webnovel

Hello, Ex!

Kehidupan Gita Saraswati yang tenang, aman damai sentosa harus terusik ketika atasannya yang baru pindah ke cabangnya. Jarang tidur, sering lupa makan, bahkan sampai lupa hari dan tanggal berapa mulai terjadi dibawah kepemimpinan bos baru. Dan, yang lebih parah, si Bos baru adalah mantannya yang culun saat di SMA, Krisna Mahesa Wijaya. "Hello, ex!" bisik Kris saat mendekati Gita yang termangu oleh penampilannya yang sangat-sangat berbeda jauh dari waktu menjadi pacarnya dulu. 'Oh, hello madafaka,' balas Gita dalam hati dan menatap tajam Kris. "Saya akan bikin hidup kamu terasa seperti di neraka," "Wah, berarti bapak dulu mantan penghuni neraka ya sampai tahu kehidupan neraka kayak gimana?" Cibir Gita dan sudah tidak peduli jika akan terkena SP. "Lagian, labil banget sih, Pak? Itu jaman SMA kali! Balas dendamnya baru sekarang? Udah telat 10 tahun," "Kita lihat saja, siapa yang akan hengkang duluan dari kantor ini!" "Oke! Siapa takut? Asal bapak bersikap profesional. Tidak menggunakan jabatan untuk menindas saya," "Suka-suka saya, lah! Saya bosnya," Kris membenarkan kerah kemejanya dengan arogan. Membuat ketampanannya 1000x bersinar. Damn! The power of puberty, rutuk Gita dalam hati karena terkena silaunya ketampanan Kris. *** Mungkin kalian udah sering baca cerita kayak gini. Tapi, nggak ada salahnya tetap dibacakan? Siapa tahu suka. Enjoy

Uchikkk · Fantasy
Not enough ratings
13 Chs

Gita

Author POV

"Eh, udah lihat anak baru kelas sebelah belum?" Bella yang baru saja bergabung di meja Gita, membawa kabar terbaru. Dialah, si satu kosong delapan alias call center SMA 90 Jakarta. Semua berita terbaru, terhangat, dan ter-ter lainnya akan selalu diketahui Bella dahulu.

"Siapa? Siapa? Siapa?" Tanya Nana antusias. Berbeda dengan Gita, dia sibuk menyalin PR Nana. Tapi, telinganya tetap mendengarkan dengan baik setiap kalimat Bella.

"Namanya Kris Mahesa Wijaya, panggilan Kris, umur 17 tahun, tinggi 180 cm, berat badan 60kg, pindahan dari Jakarta. Wajah, di bawah rata-rata, kepintaran? Belum diketahui. Hobi, kesukaan, warna favorit, yang dibenci, status masih dalam tahap penelitian,"

Gita dan Nana saling menatap, tertegun, kemudian menepuk tangan takjub dengan riset Bella soal anak baru. Tidak salah memang dia dijuluki satu kosong delapan-nya SMA 90.

"Luas biasa, biasa di luar. Anda perlu diberi penghargaan," Nana memberi hormat pada Bella ala-ala drama China.

"Tapi dia kelihatan culun dari gayanya," keluh Bella. "Tambah sakit mata gue,"

"Kayak Lo paling cakep aja! Gita yang princess sekolah aja nggak pernah songong kayak Lu," Nana menjitak gemas kepala Bella.

"Ih, gue kan, penikmat ciptaan Tuhan. Boleh lah, kalau cuma komen," ucap Bella kesal.

"Lu juga ciptaan Tuhan kali! Yang nggak bisa dinikmatin karena pas pembagian muka Lo telat, dapatnya sisa," Nana terbahak-bahak sementara Bella mulai mencoba mencubit Nana yang tentu saja sudah menghindar. Akhirnya mereka mulai main kejar-kejaran diantara Gita.

"Hei, udah dong! Gue pengen nyalin PR ini dengan tenang dan damai biar nilai gue bagus!" Gita mendengus kesal saat Nana menyenggol tangannya, dan membuat bukunya tercoret.

"Mana ada nyontek nilai bagus?" Sindir Nana dan menjulurkan lidahnya dengan jenaka.

"Udah deh, kalian duduk tenang aja kenapa sih?" Sungutnya dan kembali mencatat PR.

"Eh, eh!" Tiba-tiba Bella berseru sambil menunjuk-nunjuk keluar jendela. "Itu yang namanya Kris!"

Seketika Gita dan Nana menoleh ke arah jari Bella.

Jika ini film, maka, Kris akan berjalan lambat, hilang diantara tembok, kemudian muncul lagi di jendela selanjutnya. Dan, ketika dia berpaling ke samping, matanya akan menatap para murid dalam kelas, kemudian, sepersekian detik, tatapan itu akan bertemu dengan milik Gita.

Mereka akan saling menatap, dengan mata yang berkedip sangat lambat, tanpa perasaan apa pun, hanya dua orang asing yang baru pertama kali saling melihat. Gita membenarkan apa kata Bella tadi. Bahwa Kris adalah cowok culun.

***

Sudah seminggu Kris berada di sekolah ini, dan selama seminggu ini pula, kehadirannya tidak terlalu mencolok-meski dia baru, karena cowok itu lebih memilih sendirian. Entah saat istirahat, pulang sekolah, bahkan bicara seperlunya.

"Kayak robot aja. Udah kaku, culun, irit bicara! Gue sampai kesel banget waktu diharuskan sekelompok sama dia. Kayak ngomong sama batu. Emosi tingkat internasional gue," keluh Bella di suatu siang yang panas dalam kelas Gita.

"Gue juga kesel, Lo punya kelas sendiri tapi nangkring terus dimari," keluh Nana sambil mengipas-ngipaskan tangan.

"Udah deh, jangan cerewet! Gue juga lagi cerita sama Gita, bukan sama Lo!" Bella menunjuk wajah Nana sebal.

"Tapi, gara-gara dia juga, kelompok gue sama dia yang nilainya paling tinggi,"

"Berarti dia pintar, dong?" Tukas Gita dan sedikit tertarik.

"Iya dia emang pintar. Saking pintarnya, dia anggap gue nggak bisa apa-apa dan memutuskan mengerjakan tugas itu sendirian. Pas sesi pertanyaan gue keliatan kayak orang bego tahu nggak? Gue jadi makin kesel sama si culun,"

"Lho, emang kenyataan Lo bego bukan, sih?" Nana menahan tawanya dan akhirnya terbahak saat Bella memukulnya dengan kesal. Gita ikut tertawa kemudian memutuskan berdiri. Dua sahabatnya ini selalu akan bertengkar di setiap suasana kecuali sedang tidur. Atau, bisa jadi mereka juga bertengkar dalam mimpi. Tapi anehnya, mereka memiliki selera dan hobi yang sama, apalagi urusan bra.

"Mau ke mana?" Tanya Nana saat melihat teman sebangkunya malah pergi.

"Jalan-jalan ke kantin,"

"Cakeeppp!" Sambar Bella.

"Gue lagi nggak pantun, setan!" Ujar Gita kesal diikuti tawa dua temannya itu.

"Jan lama-lama, bentar lagi bel," Nana mengingatkan.

"Bentar doang pengen beli es, panas banget," jawabnya dan keluar dari kelas.

Gita berjalan ke arah kantin diriing oleh sapaan dari teman atau siswa yang tak dikenal, siulan nakal, hingga beberapa cowok yang mencoba meminta nomor hapenya, namun ditolak mentah-mentah oleh Gita. Kadang dia capek, tapi tidak berdaya menghentikan semua ini. Salahkan wajahnya yang cantik, dan otak cemerlang serta bodi sintal ala gitar espanyola yang selalu menarik perhatian para cowok. Sudah berapa cowok yang patah hati karena ditolak cintanya oleh Gita. Bahkan, ada yang sampai meminta pindah sekolah. Kedengaran berlebihan, tapi itu kenyataan.

"Bang rock ice coklat satu," Gita mengacungkan jari telunjuk di depan Abang penjaga kantin.

"Siap, segera Abang bikinin," jawab si Abang dengan cekatan membuat pesanan Gita. "Besok libur, ke mana Neng?"

"Jalan-jalan ke mal,"

"Cakeeppp!" Abang penjaga kantin mengacungkan jempol dengan semangat.

"Bang, gue lagi nggak pantun! Nggak akan gue pake kata jalan-jalan lagi," sungut Gita dan melipat tangan di depan dada.

"Hehehe, bercanda, Neng! Jangan marah, entar, manisnya ilang lagi," sumpah, receh banget gombalan si Abang.

Gita lebih memilih diam dan mengedarkan pandangan ke hamparan kursi dan meja di belakangnya. Satu per satu siswa mulai meninggalkan kantin, hingga tersisa seorang siswa yang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja, beralaskan kedua tangannya.

Gita memperhatikan siswa itu lamat-lamat, sampai menanyakan pada si Abang.

"Bang, anak itu, kok nggak ikutan pergi? Padahal bel udah bunyi," Gita menunjuk meja paling ujung di mana siswa tersebut berada.

"Eh? Iya, ya. Baru Abang perhatiin. Napa, yak?" Si Abang juga ikutan bingung.

