Sepertinya … Rain benar-benar marah pada Jeanna. Melihat suasana hati pria itu memburuk seperti tadi. Bahkan sampai dia membuat keributan dengan pengunjung lain.
Jeanna pamit sebentar pada salah satu waitress di sebelahnya, lalu bergegas keluar. Jeanna menunggu di luar klub dan sesekali mengecek pintu keluar klub. Apa Rain akan keluar dari pintu keluar depan, atau langsung turun ke basemen parkir dan keluar dengan mobilnya?
Jeanna melongok untuk mengecek kedua jalan keluar itu. Hingga kemudian, Jeanna melihat mobil Rain keluar dari pintu keluar parkir basemen. Jeanna bergegas menghampiri mobil itu dan berdiri di depannya ketika mobil itu berbelok ke jalan.
Mobil itu berhenti dan Jeanna bergegas ke pintu belakang di sisi Rain berada. Kaca jendela itu terbuka dan Jeanna langsung membungkuk dalam.
"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf," ucap Jeanna sebelum ia menegakkan tubuh. "Di dalam tadi, Pak Rain harus mengalami hal seperti itu karena saya …"
"Apa?" Rain membentak Jeanna.
Jeanna semakin panik mendengar bentakan Rain itu. "Maaf, Pak, di dalam tadi …"
"Kau … siapa yang bilang aku melakukan itu karenamu, hah?! Aku melakukan itu karena orang itu yang mendorongku dulu. Sama sekali bukan karenamu!" bentak Rain lebih keras.
Jeanna mengerjap bingung. "Apa … maksud Bapak? Saya … minta maaf karena Pak Rain harus mengalami hal tak mengenakkan di ruang VVIP tadi karena saya. Karena saya …" Jeanna tak berani menyebutkan dan hanya menggerakkan telapak tangannya ringan.
Rain melotot dan langsung berteriak marah, "Kau! Kau benar-benar mau mati, hah?! Berani sekali kau menamparku!"
"Maaf, Pak!" seru Jeanna sembari membungkuk dalam pada Rain.
Terdengar embusan kesal napas Rain, lalu suara pria itu, "Mulai besok, kau …"
"Dipecat, Pak?" Jeanna menegakkan tubuh dan menatap Rain panik. "Saya benar-benar menyesal, Pak. Saya tidak bermaksud … menampar Bapak. Saya hanya terkejut tadi. Tolong maafkan saya, Pak," Jeanna memohon putus asa.
"Tak bisakah kau mendengarkanku bicara lebih dulu dan tidak menyelaku?" sengit Rain.
"Ma-maaf, Pak …"
"Mulai besok, pastikan kau berangkat lebih pagi agar aku tidak harus melihatmu di ruanganku. Kau mengerti?!" bentak Rain.
"Baik, Pak!" jawab Jeanna.
Lalu, kaca jendela mobil itu tertutup dan mobil itu melaju pergi. Jeanna mengembuskan napas lega. Hampir saja ia kehilangan pekerjaan berharganya.
***
Rain mengingat kejadian di depan klub tadi dan tiba-tiba merasa sangat kesal.
"Argh!" teriak Rain kesal sembari menendang kursi di depannya.
"Apa ada masalah, Tuan?" tanya Noah.
Rain mengembuskan napas kesal. "Bagaimana dengan orang yang menyerangku di klub tadi?"
"Saya sudah membereskannya, Tuan. Saya sudah melaporkannya, mengamankan bukti dengan sidik jarinya di pisau itu, dan sudah memastikan tidak akan ada kesepakatan damai," jawab Noah.
Rain merasa lebih tenang setelah mendengar itu. Setidaknya, bajingan itu tidak akan lagi berkeliaran di sekitar Jeanna.
"Oh, dan mungkin nanti akan ada wanita dari klub malam itu yang menghubungimu. Aku tidak tahu siapa dia, tapi dia setuju untuk memberikan informasi yang dia tahu tentang Jeanna. Begitu dia menghubungimu, cari tahu juga informasi tentang dia," perintah Rain.
"Baik, Tuan," jawab Noah.
Saat itulah, ponsel Noah bergetar. Noah mengangkat ponselnya dan tampak berbicara. Dia melirik Rain sekilas dan Rain tahu, itu adalah telepon dari wanita yang tadi membuat kesepakatan untuk menjadi mata-mata Rain.
Setelah Noah menutup telepon, dia melaporkan, "Dia meminta bayaran sepuluh juta untuk setiap kali bertemu, Tuan."
Rain mendengus. "Beri uang itu. Sepertinya, dia bisa mendapatkan informasi tentang Jeanna yang tak bisa kau dapatkan."
Noah mengangguk. "Baik, Tuan."
***