13 Move On?

Author POV

Gita meletakkan tas berisi pakaian kotor dan barang-barang lain yang dibawa selama up-country ke Pulau Seribu kemarin secara sembarangan di lantai, sementara dia membanting tubuh lelahnya di atas sofa.

"Caappeekkk... Pengen berhenti kerjaaa... Pengen nikah ajaaaa sama anak Sultan atau raja minyak biar nggak usah kerjaaaaa!" Teriak Gita frustasi. Tentu saja ini cuma ungkapan rasa letihnya setiap kali merasa bosan atau stres. Namun, disaat tanggal dua puluh tujuh, senyum sumringah akan kembali menghiasi wajah manisnya, dan itu masih lama.

"Pokoknya gue mandi, pesan makanan enak, makan sambil nonton, telpon Mama-Papa, terus tidur sampai siang. What a perfecf Saturday night," Gita merenggangkan tangan dan badannya mencoba mengusir rasa pegal dan melirik jam baru pukul lima sore. Dia berdoa semoga Adit tidak mendatangi rumahnya karena dia masih marah. Ngomong-ngomong soal kekurangan uang itu, Gita memutuskan meminjam uang dari koperasi kantor.

"Mungkin Adit benar, gue, memang bego," gumamnya dan merasa sedih jika mengingat perkataan Adit untuknya.

Manusia Gua: Sudah sampai Jakarta?

Gita menghela napas saat mendapat pesan dari Kris. Sengaja dia memakai nama 'Manusia Gua' karena memang kelakuan Kris yang primitif-terutama dalam berbahasa dan tingkah laku, sukanya mengurung diri dalam ruangan dan yang keluar untuk tiga hal. Makan siang, ada urusan penting di luar, dan membuat kopi. Jika saja ada toilet dan air galon dalam ruangannya, mungkin selamanya Kris akan membusuk di gua miliknya.

Gita: Sudah sampai Pak barusan

Manusia Gua: Ok. Jangan lupa report evaluasi selama up-country

Muka Gita langsung tertekuk menjadi tujuh belas-kalau bisa, saat membaca kata "report".

"Ini mal-ming men.." keluh Gita "Dan Lu suruh gue buat report?" Sinis Gita. "Emang gue punya pilihan lain, selain segera mengerjakan?" Akhirnya terdengar pasrah dan berdiri menuju kamarnya. "Selamat tinggal rencana malas-malasan," Gita melangkah lemas ke dalam kamar.

Setelah selesai mandi sekalian keramas, Gita lebih merasa segar dan sedikit bersemangat. Dia mengecek ponselnya. Tidak ada pesan lagi dari Kris setelah dia membalas akan mengerjakan reportnya.

Lagi ponselnya berbunyi ada pesan masuk. Dari nomor tidak di kenal.

0813xxx: Aku diluar. Tolong buka pintunya sayang. Aku tahu kamu ada di dalam

Gita terkejut dan berlari secepatnya ke depan, mengintip siapa yang sudah ada di depan. Siapa lagi kalau bukan pacarnya. Sedang berdiri di depan pagar yang terkunci. Dia masih memakai seragam kerjanya, berdiri dengan ekspresi harap-harap cemas.

"Ngapain dia ke sini sih? Bikin rusak mood aja," gumam Gita dan menatap Adit yang kini memukul gerbang dengan gembok, agar Gita tahu keberadaannya di luar.

"Gita," panggil Adit masih membunyikan gerbang. "Gita tolong buka pintunya kita perlu bicara," lanjut Adit.

"Bicara, minta maaf, dan melakukan lagi. Gue udah ngerti pola Lu," omel Gita masih mengintip. Hapenya kembali bergetar karena Adit kini menelponnya. Gita mengabaikan panggilan tersebut beberapa kali sampai Adit mengirimkan pesan.

0813xxx: Nanti jam 8 aku datang lagi. Kita keluar ya?

Setelahnya Adit menghilang dalam mobil dan melaju ke jalanan meninggalkan rumah Gita.

"Oke, datang aja. Gue juga bakalan pergi. Weekkkk," Gita menjulurkan lidah mengejek pada hapenya sendiri dan bergegas bersiap keluar. Sambil membawa laptop tentunya.

Baru saja otaknya berpikir ke mana sebaiknya dia pergi, grup SMA di hapenya memunculkan sebuah pesan. Dan, Gita akhirnya punya tujuan ke mana kakinya akan melangkah.

***

"Woyyy mamennnn!" suara berat Tony mengiringi langkah Gita yang semakin mendekat ke meja di restoran tempat mereka berkumpul. Tony adalah teman satu kelas Gita. Selain Tony sudah ada Maria, Widya, Devan dan Rey teman seangkatan semasa SMA. Jika ada waktu mereka akan berkumpul secara spontan. Karena jika direncanakan sudah dipastikan tidak akan pernah terwujud.

Gita tersenyum sumringah, menyalami satu per satu teman-temannya, termasuk Rey, cowok yang menyukai Gita dari jaman penjajahan.