"Ngantuk paling. Nih, bang uangnya," Gita menyodorkan uang lima ribuan ketika menerima minuman, yang langsung diseruput bibir merah mudah alaminya. Dia berjalan pelan saat mendekati siswa yang hanya di batasi oleh dua meja darinya.

"Bangunin nggak, ya? Kasian entar ketangkap guru. Tapi, kan, bukan urusan gue juga," Gita bergumam pada dirinya. "Bodo, ah," Gita memutuskan pergi tanpa mengindahkan siswa tersebut.

Baru berjarak sepuluh langkah, dia kembali dengan cepat, menghampiri siswa tersebut. Tidak tega jika harus meninggalkannya.

"Hei," ujar Gita dan menekan-nekan lembut bahu siswa tersebut dengan telunjuknya. "Udah bel masuk," Tidak ada respon berarti.

"Lo harus masuk kelas," Gita kali ini memilih menepuk bahu siswa tersebut. Sekali lagi, pria itu bergeming.

"Gila, kebo apa sapi? Dibangunin nggak bangun-bangun," keluh Gita. "Woi, bangun! Ada kebakaran," Gita menunduk, agak berteriak tepat di samping telinga siswa itu. Gita hampir menyerah, mencoba menggoyahkan tubuh siswa itu dengan keras, hingga dia terjungkal dari kursinya.

"Kyaaaa!" Teriak Gita ala-ala komik Jepang yang diterjemahkan, saat melihat siswa itu malah terlentang dengan mata tertutup di lantai.

Cowok culun itu pingsan.

***

Author POV

Kris memandang sekali lagi bayangannya dicermin. Matanya menelisik seluruh wajahnya, kemudian berakhir pada bibirnya.

Bibir ini, yang sudah berani mencuri ciuman dari Gita sejak mereka bertemu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Hal gila selalu terlintas di kepalanya kala memandang wajah Gita, terutama bibirnya.

Kris mendesah keras, menggosok bibirnya kuat-kuat dengan air. Menghilangkan rasa bibir Gita yang sepertinya menempel kuat di mulutnya. Setiap hari, dia akan menyesali keputusan bekerja di sini karena kembali mempertemukan dirinya dengan si penjahat hati yang menorehkan luka dalam dirinya.

Luka yang hingga sekarang tidak juga kering, malah semakin melebar, hingga dia amat sangat benci jika harus berdekatan dengan wanita itu. Meski, Kris kini tampil lebih percaya diri, tetap saja, jika berhadapan dengan Gita, dirinya masih saja gugup, namun sangat pintar Kris sembunyikan dalam sikap dingin dan arogannya.

"Dasar penjahat. Belum cukup menyiksa aku sepuluh tahun lalu? Sekarang kamu kembali muncul... " Kris menggantung kalimatnya "lebih cantik dari yang dulu..." Sambungnya dengan nada frustasi.

"I really hate you, Gita. Kamu akan merasakan balas dendamku," Kris menatap tajam dirinya sendiri dalam kaca, seakan mengingatkan pria itu, bagaimana kejamnya perlakuan Gita pada dirinya di masa lampau.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, Kris akan selalu bangun tepat jam lima pagi, kemudian berolahraga selama tiga puluh menit. Lalu, membersihkan diri, bersiap dan memakan sarapan ala kadarnya. Kadang roti dan kopi, telur, atau bahkan tidak sarapan sama sekali ketika dikejar waktu.

Jam tujuh kurang, Kris akan berangkat menuju kantor ditemani lagu-lagu dari stasiun radio favoritnya. Jika berada di lampu merah, dia memilih mengecek email masuk atau sekedar pesan-pesan dan pemberitahuan terbaru dari grup kantor.

"Pagi Pak," Kris segera disambut sapaan selamat pagi oleh tim-nya begitu memasuki ruangan divisinya. Seperti biasa, dia hanya mengangguk dan melenggang ke dalam ruangannya sendiri.

Tepat pukul delapan, Kris keluar dari ruangannya, karena harus melakukan doa pagi dan briefing.

"Sekian briefing dari saya, semangat pagi," ucap Kris setelah memberi beberapa arahan.

"Harus makin semangat!" seru yang lain hampir bersamaan dan kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Bu Sherly," panggil Kris saat mendekati mejanya.

"Ada apa Pak?"

"Gita ke mana?" tanya Kris saat menyadari jika meja Gita kosong.

