28 PENGUNTIT

Rudy sedang memainkan ponselnya sendiri, baru saja bertukar kabar dengan putranya itu, melihat bagaimana tidak antusiasnya ketika tahu jika putranya itu berkata bahwa semuanya biasa saja dan tidak ada yang istimewa, membuatnya geleng-geleng kepala dibuatnya.

Suara ketukan pintu membuatnya menoleh, disana satpam penjaga Sekolahan baru saja memberitahukan kedatangan John, ia sudah bisa menduganya lebih dulu. Rudy pun beranjak dari ruangannya, lalu berjalan menuju dimana John baru saja turun dari mobilnya, ia selalu menyambutnya dengan baik, karena bagaimana pun Sekolahan ini adalah milik John.

Rudy tersenyum ketika melihat John yang baru saja turun dari mobilnya itu, pakaian ala kantornya dengan kaca mata hitam yang bertengger hidungnya itu, ia akui jika sosok John benar-benar begitu disegani oleh siapapun, termasuk dirinya.

Ia tidak menyangka jika teman Sekolahnya dulu yang satu ini menjadi sukses dengan hasil kerja kerasnya sendiri, meskipun Rudy tahu jika keluarga John juga tidak bisa diremehkan kekayaannya.

John menghampirinya dengan senyum mengembang, membuat para guru-guru perempuan disini menjerit, bahkan ada yang kecentilan, melihat itu semua, Rudy hanya menggelengkan kepalanya, karena ia tahu siapa wanita paling beruntung yang paling begitu John cintai hingga saat ini.

"Hai, John. Apa kabar?" John tersenyum, kemudian membuka kaca matanya itu.

"Hai, Rud. Sedikit lebih baik, mungkin," jawab John sembari terkekeh, membuat Rudy yang mengerti maksud dari ucapannya itu pun ikut terkekeh, setelah itu mereka berdua pun menuju ruangan khusus John itu jika ingin mampir ke Sekolahan ini.

Kini hanya ada mereka berdua dalam ruangan ini, Rudy dan John. Mereka mulai membahas bagaimana Via di hari pertamanya bersekolah, tentu saja Ibu Via tidak mengetahui persoalan ini, karena jika mantan Istrinya itu tahu, maka semua rencananya akan berantakan dan John tidak akan mungkin mendapatkan jawabannya.

Rudy turut sedih dan prihatin ketika melihat Via yang sepertinya begitu sulit untuk bergaul bersama murid lainnya di Sekolah ini. Ia menceritakan semuanya dengan jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi.

"Rud, lo yakin dengan apa yang lo lihat?" tanya John dengan serius untuk memastikannya sekali lagi bahwa dugaannya pasti salah dan apa yang dikatakan Mara pada kemarin malam itu benar.

Tetapi kembali pada kenyataan, jika ternyata dugaannya itu benar dan yang dikatakan Mara itu salah, mantan Istrinya itu membohonginya dan berusaha menutupi semuanya tentang Via.

Tangan John mengepal kuat, ia tidak menyangka jika selama bertahun-tahun ini mereka berdua menjalani kehidupan yang benar-benar menyedihkan, terutama untuk putrinya, Via.

John sudah tak tahan lagi, air matanya mengalir begitu saja dengan kepala yang tertunduk, sementara itu Rudy yang melihatnya ikut prihatin, ia tak masalah jika seorang pria menangis, karena biar bagaimana pun pria juga manusia, memiliki hati.

Rudy hendak mengusap punggung John, namun urung, jadilah pria itu hanya bisa menepuk pundak John bermaksud menguatkan temannya itu.

"Gue turut prihatin tentang Via, John. Inget, jangan terlalu menyalahkan diri lo sendiri, karena rencana Tuhan gak akan ada yang tahu seperti apa kita kedepannya," ujar Rudy mengangguk tersenyum.

John yang mendengarnya langsung mendongak menatap Rudy dengan senyum yang mengembang, tanpa rasa malunya, ia memeluk Rudy ala pria, tubuhnya kembali bergetar hebat, pria itu kembali menangis.

"Terima kasih untuk semuanya, Rud," ujar John.

"Iya, sama-sama, John, gue juga ya, makasih untuk semua kebaikan yang selalu lo kasih ke gue, sampai kapanpun gue bakalan tetap berhutang budi sama lo," ujar Rudy sembari menepuk punggung John yang sedikit lebih besar darinya.

Akhirnya mereka pun melepaskan pelukannya, John menyuruh Rudy untuk menyimpan terlebih dahulu semua video dan foto-foto itu sebagai bukti nanti, entah kenapa, John merasa suatu saat pasti akan membutuhkan bukti-bukti itu.

"Rud, tolong simpan dulu semua bukti-bukti ini, Rud, jaga baik-baik jangan sampe hilang."