"Rey baru aja datang dari Madrid tadi pagi. Gue ngajak kumpul, dia nggak mau. Begitu dengar Lo juga datang dia malah muncul. Aneh memang," celetuk Tony yang membuat Rey salah tingkah.

"Nggak juga. Kebetulan tadi gue juga mau pergi ternyata nggak jadi," kilah Rey dan menatap malu pada Gita yang masih tersenyum lebar. Dia tidak pernah menaruh perasaan apa pun pada Rey hingga saat ini.

"Tambah cakep Lu Rey di Madrid," Gita juga tak mau kalah menggoda Rey yang wajahnya sudah merah.

"Thank you. Lo juga Git. Tambah cantik," balas Rey yang disoraki teman-teman yang lain.

"Gasss, gassss, rem blong, jangan kasih kendorrrr," ejek Tony dan ditertawakan oleh yang lain.

"Gita udah punya pacar Rey, Lo nggak punya kesempatan lagi," Maria mengingatkan. Rey tampak tidak percaya. Terlalu lama di luar menyebabkan dirinya ketinggalan begitu banyak info.

"Beneran Git?" Tanya Rey masih belum bisa menerima.

"Iyalah, masa bunga sekolah nggak punya pacar?" Widya menambah bumbu-bumbu MSG.

"Iya, gue udah punya pacar Rey. Tapi, selama janur kuning belum terpasang di depan gang rumah gue, Lo masih punya kesempatan lah," kelakar Gita yang seketika membuat Rey sumringah.

"Serius??" Tukas Rey bersemangat.

"Hahaha, Lo harus liat muka Lo sendiri Rey. Mupeng banget!" Devan yang sedari tadi diam tidak bisa menahan diri untuk ikut berkomentar. Rey langsung memasang wajah cemberut yang membuat semua temannya tertawa.

"Eh, gue sambilan buka laptop, ya. Ngerjain report bentar," Gita mengeluarkan notebook dan mulai mengutak-atik mengejarkan laporan yang diminta Kris.

"Ya elah Git! Ini mal-ming keleus masih aja bawa kerjaan," protes Widya sambil mencomot kentang goreng yang sudah dipesan dari tadi.

"Report ini masa depan gue," jawab Gita tanpa mengalihkan pandangan dari layar notebook.

"Kita disini ngumpul, cerita, seneng-seneng, nggak bawa kerjaan. Lo kerja, apa, dikerjain, sih?" Tony mencoba menggoda Gita dengan menutup layar notebook, membuat Gita memukul tangannya.

"Gue pilih opsi kedua," Gita tertawa. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. "Gue nggak tenang nongkrongnya kalau belum selesai. Bentar doang, cuma dua puluh menit biar gue nggak dikejar sama Hell Boy,"

"Hell Boy? Bos Lo bocah neraka?" Tanya Devan tidak mengerti.

"Raja neraka lebih tepatnya," Gita membenarkan.

"Ngeri dong. Kantor Lo berarti kayak neraka," Maria menambahkan, yang diacungi jempol oleh Gita.

"Bener banget. Gue sebenarnya udah nggak betah. Tapi gue butuh uang. Tinggal kita kuat-kuatan aja. Gue lebih kuat dimarahin atau dia yang lebih kuat marah," jawab Gita santai meski mereka tidak tahu seberapa stres yang dilaluinya bekerja di bawah mantan gila.

"Gue suka prinsip hidup Lo men...," Tony dan Gita ber-high five ria.

"Atau Lo mau coba apply di Madrid? Banyak kok, lowongan di sana," Rey yang sedari tadi menyimak ikut berkomentar.

"EECIIIEEEEE," sorak mereka bersamaan yang semakin membuat Rey kesal.

"Gue cuma menawarkan solusi!" Ucap Rey terus terang.

"Supaya peluang Lo lebih besar buat PDKT sama Gita? Udah kebaca gerakan Lo," sambar Devan.

"Udah, dong. Kasian Rey. Makasih ya Rey tapi di Madrid ada jengkol nggak?" Gita mencoba membuat Rey merasa lebih baik.

"Dibelain sama mantan gebetan," ejek Maria.

"Ngomong-ngomong, bos Lo itu udah tua ya, kerjanya marah-marah?" Tanya Widya penasaran. Gita dengan cepat mengangguk.

"Udah tua, botak, gendut, jelek, kerjanya marah-marah," Gita menambahkan namun menahan tawanya, mencoba membayangkan Kris sesuai dengan deskripsinya. "Kalau marah aja, rasanya seperti bakalan ada tanduk yang bakalan keluar dari jidadnya yang jenong!"

"Kok, serem sih," keluh Widya. "Gue jadi Lo, udah lama gue bakalan keluar dari kerjaan ini,"

Gita mengangguk sekali lagi dan meminta izin sebentar untuk tenggelam dalam kerjaannya, disaat yang lain sedang asyik mengobrol.

"Eh, