30 SURUHAN SIAPA

FLASHBACK ON

Setelah selesai berbicara penting dengan Rudy, John hendak memasuki mobilnya, namun tak jadi. Dari ujung matanya, ia bisa melihat seseorang yang baru saja memotret dirinya dengan Rudy, maka dari itu, ketika John kembali mendekati Rudy dan berbisik, "Mereka pikir, mereka pintar, nyatanya mereka bodoh, benar-benar bodoh. Lo, hati-hati, Rud, kalau ada apa-apa, hubungi gue."

John pun dengan gerak cepat kembali memasuki mobilnya, membuat rencana, "Pak, ayok jalan," titah John pada sopir pribadinya itu yang langsung diangguki olehnya.

Selama perjalanan, John tak henti-hentinya terus memperhatikan kebelakang membuat Pak Bram yang merasa aneh dengan tingkah majikannya itu, bertanya, "Ada apa, Pak?" tanya sopir itu.

John pun langsung menoleh, "Pak Bram, gantian biar saya aja yang nyetir," ujar John yang membuat sopirnya itu terkejut.

"Loh, emangnya kenapa, Pak?" tanya Pak Bram dengan alis yang terangkat

Setelah mobil diambil alih oleh John, ia langsung menancapkan gasnya denga kecepatan diatas rata-rata, tetapi sebelum itu, ponselnya mendadak berdering, tanpa pikir panjang ia pun langsung mengangkatnya.

"Halo."

Hening, belum ada sahutan dari seberang sana, membuat alis John mengerut. Ia melihat mobil itu yang masih mengikutinya, lalu melihat layar ponselnya yang menyala, ternyata si penelepon asing yang menghubunginya, John berpikir ini pasti ada kaitannya dengan kejadian hari ini.

"Halo, dengan siapa ini?! Jangan bermain-main dengan saya!"

Setelah mengucapkan itu, terdengar suara tawa dari seseorang itu, setelahnya sambungan panggilan pun diputuskan sepihak oleh orang yang bahkan belum sempat John ketahui sama sekali.

John langsung mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, lalu melihat kembali mobil hitam itu yang ternyata juga terus mengikutinya, "Kita lihat nanti, siapa dalang dibalik semua ini, akan ku pastikan orang itu mati didepan mataku!"

Saat ini John memilih untuk singgah terlebih dahulu disebuah Cafe yang jaraknya dekat dengan tempat tinggalnya. Ia menyesap kopinya kuat-kuat dengan sekali tegukan, kopi itu pun habis. Pak Bram masih didalam mobil dengan posisi yang masih tertidur.

John masih bertanya-tanya dengan kejadia hari ini, banyaknya orang yang diam-diam mengikutinya, ia menjadi merasa tengah diawasi seperti ini, padahal selama ini John tak pernah memiliki masalah dengan siapapun.

Tiba-tiba ponselnya pun kembali berdering, sahabatnya Calvin baru saja menghubunginya, ia langsung mengangkatnya dengan suara yang dibuat serelaks mungkin.

"Halo, Vin, ada apa?"

"Lo, dimana?"

"Gue di Cafe, kenapa?"

Terdengar helaan nafas dari Calvin, sepertinya ada yang ingin pria itu katakan padanya, "Vin?" Panggil John.

"John, minggu ini gue mau nikah, dan..." Ucapan Calvin menggantung membuat John yang tak sabar pun angkat bicara, "Dan, apa?" tanya John dengan sabar.

"Gue udah gak bisa kerja sama lo lagi, sebelumnya gue minta maaf, John, gue udah mengacaukan semuanya."

Seketika kening John berkerut dalam, ada yang aneh, "Maksud, lo?!" tanya nya dengan sedikit berteriak.

"Maafin gue, John."

Setelah itu sambungan telepon pun terputus, John memijit pangkal hidungnya, kenapa banyak sekali yang terjadi hari ini, apa yang tengah terjadi sebenarnya, John benar-benar frustasi sekarang ini.

Tiba-tiba pikirannya tertuju pada temannya, Rudy. Ia langsung menghubungi pria itu, akan tetapi tak ada satu pun panggilannya yang diangkat oleh pria itu, John khawatir, takut terjadi sesuatu dengan Rudy, karena dirinya.

"Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya.

Disisi lain, Pak Bram baru saja terbangun dari tidurnya, ia kemudian melihat sekitar dengan kening yang berkerut, dihadapannya adalah sebuah Cafe, ia berpikir mungkin majikannya itu sedang berada disana.

Pak Bram menghela nafasnya, lalu mengecek ponselnya yang ternyata terdapat banyaknya beberapa panggilan dari Nyonya besarnya, Yuanita, istri John. Ia membulatkan matanya, langsung saja ia menelpon Yuanita sembari merapalkan doa agar tetap bisa tenang.

"Halo, Nyonya."

"Kenapa panggilan saya tidak kamu angkat, hah?! Dimana dia sekarang?!"

"A-anu, maaf, Nyonya, saya tertidur di mobil."

"APA?! Lalu suami saya dimana?!"

"Bapak sedang didalam Cafe, Nyonya."

"Baiklah, awas saja jika kamu berani berbohong pada saya!"

"I-iya, Nyonya."

Sambungan telepon pun terputus, Pak Bram akhirnya bisa bernafas lega, sungguh, jika berhadapan dengan wanita yang satu ini, ia benar-benar tak sanggup, masih lebih baik jika ketika bersama mantan Istri majikannya yang dulu.

"Andai saja, Bu Mara masih jadi istrinya, Bapak. Ngomong-ngomong sekarang dimana, ya?"

Pak Bram pun menyusul memberanikan diri memasuki Cafe, karena permintaan John. Tidak biasanya, majikannya itu seperti ini. Ia melihat sekelilingnya untuk mencari keberadaan John, terlihat seseorang yang tengah melambaikan tangannya kearahnya.

"Pak Bram, ayok duduk."

Akhirnya Pak Bram pun duduk, John yang melihatnya pun tersenyum, lalu memesankan minuman satu lagi untuk sopirnya itu. Pak Bram yang melihatnya hanya diam saja, ia tidak berani menolak atau pun membantah, makanya ia lebih memilih diam saja.

"Pak," panggil John serius.

"Iya, Pak."

"Dengarkan saya baik-baik," pintanya dengan nada yang mulai serius, Pak Bram mulai mendengarkannya dengan seksama, sesekali pula ia mengangguk dengan penjelasan yang diberikan oleh John, padanya,

"Baik, Pak. Tapi..." John yang mengerti maksud dari Pak Bram pun tersenyum, "Tenang saja, saya akan mengurusnya nanti, jika dia bertanya, katakan saja ada urusan mendadak keluar kota."

Setelah itu Pak Bram pun pergi meninggalkan John sendirian di Cafe itu. Langkah selanjutnya, John menghubungi seseorang, mungkin jika meminta tinggal beberapa waktu disana tak ada masalah, nanti setelah disana, John akan menceritakan semuanya.

"Halo, aku kesana sekarang."

"Hah? Malam-malam begini?" tanya seseorang itu dengan sedikit terkejut, John yang mendengarnya terkekeh, lihatlah, bahkan ketika sedang dalam keadaan tak baik pun, John bisa tertawa dan tersenyum berkat seseorang itu.

"Iya, kenapa, gak boleh?"

"John," panggil seseorang itu, John yang mendengarnya pun langsung terkekeh.

"Aku serius, suamimu akan pulang, bukakan pintunya, ya?" ujar John dengan nada menggoda, seandainya pria itu sedang berhadapan langsung dengannya, pasti John bisa melihat betapa lucunya seseorang itu ketika sedang salah tingkah.

