yang kini sedang mengandung anaknya. Anak ini akan membuat ayahnya memaafkan semua kesalahan Mbak." Maudy mengangkat wajahnya dan menatap mata Nimas.

"Mbak takut."

"Jangan takut, aku Akan menjaga Mbak dari orang-orang jahat. Sekarang Mbak bangun, hapus airmata, dan kita mulai tabuh genderang perang dengan Tuan Felix." Maudy menghapus airmatanya dan mecoba mencerna kembali semua ucapan Nimas. Tiga tahun ia dan Ardan berumah tangga dan selama ini sikap Ardan sangat berubah walau hanya di depan Maudy. Ardan tidak pernah lagi marah, memaki, dan memperlakukan orang lain dengan tidak manusiawi.

"Mbak butuh waktu memikirkannya. Lebih baik kamu pulang dan untuk sementara jangan beritahu siapa pun tentang kehamilan Mbak ini. Terutama ke ibu dan Mas Ardan," pinta Maudy. Nimas membuang napas dan mengangguk setuju.

"Jangan pernah melakukan hal yang akan Mbak sesali nanti," ujar Nimas sebelum meninggalkan Maudy.

Sebelum Nimas pergi Maudy memeluk sekali lagi adik yang paling mengerti dirinya, "Mbak selalu sayang kamu Nimas. Mbak nggak pernah menyesal melakukan ini asal bisa melihat senyum kamu. Jika suatu saat nanti Mbak nggak ada, tolong kamu jaga Mas Ardan ya." Nimas langsung melepaskan pelukan Maudy dan memukul pelan tangan kakaknya itu.

"Ih, Mbak ngomong apa sih. Aku nggak suka ya Mbak ngomong kayak gitu. Lagian ya sampai kapan pun aku nggak akan mau mengambil milik Mbak." Nimas lalu pergi meninggalkan Maudy.

Maudy sekali lagi memegang perutnya, ia tersenyum bahagia walau senyum itu langsung hilang saat melihat Tuan Felix berdiri di depannya. Maudy hendak lari tapi beberapa pengawal Tuan Felix menghalangi jalannya.

"Long time no see, Bianca Rose."

"Silakan masuk Pak," Arjuna mempersilakan pengacara pribadi Ardan untuk masuk ke dalam ruang kerja Ardan. Ardan melirik sekilas dan tersenyum sambil memberi izin pengacara itu untuk masuk.

"Sebentar, sedikit lagi kontrak ini selesai saya periksa. Kamu temani dulu pengacaranya, Juna." Arjuna mengangguk dan menemani pengacara sampai Ardan menyelesaikan pekerjaannya.

Lima belas menit kemudian barulah Ardan memanggil pengacara. Arjuna hendak keluar tapi Ardan melarangnya. Ardan butuh Arjuna selama ia bicara dengan pengacara untuk memastikan tidak ada satu orang pun mendengar pembicaraan rahasia ini.

"Jangan biarkan satu lalat pun mendengar pembicaraan kami," ujar Ardan memberi perintah Arjuna.

"Baik Tuan." Arjuna lalu keluar untuk memastikan tidak ada satu pun orang mendengar pembicaraan Ardan dan pengacaranya. Setelah pintu tertutup Ardan membuka laci dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat.

"Kenapa Tuan memanggil saya?" tanya pengacara. Ardan menyerahkan amplop tadi ke tangan pengacara.

"Semua keinginan saya sudah tertulis di dalam amplop itu. Hanya saya dan Anda yang tahu apa isinya. Jika sampai pihak ketiga sampai tahu, maka saya tidak akan segan-segan menghancurkan Anda. Anda pasti mengenal saya," ancam Ardan dengan tegas. Pengacara mengangguk tanda mengerti. Bukan sekali ini ia berurusan dengan Ardan Mahesa dan mencari gara-gara sama saja bunuh diri pelan-pelan.

Kening pengacara langsung berkerut saat membaca tulisan tangan Ardan. "Tuan serius?" tanya pengacara.

"Saya tidak pernah main-main. Saya akan menyerahkan semua harta Mahesa Group ke tangan istri dan anak saya. Kami berencana mempunyai anak dalam waktu dekat dan setelah Ardan junior lahir maka setengah harta saya akan jatuh ke tangan istri saya dan setengah lagi ke tangan anak saya."

Pengacara mengangguk dan menyimpan kembali surat itu ke dalam amplop coklat tadi. "Jangan sampai Ibu Marinka, Paman Felix dan Mbak Renata tahu isi wasiat saya ini. Jika mereka tahu keselamatan Maudy dan anak saya akan menjadi taruhannya. Di antara mereka bertiga ada yang mulai menyusun rencana menyingkirkan saya dan bisa jadi mereka juga berencana menyingkirkan Maudy."

"Baik Tuan."

"Ah satu lagi. Saya hanya mau punya satu penerus, setelah istri saya hamil maka saya akan melakukan vasektomi. Jadi di masa depan penerus-penerus saya tidak akan pernah bertikai untuk memperebutkan harta itu," ujar Ardan. Ia hanya butuh satu penerus dan penerus itu kelak akan mewarisi semua hartanya.

"Kali ini kayaknya Mas lebih lama deh tugas keluar kotanya. Bos besar menyuruh Mas mengantar pesanan ke Jakarta," ujar Aditya saat Sekar membantunya merapikan baju yang akan dibawanya untuk tugas keluar kota.