"Oh, Gita up country ke Pulau Seribu. Kemarin dia izin langsung ke sana. Ambil tagihan Bidan sambil nganvas Pak,"

Kris mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dan masuk ke ruangannya. Tak lama, hapenya berdenting, tanda ada pesan masuk. Pesan dari Gita, yang mengirim foto selfie dari pelabuhan, sebagai laporan absen di grup activity. Senyumnya begitu cerah, apalagi wajahnya tertimpa sinar matahari pagi.

Kris menatap sesaat foto tersebut, lalu menghapusnya dari memori hapenya. Foto berbahaya yang bisa merusak hidupnya beberapa jam ke depan.

***

Gita POV

Yuda: Ada yang kangen nih, pagi-pagi udah dicari Hell Boy

Vico: Oh, oh, siapa diaaa ~

Putra: Yang hilang dua, yang dicari satu. Hhmmm... Mencurigai 😮

Dino: Mencurigakan keleus...

"Siapa sih?" Seru Rina disampingku. Saat ini kami berada di pulau Pramuka dan lagi makan ikan bakar di warung makan pinggir pantai.

"Apaan?" Aku yang penasaran juga ikut mengintip layar ponselnya yang sedang membuka grup julit kami. Entah apa yang dibahas para pria kesepian ini.

Rina: Siapa yang dicari Dementor?

Dino: Ya Mbak Wati, lah. Siapa lagi?

"Kata Dino Lo dicari Kris tadi pagi," celetuk Rina.

"What? Ngapain?" Aku panik, sejadi-jadinya, sampai minumanku hampir saja tumpah.

"Kenapa sih, grasak-grusuk? Cuma ditanya doang kali, kayak mau diajak kawin aja sama Kris!"

Aku tersedak makananku sendiri. Aku mengambil jus buah naga Rina dan meminumnya sampai habis. Kalau saja dia tahu kami sudah berciuman sebanyak dua kali. Jika terjadi yang ketiga, mungkin aku bisa dapat gelas cantik.

"Itu kan minuman gue!" Sungut Rina tidak terima.

"Pesan aja lagi! Eh, jam berapa kita check-in?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Jam dua aja, kita masih ketemu 3 bidan lagi,"

Aku mengangguk setuju dan melanjutkan makan ku. Sebenarnya up country ini hanyalah caraku menghindari Kris. Aku tidak tahu apa maksudnya menciumku lagi. Dia juga tidak menjelaskan apa pun, apalagi minta maaf. Dia pikir aku ini murahan apa? Kalau pun khilaf, masak sampai dua kali? Khilaf apa niat???

Selain menghindar dari Kris, aku sebenarnya menghindari Adit juga. Cowok sialan yang sudah mengataiku bodoh. Kalau begitu harusnya dia juga bodoh, kan karena mau memintaku jadi pacarnya! Aku memblokir semua nomornya agar tidak bisa mengirimiku pesan apalagi menelpon. Sepertinya hubungan ini harus aku evaluasi kembali, karena tidak mungkin melangkah ke jenjang lebih tinggi saat dia mengataiku bodoh. Lebih baik diejek jelek daripada dikatakan otak udang.

Kalau aku bodoh, gimana caranya aku bisa masuk perusahan ini yang syarat kelulusannya harus memiliki IQ di atas seratus sepuluh? Memangnya dia, yang jadi pegawai BUMN karena jasa orang dalam? Ah, sudahlah ngapain mengumbar aib dia yang nggak penting.

Aku lebih memilih mengabiskan makananku, pergi dari sini dan menyelesaikan call harian sebelum dikejar-kejar Kris.

"Capek banget," keluh Rina dan merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah check-in. "Gue mau tidur bentar. Kita keluar jam berapa?" Ucapnya merujuk pada detailing ke dokter nanti malam.

"Jam tujuh aja gimana? Sambil kita pergi makan," usulku. Rina mengacungkan jempolnya dan tak butuh waktu lama untuk dirinya berlabuh ke alam mimpi.

Aku juga baru akan memejamkan mata, sampai bunyi hapeku memaksa agar tetap sadar.

"Anjirr!" Aku bergegas memakai sandal hotel, berlari ke bawah memakai tangga, dan berdiri di jalan raya, menstabilkan napasku.

"Siang Pak," aku mencoba agar tidak terdengar ngos-ngosan.

"Siang," jawab Kris singkat. "Lagi di mana?" Tanyanya.

"Lagi di jalan Pak mau ke rumah bidan," Aku mengarahkan hape ke jalan biar dia tahu aku benar-benar lagi di jalan.

"Berapa lama kamu up country?" Ni Kris kesambet setan di ruangannya kali, jadi kepo gini.

"Mungkin Minggu saya balik ke Jakarta Pak. Masih ke pulau Kelapa besok siang.