"John, sungguh, itu gak lucu sama sekali."

Suara ketukan pintu membuatnya sedikit terkejut, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Buru-buru ia menuju pintu utama rumahnya itu untuk melihat siapa yang bertamu malam-malam begini.

Seketika matanya pun membola ketika melihat seseorang yang ada dihadapannya saat ini, "K-kamu? Aku pikir kamu cuma becanda tadi." Ujarnya.

"Mara, aku gak pernah bohongin kamu," ujar seseorang itu.

Benar. Pria itu tak pernah berbohong soal ucapannya, namun itu dulu, saat ini baginya sudah tak lagi. Pria dihadapannya saat ini adalah John. Ibu Via lalu mempersilahkannya masuk kedalam sebelum orang-orang melihat mereka.

"Mau kemana?" tanya Mara ketika melihat John melengos pergi kedalam rumah.

"Mau lihat anakku, kenapa?"

"Jangan ganggu, dia udah tidur."

Mendengar itu John tak terima, hanya ingin melihat saja kenapa dilarang, pikirnya.

"Aku hanya ingin melihat anakku, bukan mengganggunya, Mara."

Ibu Via yang mendengarnya pun menghela nafasnya, lalu setelah itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuannya. John dengan senangnya langsung bergerak cepat menuju kamar putrinya itu.

Pintu pun dibuka dari luar, John bergerak masuk kedalam kamar yang gelap itu, ia menyalakan lampunya sebentar untuk melihat putrinya yang sudah terlelap tidur itu.

"Cantik," batin John, senyum tiba-tiba mengembang, mengingat apa yang dikatakan Rudy padanya saat tadi siang, benar-benar membuatnya bersedih. Rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya sekarang, melihat wajah polos putrinya membuatnya merasa menjadi orang yang paling berdosa dalam hidupnya.

"Maafkan Ayah, ya, Sayang," lirih John dengan air mata yang sudah turun membasahi pipinya. John dengan hati-hati langsung mengecup kening putrinya.

Ibu Via yang menyaksikan itu pun ikut menitikkan air matanya, sungguh, inilah impian yang begitu dirinya nantikan sedari dulu, namun nyatanya itu tidak terjadi. Sekarang, ketika melihatnya, entah kenapa hatinya begitu sesak, melihat seorang Ayah dan anak, tetapi sang anak tak mengetahui bahwa orang yang akhir-akhir ini selalu dilihatnya adalah Ayahnya sendiri.

Kemudian, pria itu. Ibu Via merasa bersalah karena tak mampu mengatakan yang sejujurnya kepada anaknya sendiri. Entahlah, ia hanya merasa dengan cara ini, Via bisa terlindungi, tak akan merasakan sakit pada hatinya. Meskipun dirinya tahu, jika ia terlalu egois untuk kedua orang itu.

Karena sudah tak tahan melihat pemandangan dihadapannya itu, ia langsung berlari masuk ke kamarnya, lalu mengunci pintunya. Disana ia meluapkan segala rasa sakitnya, juga rasa bersalah yang begitu besar terhadap John dan Via.

John menutup pintu kamarnya Via, setelah itu melewati pintu kamar Ibu Via. Alisnya mengerut ketika samar-samar mendengar suara seseorang menangis dari dalam kamar itu. Ia ingin mengetuk pintunya, tetapi ragu. Ia pun menjadi khawatir dan berakhir memilih menunggu di ruang televisi.

Meskipun sedang dalam pikiran yang berkecamuk ketika mendengar Mara menangis, tetapi John tetap menunggunya, ia ingin tahu apa yang menyebabkan wanita itu menangis, meskipun kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja benar, akan tetapi, ia ingin mendengarnya langsung dari mulut wanita yang begitu dirinya cintai itu.

John menyandarkan punggungnya disofa, kemudian memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang.

"Mara."

FLASBACK OFF

avataravatar
Next chapter