"Iya, aku akan tunggu kepulangan Mas," balas Sekar. Aditya memeluk tubuh Sekar dari belakang dan mencium sekali lagi pucuk kepala Sekar dari belakang. Aditya semakin jatuh cinta dan berjanji akan menjaga Sekar seumur hidupnya. Sebenarnya Aditya paling malas pergi dinas ke Jakarta dan meninggalkan Sekar sendirian di rumah tapi berhubung atasannya meminta langsung mau tidak mau Aditya terpaksa menerima tawaran atasannya.

"Ada oleh-oleh?" tanya Aditya sebelum kepergiannya. Sekar menggeleng dan mencium pipi Aditya sekali lagi.

"Mas harus pulang dengan sehat, itu sudah cukup bagiku." Aditya tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum meninggalkan Sekar.

Setelah kepergian Aditya senyum Sekar langsung hilang. Penyatuannya dengan Aditya tadi malam membuatnya mengingat sedikit demi sedikit pelaku keji yang memerkosanya. Sebuah tato unik di dada laki-laki itu akan menjadi jalan pembuka untuknya membalas semua kesakitan yang ditinggalkan laki-laki tidak bertanggung jawab itu.

Sekar membuang napasnya dan kembali masuk ke rumah sederhana yang ia tempati dengan Aditya. Sekar tidak pernah menyangka Aditya bisa beradaptasi dan rela tinggal di rumah sesederhana ini untuk bisa menjaganya.

Lamunan Sekar buyar saat mendengar suara ketukan di pintu rumahnya, "Ah Mas Adit kebiasaan." Sekar berdecak kesal dan bergegas membuka pintu.

"Mas kebia … mau apa kamu ke sini?" senyum Sekar buyar saat melihat Kayla berdiri di depan pintu rumahnya sambil menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Sekar sempat terkesima melihat wajah tampan anak itu.

"Sekar, kita harus bicara."

"Kenapa kamu bawa dia ke sini!" teriak Sekar sambil membuang muka agar tidak melihat wajah anak yang digendong Kayla.

"Sekar,"

"Jangan pernah bicara tentang masa lalu atau apa pun yang berhubungan dengan anak itu. Aku sudah suruh kamu tinggalkan anak itu di panti asuhan, tapi kamu bersikeras merawatnya. Anak itu nggak ada hubungannya dengan aku lagi. Terserah kamu mau asuh atau berikan ke keluarga yang mau mengadopsinya. Aku sudah hidup tenang dengan suamiku."

"Sekar, kamu nggak mau melihat anak kamu untuk terakhir kalinya?" Sekar menggelengkan kepalanya. Airmata jatuh dan langsung dihapus Sekar.

"Nggak," tolak Sekar meski dadanya terasa sakit saat mendengar tangis dari mulut anak yang sama sekali tidak pernah ia sentuh sejak dilahirkan. Anak yang mengingatkannya akan kejadian tragis yang merusak hidupnya.

"Baiklah kalau memang kamu tidak mau melihat dia. Aku ke sini hanya mau berpamitan. Aku memutuskan membawa Biyandra keluar negeri. Kami berdua tidak akan pernah kembali ke Indonesia sampai kapan pun. Kami akan menetap di sana untuk memulai hidup baru."

"Biyandra, Kayla memberi nama anak itu Biyandra. Nama yang bagus jika mengingat kenapa anak itu bisa hadir di dunia ini. Aku harap kepergian mereka akan mengubah jalan hidup anak itu. Pergi jauh dari ibu yang tega membuang anak kandungnya sendiri. Kayla lebih pantas menjadi ibunya dibandingkan aku," ujar Sekar dalam hatinya.

"Aku nggak peduli!" Sekar berlari masuk ke kamarnya dengan membanting pintu. Keputusannya sudah bulat untuk membiarkan Kayla membawa pergi anaknya sejauh mungkin. Kayla mencium pipi gembil Biyandra dan memuja wajah tampan Biyandra yang mewarisi wajah ayah kandungnya.

"Maafin ibumu ya, nak. Dia hanya belum bisa menerima jika kamu hadir dalam situasi yang tidak diinginkan. Jika suatu saat nanti kamu ingin bertemu ibu kandungmu, mama tidak akan pernah menghalangimu. Kamu hanya perlu membenci ayahmu, laki-laki biadab itu suatu saat nanti akan menerima balasannya," kutuk Kayla dengan marah.

Maudy sadar nyawanya terancam sejak pertemuannya dengan Tuan Felix tadi. Untuk sementara ia bisa lolos karena berhasil menyembunyikan kehamilannya dan berhasil kabur dari Tuan Felix saat pengawalnya lengah. Untuk melindungi dirinya Maudy berencana memberitahu Ardan semuanya hari ini. Tentang kehamilannya, masa lalunya, dan kejahatan Tuan Felix.

"Tuan, Nyonya di luar dan ingin bertemu dengan Tuan," ujar Arjuna. Ardan mengangguk dan menyuruh Arjuna mempersilakan Maudy untuk masuk.

Maudy lalu masuk dan langsung memeluk Ardan, "Wohoooo, ternyata istriku sangat merindukan suaminya. Ada apa sayang?" Arjuna tahu diri dan memutuskan meninggalkan Ardan dan Maudy sendirian.

"Aku merindukan kamu," balas Maudy.

"Aku juga, oh iya kamu jadi ke dokter?" tanya Ardan lagi sambil menarik tangan Maudy untuk duduk di sofa.

"Sudah, aku nggak sakit. Ada yang harus kita bicarakan Ardan."

"Bicara apa? Wajah kamu kok tegang." Ardan menuangkan teh ke dalam gelas kosong dan memberikannya ke tangan Maudy.

"Aku hamil anak kamu."

Next chapter