Rudy mengangguk melaksanakan perintahnya, "Siap, John," jawab Rudy mantap.

Setelah itu, John pun memakai kembali jas kebanggaannya itu, tak lupa mengenakan kembali kaca mata hitamnya, jika tidak, maka semua orang akan tahu jika dirinya sehabis menangis, tidak, jangan sampai itu terjadi.

Sampai diparkiran, John kembali menghampiri Rudy dan berbisik, entah apa yang dibisiki olehnya itu, tetapi setelah Rudy mendapat bisikan itu, Rudy langsung terkekeh. John pun melambaikan tangannya sebelum memasuki mobilnya itu.

Mobil yang dikendarai oleh John pun sudah tak terlihat dari pandangannya, Rudy tahu jelas bagaimana seorang John, pria itu sebenarnya lemah jika dibelakang, hanya saja John pandai menutupi semua permasalahan hidupnya rapat-rapat, jika bicara tentang hidup, sejujurnya lebih beruntung Rudy, tidak memiliki kekuasaan dan kekayaan, namun memiliki kasih sayang dan cinta dari keluarga kecilnya.

Melihat John, ia menjadi tahu bahwa kekayaan bukanlah sumber kebahagiaannya, namun kasih sayang dan cinta dari keluarga lah yang merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Andai semua orang tahu, bahwa bahagia itu tidak selalu berasal dari materi, tetapi juga hidup bersama orang-orang yang kita sayangi atau pun sebaliknya, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

"Kalau ada orang yang selalu nemenin lo, sampai lo bisa dapetin kebahagiaan lo yang hilang, maka itu adalah gue, John. Gue bakal selalu ada untuk lo, sampai kapan pun itu."

Baru saja Van sampai di rumahnya, tubuhnya benar-benar lelah, semuanya sangatlah membosankan, entahlah, untuk saat ini ia butuh pelampiasan.

Tanpa mengganti seragam sekolahnya itu, Van berjalan menuju ruangan olahraganya itu, ia langsung memukul dan menendang apapun yang berada disekitarnya, hatinya mendadak tak karuan saat ini.

Hatinya saat ini benar-benar tak karuan, bayangan gadis itu kembali muncul, sebenarny apa yang tengah terjadi padanya,  Van benar-benar tak mengerti dengan dirinya sendiri saat ini.

Ia tidak tahu jika apa yang baru saja dirinya lihat itu benar-benar akan berefek seperti ini, demi apapun entah kenapa apapun yang berkaitan dengan gadis itu benar-benar berefek sampai sejauh ini.

Van mengacak-acak rambutnya frustasi, "Siapa, siapa dia?" lirihnya frustasi. Tanpa dirinya sadari, dari balik pintu yang sengaja dibuka sedikit itu, ada seseorang yang memperhatikannya.

"Sabar ya, Bang, lo pasti tersiksa banget selama ini," gumam Vin yang bersembunyi dibalik pintu.

Setelah melihat itu, Vin segera berlalu dari sana sebelum Ayah dan Bundanya melihatnya dan mengetahui semuanya.

Selama perjalanan pulang, John merasa ada yang mengikutinya sedari tadi, tiba-tiba terlintas sebuah ide.

"Pak Bram, gantian biar saya yang nyetir."

Tentu saja, ucapan John itu membuat sopir pribadinya itu terkejut, "Loh, memangnya kenapa?" tanya Pak Bram pada John.

John terkekeh, "Gapapa, kok, Pak. Saya cuma mau ngasih sedikit pembelajaran sama seseorang," jawab John, tetapi Pak Bram tetap tidak mengerti apa yang dikatakan majikannya itu.

Tetapi meskipun tidak mengerti, Pak Bram langsung menepikan mobilnya sebentar, lalu hendak membuka pintu mobilnya. Melihat itu, dengan cepat John menahannya, kalau sampai  Pak Bram keluar dari mobil, maka semua rencananya akan kacau.

"Kenapa, Pak?" tanya Pak Bram.

"Gak usah keluar, Pak, pindah aja ke sebelah kiri saya," jawab John, setelah itu  sopir itu pun langsung beralih tempat duduk ke sebelah kirinya, dan John saat ini sudah mengambil alih mobilnya.

John menoleh kearah Pak Bram, "Pak, pegangan ya, kalau gak kuat teriak aja gapapa," ujar John yang membuat Pak Bram meneguk ludahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"B-bapak, mau ngebut?"

Tanpa menjawab, John langsung menancapkan pedal gasnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Ia memilih jalan tol agar rencananya berjalan lancar.

Sesekali John tersenyum sinis melihat mobil hitam itu yang terus mengikutinya. John menoleh untuk melihat Pak Bram sebentar, ternyata pria yang umurnya lebih tua itu tertidur dengan pulas, melihat itu John terkekeh.

avataravatar
Next chapter