webnovel

Trauma

Pesta pertunangan Ardan berlangsung meriah. Senyum dan tawa canda semakin menambah keramaian pesta yang cukup mewah ini. Maudy mencoba berusaha bersikap seperti biasa, walau hatinya masih tidak bisa tenang karena apa yang ada di depan matanya penuh kebohongan dan tidak nyata. Pesta pertunangan ini memang impiannya sejak kecil. Mewah dan penuh bunga mawar kesukaannya, tapi entah kenapa hatinya tetap tidak bisa menerima ini semua. Tak jarang Tuan Felix memberi kode agar Maudy tersenyum lepas agar pertunangan ini terlihat nyata

Di sudut ruangan berdiri Ardan yang tidak berhenti menatap Maudy tajam dengan kedua matanya. Sapaan dari beberapa tamu ia acuhkan dan sibuk menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelasnya. Ardan mencoba mengingat lagi kejadian di malam itu, walau berakhir dengan kepalanya kembali berdenyut sakit akibat pengaruh minuman tadi. Hati kecilnya sulit percaya jika ia telah meniduri Maudy meski bukti terlihat nyata.

Beberapa koki masuk ke dalam aula pesta pertunangan dan mendekati Ibu Marinka. Mereka berbisik pelan agar tidak mengganggu tamu-tamu pesta yang hadir. Ibu Marinka mengernyitkan keningnya saat salah satu koki memberi tahu jika Pasha dan Sekar menghilang tanpa kabar.

"Kalian sudah coba hubungi?" tanya Ibu Marinka. Koki itu menggeleng pelan dan memperlihatkan ponsel Pasha yang tertinggal di dapur. Ibu Marinka berbisik pelan ke telinga Renata dan Maudy.

"Mami keluar dulu ada masalah di dapur. Kamu tolong awasi Ardan. Dia sudah terlalu banyak minum. Ardan selalu buat masalah jika sudah mabuk," bisik Ibu Marinka pelan agar tamu dan Maudy tidak mendengar pembicaraan mereka. Renata mengangguk dan sesekali melirik ke arah Ardan yang mulai sempoyongan.

Ibu Marinka mengajak beberapa koki tadi menuju ruangannya. Ia pun mencoba menghubungi ponsel Sekar. Ibu Marinka berdecak kesal dan menyuruh wakil kepala koki untuk menggantikan posisi Pasha untuk sementara sampai acara pertunangan Ardan dan Maudy selesai.

"Jangan sampai makanan kurang," ujar Ibu Marinka. Ibu Marinka membuang napas dan memilih untuk berdiam diri di ruang kerjanya sebelum kembali ke ruang VVIP.

Maudy yang melihat kepergian Ibu Marinka melirik sekilas ke arah Renata lalu kembali fokus menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang. Renata meletakkan gelas minumannya dan melihat ke arah Maudy untuk menilai ketulusan Maudy. Semakin keras Renata mencoba menerima Maudy tapi ada saja hal yang membuatnya sulit untuk tidak berpikir jelek bahwa Maudy mendekati Ardan dengan maksud terselubung.

"Kamu temani Ardan. Jangan sampai dia melakukan hal gila saat acara pertunangan kalian," perintah Renata ke Maudy. Maudy mengangguk dan meninggalkan meja mereka untuk mencari Ardan tapi keberadaan Ardan dalam sekejap hilang. Hanya tumpukan gelas kosong berserakan di dekat ia berdiri tadi.

"Kemana dia?" Maudy mencoba mencari ke setiap sudut ruangan, tapi Ardan benar-benar hilang bak ditelan bumi.

Nimas masih tidak terima diperlakukan Arjuna seperti tadi dan ingin Arjuna meminta maaf pada dirinya. Ia menantang Arjuna sambil berkecak pinggang. Matanya sekalipun tidak berkedip saat melihat Arjuna yang bersikap acuh saat mereka berbincang.

"Minta maaf!" teriak Nimas.

"Saya tidak salah. Kenapa saya harus meminta maaf," balas Arjuna dengan wajah dingin.

"Tidak salah? Cuih, orang kaya memang punya segalanya. Punya uang dan kehormatan tapi tidak punya hati dan sopan santun," maki Nimas. Arjuna ingin menghentikan pembicaraan tidak jelas ini tapi tangan mungil Nimas langsung memegang tangannya.

"Saya belum selesai bicara," makinya lagi. Arjuna menghempaskan tangan Nimas dan membuat gerakan menghapus bekas pegangan Nimas dari tangannya.

"Saya bukan orang kaya dan saya tidak mau membuang waktu berharga saya untuk bicara dengan kamu. Permisi." Arjuna meninggalkan Nimas yang tak berhenti memaki dan menyumpahi Arjuna.

Saat akan kembali ke ruang VVIP Arjuna tanpa sengaja melihat pintu gudang yang biasanya tertutup rapat kini terbuka lebar. Rasa penasaran membuatnya ingin mendekat, tapi langkahnya terhenti saat melihat samar-samar bayangan seseorang yang mirip Ardan seperti menjauh dari gudang itu.

