29 MEMIKIRKAN GADIS YANG SAMA

Malam pun tiba, mereka semua sudah berada dimeja makan, namun tidak dengan Van. Lagi-lagi, mereka berdua merasa kebingungan, lebih tepatnya kedua orang tuanya, sementara Vin hanya diam saja, tidak ingin memberitahukan apapun.

Bunda merasa khawatir, ini sudah malam tetapi putranya itu belum juga keluar untuk makan malam, kemudian ia pun menoleh kepada Suaminya itu, "Yah, putra kita pasti baik-baik aja, kan?" tanya Bunda pada Suaminya itu.

Suaminya itu menghela nafas, lalu menatap Vin yang sedari tadi diam saja, sibuk dengan makan malamnya sendiri, tanpa peduli pada keadaan Van, abangnya sendiri.

Padahal justru Vin sudah tahu, dan saat inilah Vin membela kakaknya itu, ia hanya ingin membantu kakaknya menutupi semua yang telah dirinya lihat tadi sore.

Tanpa  Vin sadari, hal itu membuat Ayahnya mengundang rasa curiga, seperti saat ini, Ayahnya menatap Vin penuh selidik seakan ada yang disembunyikan oleh anak keduanya itu.

"Vin," panggilnya. Vin pun menatap Ayahnya  dengan alis yang terangkat.

"Kenapa,Yah?" tanya nya, lalu kembali menyuapi makanannya kembali kedalam mulutnya.

Ayahnya yang melihat itu menghela nafasnya, lalu menoleh kearah Istriny itu berusaha menenangkannya dengan cara mengusap-usap punggung tangannya.

"Lebih baik sekarang kita makan dulu, ya, setelah itu baru kita bahas soal ini."

Bundanya yang mendengar itu pun menggeleng tak terima, "Tapi Van belum makan, Yah," ujarnya yang langsung membuat Suaminya itu menghela nafas kembali.

Setelah itu, Ayahnya memanggil pembantu untuk menyuruhnya memanggil Van yang masih berada dikamarnya, tetapi saat hendak pergi, Vin mencegahnya.

"Bi, gak usah, biar Vin aja yang manggil abang, lagian Vin udah selesai, kok, makannya."

Vin pun meneguk minumnya hingga tandas itu, lalu berdiri dari duduknya, pergi menuju kamar Van yang bersebelahan dengan kamarnya itu.

Van sedang berada di balkon kamarnya, memandang langit malam ini yang begitu cantik. Entah kenapa bibirnya tiba-tiba terangkat keatas, siapa saja yang melihatnya pasti akan langsung terpana.

"Gue gak tahu sebenarnya lo itu siapa, tapi entah kenapa wajah lo itu selalu ada muncul dalam bayangan gue, bahkan hati gue juga kesiksa setiap kali liat lo sama orang lain."

Van menunduk, lalu menghela nafasnya panjang mengingat kejadian tadi sore, "Padahal kita bukan siapa-siapa, hanya orang asing yang gak sengaja ketemu beberapa kali," ujarnya lagi.

Sebuah tangan memegang pundaknya membuat laki-laki itu terkejut, ia langsung berbalik dan ternyata itu adalah kakaknya, dengan kesal ia langsung mencubit pinggang kakak perempuannya itu dengan gemas.

"Aw! Sakit, sakit, ampuuun!" teriak kakaknya itu, laki-laki itu menghela nafasnya, kemudian mengalihkan pandangannya kearah balkon kamarnya.

Saat laki-laki itu hendak berdiri dari atas kasurnya, Qinara yang merupakan kakaknya itu bersuara, "Nio, lo mau kemana?" tanya Qinara, yang langsung menyusul adiknya itu menuju kearah balkon.

Qinara menghela nafasnya, kemudian berdiri disamping adiknya yang sedang betah melihat pemandangan dari atas sini. Ia terus memandangi adiknya yang seperti sedang memikirkan sesuatu itu.

"Lo masih marah sama kakak?" tanya Qinara, namun laki-laki itu masih diam saja, tak menjawabnya. "Genio!" panggilnya sedikit keras membuat adiknya itu langsung menoleh kearahnya dengan malas.

"Apa?" tanya nya, sedangkan Qinara yang melihatnya langsung menyengir kuda, "Lo masih marah?" tanya nya sekali lagi.

"Udah enggak," jawabnya yang membuat Qinara mengerutkan keningnya, "Lah, terus kalau udah gak marah, kenapa muka lo ditekuk, gitu?" tanya nya lagi.

"Gapapa, Kak. Ngapain Kakak kesini, tumben?"

Namun, bukan Qinara namanya jika tidak mendesaknya agar adiknya itu menjawabnya dengan jujur. Genio yang ditatap seperti itu merasa risih, ia menghela nafas.

"Fine, gue tadi pulang Sekolah nganterin temen."

"Udah, gitu doang?" tanya Qinara, "Temen lo itu cowok apa cewek?" lanjutnya lagi.

"Cewek," jawab Genio singkat, Qinara yang mendengarnya melongo tak percaya, "APA?! Serius lo, Yo?" tanya nya tak percaya, karena ini adalah pertama kalinya adiknya itu memiliki teman seorang perempuan, bahkan ketika  sedang berkumpul bersama keluarganya yang lain, dengan saudara perempuannya pun,  Genio tidak terlalu dekat.

Genio yang melihatnya langsung mendengus, "Apaan sih, Kak? Gak usah lebay, deh. Lagian cuma nganter doang, gak lebih," ujarnya.

Qinara yang sedari tadi histeris pun seketika langsung terdiam, "Lo... gak macarin dia?" tanya nya yang membuat adiknya spontan menoleh menatapnya tak percaya.