Sambungan telpon terputus.

"Ngajak tawuran Lu?" Aku berbicara pada hape seperti orang gila. "Lagian, ngapain juga gue harus lari-lari ke jalan padahal ini jam istirahat?"

***

Author POV

Brak!

Gita menendang pintu UKS dengan kasar. Kedua tangannya sibuk menahan tubuh Kris agar tidak merosot dari punggungnya.

Kedua siswa yang sedang bertugas dan asik makan gorengan langsung terdiam. Takjub, melihat siapa yang berada di atas punggung Gita. Cowok yang notabene badannya lebih besar dari Gita sedang tergolek tak sadarkan diri.

"Ngapain diam aja bego! Bantu gue!" Gita berteriak kesal saat napasnya akan putus dan punggungnya seperti mau patah, cowok-cowok itu hanya melihat. Segera mereka berlari menghampiri Gita, menggotong Kris ke tempat tidur. Gita terduduk lemas merasa tidak ada tenaga sama sekali. Lalu, darimana kekuatan luar biasa tadi, mengangkut Kris di punggungnya dari kantin ke UKS? Adrenalin jawabannya. Hanya UKS yang terlintas di pikirannya saat melihat cowok ini pingsan.

"Dia demam," ucap si cowok kurus saat mengambil termometer di telinga Kris. "Hampir empat puluh derajat,"

"Te-terus?" Tanya Gita penasaran.

"Dia cuma pingsan karena kelelahan. Dengan istirahat sebentar dia pasti sembuh. Bentar, gue panggil dokter," cowok yang lebih pendek keluar dari ruangan mencari dokter yang entah ada di mana. Sementara si cowok kurus mempersiapkan alat suntik dan mengulurkan plester demam pada Gita yang berdiri di pinggir ranjang.

"Apa nih?" Gita heran belum pernah melihat benda itu sebelumnya.

"Tempel aja dijidadnya biar turun panasnya,"

Gita mengangguk mengerti, merobek bungkusan dan mendapati kain plester berwarna biru. Dengan perlahan, Gita meletakkan di atas kening Kris. Cowok itu bergerak gelisah dalam tidurnya. Kepalanya bergerak tak beraturan.

"Lho, lho? Kenapa dia?" Gita berbalik ke belakang, hendak melaporkan kondisi Kris pada si petugas. Sayang, dia juga menghilang. Kris kini menggumam tak jelas, membuat Gita kembali takut jika terjadi sesuatu yang buruk.

"Lo kenapa?" Percuma karena Kris tidak menanggapinya. "Jangan buat takut dong..." Gita semakin panik. Tiba-tiba dia teringat drama Korea yang ditontonnya kemarin. Ada scene seperti ini. Ketika si pemeran wanita merasa mimpi buruk, si pemeran pria meletakkan telunjuknya tepat di antara alis si wanita yang seketika menjadi tenang.

"Mungkin bisa," ucapnya dan dengan hati-hati mengerakkan telunjuknya di tempat yang sama persis seperti terjadi dalam drama yang ditontonnya.

Berhasil. Kris lebih tenang, ekspresinya terlihat lebih rileks ketika jarinya menyentuh kening Kris. Konyol, menurut Gita. But it works.

"Sampai kapan jari gue harus ada di sini?" Sekarang dia bingung. "Kalau jari gue diangkat, apa dia mimpi buruk lagi?"

Sementara Gita sibuk dengan pikirannya, Kris yang telah sadar, terkejut mendapati wajah asing saat pertama kali membuka mata.

"Ha-hai, udah sadar?" Ujar Gita kikuk. Bingung. Itulah hal pertama yang Kris rasakan. Yang dia ingat, dia merasa tak sehat dan memutuskan duduk di kantin. Namun sekarang, dia berada di UKS dan ada cewek yang tidak dikenali Kris sedang duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Lebih bingung lagi, saat mendapati jari cewek itu ada di antara alisnya. Untuk apa?

Begitu menyadari lirikan Kris, Gita segera mengangkat jarinya.

"Sori tadi ada lalat mau gue usir tapi udah terbang,"

Kris diam dan mendapati cewek itu tersenyum lembut padanya.

"Tadi Lo pingsan di kantin. Gue yang bawa ke UKS. Siapa nama Lo? Gue Gita," Gita mengulurkan tangannya ke arah Kris. Cowok itu menatap wajah dan tangan Gita yang terulur padanya secara bergantian. Masih percaya antara mimpi atau kenyataan, 'bunga sekolah' mengajaknya berkenalan.

"Kris," untuk pertama kalinya, Kris menjabat tangan siswi di sekolahnya.

TBC

💃💃💃