"Ah mungkin Tuan Ardan yang membukanya," pikir Arjuna. Ia pun tidak melanjutkan niatnya dan memilih kembali ke ruang VVIP.

"Arjuna," panggil Maudy. Arjuna memutar badannya dan melihat Maudy kebingungan seperti sedang mencari sesuatu.

"Ada apa Anda memanggil saya Nyonya," balas Ardan. Maudy mencoba menormalkan napasnya dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Panggil saja Maudy, jangan Nyonya."

"Anda calon istri Tuan Ardan dan sebagai bawahan saya berkewajiban memanggil Nyonya. Saya tidak mau Tuan marah dan menganggap saya lancang," tolak Arjuna. Maudy lagi-lagi hanya bisa diam dan tidak ingin memperpanjang masalah.

"Ah iya. Kamu lihat Tuan Ardan?" tanya Maudy.

"Tadi saya lihat Tuan Ardan di sekitar gudang belakang, Nyonya." Maudy mengangguk dan tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada Arjuna. Arjuna hanya membalas dengan anggukan kepala dan meninggalkan Maudy untuk mencari segelas minuman. Bertikai dengan Nimas membuat kerongkongannya kering.

Setelah Arjuna pergi Maudy pun langsung menuju gudang, "Mudah-mudahan Ardan masih di sana," ujar Maudy dalam hati. Perasaannya sedikit tidak enak saat melewati lorong gelap di dekat gudang.

"Ardan," panggilnya pelan sambil mendorong pintu gudang. Tidak ada jawaban dari Ardan.

"Jangan-jangan Arjuna salah lihat." Maudy hendak menutup pintu gudang tapi samar-samar ia mendengar suara rintihan wanita dari dalam gudang. Rasa takut dan juga penasaran membuat Maudy memberanikan diri untuk masuk. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghidupkan aplikasi senter.

Maudy langsung menutup mulutnya melihat kondisi Sekar yang terbaring di lantai gudang tanpa sehelai benang di tubuhnya. Sekar terlihat lemah dan tidak berdaya dan lantai gudang penuh dengan darah yang tak berhenti mengalir di sela-sela kakinya. Sekar diperkosa dengan brutal dan ditinggalkan begitu saja seperti binatang hina.

"Ya Tuhan, Sekar!" Maudy mengambil baju Sekar yang sudah rusak dan menutupi tubuh Sekar yang telanjang. Maudy panik dan bingung apa yang harus ia lakukan. Maudy mondar mandir di depan Sekar dan ucapan Arjuna tentang keberadaan Ardan di dekat gudang membuat Maudy kembali menutup mulutnya.

"Astaga, jangan bilang … Ardan?" entah kenapa Maudy kehilangan kata-kata untuk melanjutkan dugaannya. Jika benar Ardan memerkosa Sekar maka semua rencananya untuk menjadi istri Ardan bisa gagal total. Ibu Marinka pasti akan memaksa Ardan menikahi Sekar dan Tuan Felix akan marah besar lalu mencelakai ibunya dan Nimas.

Tangan Maudy bergetar saat menghubungi Tuan Felix. Hanya Tuan Felix yang bisa menyelesaikan masalah ini. Dengan suara bergetar dan takut, Maudy lalu menghubungi Tuan Felix dan menceritakan apa yang terjadi. Awalnya Tuan Felix marah besar tapi dengan bantuannya kejadian tragis yang menimpa Sekar bisa ditutupi dari keluarga besar Mahesa dan khalayak ramai.

"Maaf Sekar. Kamu pasti akan mengutuk Mbak. Suatu saat kamu pasti mengerti kenapa Mbak sampai sejahat ini. Sekali lagi maaf Sekar." Maudy meninggalkan Sekar dan bersikap tidak tau apa-apa. Ia menyerahkan semuanya ke tangan Tuan Felix yang menyuruh anak buahnya menutupi kejadian tragis yang menimpa Sekar.

Tidak ada yang tahu siapa pelaku yang tega memerkosa Sekar malam itu. Kejadian yang mengubah hidup Sekar, Maudy, Ardan, dan Pasha. Mengubah Sekar yang tadinya berani menjadi Sekar yang hancur dan penuh trauma. Mengubah jalan hidupnya yang lurus menjadi berliku-liku.

Keesokan harinya.

Tuan Felix menyerahkan bungkusan berisi uang tutup mulut ke perawat yang diberi tugas menyembuhkan Sekar yang masih terbaring di ruang perawatan. Perawat itu awalnya enggan tapi akhirnya menerima setelah mendengar ancaman yang diberi Tuan Felix.

"Pokoknya saya tidak mau tahu cara apa yang kamu lakukan untuk membungkam mulut wanita itu. Jangan pernah sekalipun terucap nama keluarga Mahesa atau jangan salahkan jika saya menghabisi kamu dan seluruh keluarga kamu, paham?" ancam Tuan Felix. Perawat itu menyimpan bungkusan tadi ke dalam saku celananya lalu mengangguk ketakutan.