"Kepikiran aja enggak, dih." Genio langsung menyentuh kening Kakak perempuannya itu dengan punggung tangannya, "Pantes aja, sakit ternyata," kekehnya, lalu berlari masuk kedalam kamarnya.

Qinara yang tak terima langsung berteriak, "GENIOOOO!"

Van terkejut ketika ternyata itu adalah adiknya, Vin. Ia kesal karena lagi-lagi, adiknya itu mengejutkannya.

"Ketuk pintu dulu kalau mau masuk, tuh," peringat Van pada adiknya itu.

"Udah, kok, lo nya aja yang budeg, kali," candanya yang membuatnya terkena geplakan keras dikepalanya dari Van. "Mulut, tuh!" ujarnya tak terima.

"Lagian, lo kenapa sih, gak keluar-keluar kamar?"

"Gak mood, aja."

Vin mencibir, "Gak mood atau cewek?" tanya nya sedikit menggoda Van.

"Kepo, lo. Udah, deh, sana pergi, gue lagi pengen sendiri. Sana, sana, hushh!"

Vin berlagak memasang ekspresi sok sedihnya itu untuk melancarkan aksinya, "Kamu usir aku, Mas? Kamu jahat, hiks!" Van yang melihat itu bergidik ngeri melihat adiknya yang seperti itu,

Jujur saja, terkadang ia meragukan kenormalan adiknya itu, hanya karena sikapnya yang terkadang sulit ditebak, aneh. 

Namun, sepertinya abangnya itu benar-benar ingin menyendiri, terbukti saat ini Van mengabaikannya lagi. Laki-laki itu melamun, memandang kosong keatas menatap langit.

Setelah menutup pintu kamar Van, ia terkejut ketika ternyata kedua orang tuanya sudah berdiri didepan kamar abangnya.

"Ayah, Bunda, ngapain kesini?" tanya nya yang sedikit terkeju dengan kehadiran kedua orang tuanya.

Ayah menjawab, "Ini, Bunda kamu pengen tahu keadaan abang, katanya. Udah Ayah larang, tapi Bunda maksa Ayah."

Vin menatap Bundanya, "Bunda, abang gapapa, kok, jadi Bunda gak perlu khawatir lagi, ya," ujar nya berusaha menenangkan Bundanya itu.

Ia melihat Bundanya membawa nampan yang berisi makanan dan minuman, bisa ia tebak, ini pasti untuk Van. Vin tersenyum, lalu mengambil alih nampan itu dari tangan Bundanya.

"Bund, ini buat abang, kan? Sini, biar Vin aja yang kasih. Tenang aja, Vin pastiin abang makan sampe habis."

Setelah itu, Vin menatap Ayahnya, kemudian mengedipkan matanya memberi isyarat, Ayahnya yang mengerti pun langsung mengangguk.

"Bund, ke kamar, yuk! Ayah kangen sama Bunda, ayok!"

Bunda yang mendengarnya langsung memalingkan wajahnya kearah lain, sedangkan Vin yang melihatnya terkekeh melihat sepasang Suami-Istri itu, lalu menggelengkan kepalanya.

Setelah kepergian kedua orang tuanya, Vin kembali masuk kedalam kamarnya untuk memberikan nampan ini. Seketika ide jahil terlintas dipikirannya, lalu masuk kedalam kamarnya, lagi.

Beruntung, Van masih berada di balkon kamarnya, sehingga ia bisa menjalankan rencananya itu. Ia menyimpan ponselnya nya dibelakang barang-barang yang ada didekatnya itu, sehingga ponselnya itu tak terlihat oleh Van.

Dirasa selesai, Vin pun langsung menjalankan misinya. Ia membawa nampan itu, lalu menuju kearah balkon untuk menghampiri Van.

"Bang," panggilnya.

"Apaan lagi, sih?!" tanya nya, kemudian Van meneguk ludahnya ketika melihat nampan yang dibawakan oleh adiknya itu.

Disana ada makanan kesukaannya, Vin yang melihat itu langsung menyeringai, ia tahu jika abangnya itu sedang mati-matian menahan laparnya karena gengsi.

"Gue gak mood makan, sana bawa keluar aja, kasih ke Bibi aja kalau bisa."

"Serius? Ini enak banget, loh, Bang. Masa lo nolak makanan seenak ini, sih, yaudah, dari pada mubadzir, mending buat gue aja, kapan lagi, gitu, kan, bisa makan seenak ini."

Van yang mendengarnya melotot tajam, Vin pun membawa nampan itu kedalam kamarnya kembali, ia berniat menyimpan nampannya itu didalam kamarnya.

"Bang,"

"Apaan?"

"Nitip bentar, ya, gue kebelet nih, awas lo jangan dimakan!"

Van yang mendengarnya langsung mengulum senyumnya, tanpa ia sadari bahwa adiknya itu sedang menjahilinya. Ia pun langsung masuk kedalam kamarnya dan berkata, "Iya, sana, nanti lo keluar disini lagi," usir Van, sedangkan Vin mencebik.

Setelah Vin keluar dari kamarnya, ia langsung melirik nampan yang berisi makanan kesukaannya itu, tanpa menunggu lagi, ia langsung melahap makanannya hingga tanpa sisa, bahkan piringnya pun bersih.

Kemudian Van pun meminum segelas susu itu, laki-laki itu bersendawa karena kekenyangan, dan itu semua sudah terekam oleh ponsel milik adiknya sedari tadi.

Dibalik pintu, Vin terkekeh, rencananya benar-benar berhasil, bahkan hingga saat ini Vin masih terkikik, "Tinggal kirim videonya ke Ayah sama Bunda," gumamnya  kemudian berjalan menuju kamarnya.

avataravatar
Next chapter