12 Masih dalam Pesta Membosankan

Max menatap intens kearah Nathan yang sedari tadi nampak tak menikmati acara. Mereka yang duduk berhadapan dengan meja besar berbentuk lingkaran di tengah, sekalipun tak menghalangi pria itu untuk meneliti setiap jengkal raut wajah Nathan. Mata yang terbilang cukup sipit dengan bola mata hitam kelam, bulu mata lentik serta alis tebal yang terlihat sangat rapi. Bibir tipis berwarna merah meski sang pemilik merupakan perokok aktif. Rambut model kekinian dengan bagian samping yang dicukur pendek serta bagian tengah yang lebih tebal dilengkapi poni yang menutupi hampir keseluruhan dahi milik Nathan.

Max terlalu menghafal setiap jengkal wajah itu, sampai-sampai perubahan sedikit saja begitu membuatnya tersadar. Poni yang terlihat sedikit memanjang hingga beberapa helai nampak menghalangi area mata, itu sudah memanjang sejak terakhir kali Max menelitinya. Hari saat ia baru pertama kali ingin berlama-lama dengan seseorang meski saat itu ia harus bersikap sedikit menyebalkan.

Max ingat sekali waktu dirinya, Nathan, dan kawan-kawan lainnya sedang asik mengobrol di ruangan milik Nathan. Tubuh mereka yang saat itu sedikit kedinginan karena terlalu lama berenang membuat tubuh mereka terlalu malas untuk bergerak. Ilham yang lebih dulu menguasai sofa langsung membaringkan badan dengan nyaman dan memainkan ponsel. Max yang sedang sibuk dengan e-mail masuk tentang beberapa pekerjaan menempati ranjang bagian paling kiri dengan posisi bersandar. Nathan yang awalnya berbaring nyaman di sisi paling kanan harus bergeser karena Aki. Hingga akhirnya Nathan pun berada di tengah-tengah antara Max dan Aki.

"Maaf, Nath! Aku sangat canggung jika harus berdekatan dengan Max," bisikan Aki rupanya masih cukup terdengar di telinga Max.

Tommy yang baru memasuki kamar merasa tak nyaman dengan kesunyian di antara kawan-kawannya itu. Berkumpul dengan kawan harusnya tertawa dan saling berbagi kisah, begitu pikirnya. Sekilas rencana jahil tiba-tiba terbesit di kepala. Sebuah seringai licik mengawali tindakannya.

"Hiattt...!"

Tommy seketika tertawa terbahak saat ia meloncat dan langsung menindihi tubuh Nathan dan Aki.

"Aouch! Tommy... Apa yang kau lakukan! Cepat bangunkan tubuhmu dari atas ku!" geram Nathan sambil memukul-mukul bahu Tommy.

"Ishhh, Tom! Kau tak sadar kalau tubuh mu sebesar kingkong, ya?" tambah Aki dan dengan gemas mencubit pinggang Tommy.

"Seperti ini harusnya nyaman, tau! Tubuh kita saling berhimpit dan merasakan kehangatan," jawab Tommy dengan iseng merangkul tubuh Nathan.

"Kau sungguh menggelikan, Tom!"

"Ihh... Aki, bantu singkirkan Tommy, dong!"

Nathan dan Aki itu pun mulai membalas keisengan Tommy. Ia dikeroyok kedua kawannya itu dengan tarikan, dorongan, atau bahkan gelitikan. Tawa mereka saling beradu hingga Max dan Ilham hanya menoleh sekilas dengan batin yang berucap, "Kekanakan".

"Woi! Dasar bocah! Mainannya model tak elit sama sekali," ucap Galang yang baru keluar dari kamar mandi. Tangannya meraih ponsel dan melihat beberapa pesan masuk. Jarinya menggulirkan layar beberapa kali, namun tetap saja pesan dari orang yang ditunggunya tak kunjung ada.

"Haha... Aki! Jangan terus menggelitiki ku!"

"Rasakan! Siapa suruh kau bertingkah jail?" balas Aki makin semangat.

"Huh! Dari pada galau, mending ikut gulat saja!"

Galang yang melihat tingkah seru mereka pun ikut-ikutan terjung ke ranjang. Mereka berempat pun semakin menggila.

"Woi! Jangan jambak rambut, dong!"

"Ihh... Galang! Jangan gigit...! Jorok tau!"

"Tau nih! Galang kenapa malah ikut-ikutan, sih!"

Masih banyak pekikan dan tawa yang saling bersautan. Mereka semakin ganas hingga Nathan yang semakin terdorong itu pun akhirnya jatuh dari medan pertempuran.

"Ahhh..."