Setelah kepergian Tuan Felix perawat tadi langsung melihat kondisi Sekar yang sangat memprihatinkan. Luka fisik Sekar tidak sebanding dengan luka batinnya. Perawat itu diam-diam masuk dan mendorong ranjang yang ditempati Sekar. Satu-satunya cara membungkam Sekar dengan menyembunyikan Sekar sejauh mungkin.

Pasha hanya bisa diam membisu saat Ibu Marinka mencercanya dengan pertanyaan kenapa bisa mabuk saat ada acara besar di restoran. Pasha mengutuk kebodohannya karena terpancing pertemuannya dengan Maudy.

"Kenapa kamu mengecewakan saya?" tanya Ibu Marinka.

"Saya bersedia dipecat, Bu." Hanya itu yang bisa Pasha ucapkan. Ia tidak akan membela diri karena perbuatannya memang sulit untuk dimaafkan.

"Apa yang kamu lakukan sehingga Sekar pun ikut menghilang di malam yang sama? Beberapa koki memberi tahu saya kalau kalian sedang menjalin hubungan. Apa mungkin mabuknya kamu ada hubungannya dengan Sekar?" tanya Ibu Marinka.

Pasha mengangkat wajahnya saat Ibu Marinka menyinggung masalah hilangnya Sekar. "Astaga, Sekar belum kembali, Bu?" tanya Pasha yang kembali panik saat mendengar Sekar belum kembali sejak semalam. Ibu Marinka menggelengkan kepalanya. Pasha langsung membuka baju kokinya dan berlari meninggalkan ruang Ibu Marinka.

"Shit," maki Pasha. Ia pun bergegas menuju kos milik Sekar. Hanya tempat itu satu-satunya harapan Pasha bisa menemukan keberadaan Sekar. Saat tidak menemukan Sekar di kos atau pun di tempat yang ia yakini pasti disinggahi Sekar. Pasha mulai takut sesuatu hal terjadi pada diri Sekar.

"Kamu di mana, Sekar?" teriak Pasha dengan kalut setelah seharian mencari ke semua tempat tapi jejak Sekar hilang bak ditelan bumi. Pasha menghitung waktu hilangnya Sekar dan berniat melapor ke Polisi. Ya, satu-satunya jalan menemukan Sekar dengan cara melapor ke Polisi walau harus menunggu beberapa jam lagi untuk bisa meminta bantuan pihak Polisi.

Dua bulan kemudian.

Perawat yang ditugaskan Tuan Felix meletakkan sepiring nasi dan segelas susu di atas meja. Ia melihat Sekar sedang menatap hamparan sawah melalui jendela. Sudah hampir dua bulan ia dan Sekar bersembunyi di kota kecil ini. Jauh dari kota dan cengkraman Tuan Felix. Sudah dua bulan juga Sekar diam membisu. Setiap hari ia duduk di depan jendela dengan tatapan kosong. Kejadian malam itu meninggalkan trauma cukup mendalam di hati Sekar.

"Sekar." Perawat memegang bahu Sekar. Perawat kaget saat merasakan suhu tubuh Sekar berbeda dari biasanya. Kali ini sangat panas dan wajah Sekar juga sedikit pucat. Perawat mencoba menyentuh kening Sekar walau Sekar langsung menghalaunya.

"Jangan sentuh saya."

Tiga kata keluar dari mulut Sekar untuk pertama kalinya sejak kejadian itu. Perawat tersenyum tapi Sekar kembali membuang wajahnya.

"Kita periksa kondisi kamu dulu." Perawat membawa Sekar ke dalam kamar dan mulai memeriksa kondisi kesehatan Sekar. Sebenarnya Tuan Felix menyuruhnya menyembunyikan Sekar lalu ia bisa kembali kerja di rumah sakit. Entah kenapa melihat kondisi Sekar yang trauma dan mengalami aksi pemerkosaan secara brutal, hati nuraninya sebagai seorang wanita langsung tergerak. Ia menggunakan uang pemberian Tuan Felix untuk bersembunyi dan merawat Sekar.

Perawat itu bernama Kayla. Umurnya hanya beberapa tahun lebih tua dari Sekar. Ia berjanji akan menjaga Sekar sampai Sekar benar-benar sembuh dari traumanya. Meski untuk membongkar siapa pelakunya Kayla masih belum mampu. Ia masih takut Tuan Felix mencelakai keluarganya kalau ia sampai buka mulut dan memberitahu Sekar kalau pelaku pemerkosaan sadis itu ada hubungan dengan keluarga Mahesa.

"Awwww." Sekar meringis menahan sakit saat Kayla menekan perut bagian bawah Sekar. Pengalamannya sebagai perawat membuat Kayla berpikir satu hal. Kejadian itu membuahkan hasil dan bisa saja sakitnya Sekar karena sedang mengandung. Kayla membuka laci bagian bawah dan mengeluarkan sebuah alat tes kehamilan.

"Kamu harus gunakan alat ini," ujar Kayla sambil meletakkan alat itu di tangan Sekar. Tubuh Sekar langsung bergetar saat tahu benda apa yang dipegangnya. Ia membuang alat itu ke lantai dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak! Aku tidak boleh hamil!" teriaknya sambil mengacak-acak rambutnya.

Next chapter