Brukk

Orang bilang jika sesuatu permainan terlalu membuat tertawa terbahak-bahak, pasti akan ada suatu kelalaian yang membuat salah satu di antaranya menangis atau terluka. Dan nampaknya itu juga yang akan dialami oleh Nathan. Matanya bahkan sudah terpejam erat menanti tubuh sakitnya yang akan terhempas jatuh ke lantai.

Disisi lain, Max yang lebih dulu menyusup turun dan masih membaringkan tubuhnya di lantai itu pun seketika terkesiap. Nathan yang jatuh menimpa tubuhnya dengan mata yang tertutup erat, dan kernyitan dahi yang begitu nampak jelas. Rambut yang mencuat dengan berantakan serta wajah yang memerah karena tawa berlebihannya. Melihat itu, entah mengapa jantung Max berdetak lebih kencang. Itu bukan hal baru, tapi rasa aneh yang membuatnya betah berada di posisi seperti ini berlama-lama.

"Ekhem Kalian tak apa, kan?"

Max baru bertemu pandang dengan tatapan Nathan saat mendapat pertanyaan dari Galang. Mata itu sedikit meliar kala tatapan Max menatapnya intens. Pria dengan gaya rambutnya yang sangat rapi itu sedikit khawatir saat kedua tangan Nathan bertumpu di dadanya, apakah Nathan bisa merasakan jantungnya yang menggila kala itu?

Mendapati keadaan yang berubah canggung, satu per satu dari kawannya itu pun pamit undur diri. Max yang saat itu masih ingin berlama-lama, akhirnya kembali menempati posisi awal.

Keadaan berubah menjadi begitu sepi, Max menyadari jika tak ada kawan-kkawan lain akan berubah sedrastis ini. Tubuh di sampingnya yang sibuk berguling ke sana ke mari itu menandakan sikap tidak nyaman Nathan, dan Max masih berusaha menebalkan muka. Hingga beberapa saat kemudian suara detik jarum jam dinding itu pun semakin terdengar jelas. Tubuh disampingnya nampak memejamkan mata dengan helaan nafas teratur. Max tak lagi tertarik dengan ponselnya. Tubuhnya menggeser pelan hingga posisi mereka yang begitu dekat.

"Apa aku mulai tertarik denganmu? Dan kenapa hatiku bereaksi secepat itu? Pikiranku bahkan mulai mengoreksi, apa bagusnya kau?"

Tepukan di lengan membuat Max tersadar dari lamunannya. Mengerjapkan mata dan tangannya berpura-pura sibuk dengan hidangan di hadapannya. Ingatan itu terlalu membuatnya melamun beberapa saat.

"Huh! Pesta seperti ini memang membuat ku bosan, aku tau kau juga begitu kan, Max?" bisik Lea membuat Max menoleh ke wanita yang duduk di sampingnya itu.

"Ayo makanlah! Dan mamamu akan bersorak kegirangan karena kemesraan kita," tambah Lea membuat rahang Max mengetat. Ia sekilas mengedarkan pandangannya dan mendapati sebagian dari penghuni meja besar lingkaran itu menatap kearah mereka berdua.

"Sial! Wanita ini terlalu memerankan perannya dengan serius," batin Max dan dengan sangat terpaksa ia harus menerima suapan itu.

Gemuruh tepuk tangan tiba-tiba membuat Max tersentak. Ia tak tau siapa yang memulai, matanya mengedar ke meja lain yang ternyata juga memperhatikan mereka. Makanan di mulutnya itu seperti begitu sulit untuk ditelan, Max terlalu jengkel sekarang.

"Bagaimana? Akting ku bagus, kan?"

"Kau terlalu mahir dalam berimprovisasi, Lea!" bisik Max dengan geram. Wanita itu kini malah tersenyum sok manis seolah mengejek dirinya.

"Mereka begitu serasi."

"Wanita itu begitu beruntung mendapatkan pria setampan Max."

"Aku tak menyangka pria sedingin Max akan bisa bertingkah romantis di depan umum seperti ini."

Wajah Max sudah memerah menahan marah karena mendengar bisikan-bisikan yang seolah menyanjung dirinya dan Lea. Bukan maksud Max untuk menjadikan Lea objek resmi yang akan dikenalnya pada publik seperti ini. Ia hanya berniat membuat orangtuanya tak terus memberondongnya dengan pertanyaan yang sama.

Bahkan kawan-kawan barunya itu pun tersenyum padanya seolah memberi ucapan selamat. Pandangan Max pun kini beralih ke Nathan. Sumpah demi Tuhan, pria itu tersenyum dengan begitu lebar padanya. Max begitu girang saat mendapat senyum semanis itu, jika saja dalam keadaan dan situasi yang berbeda.

avataravatar
Next chapter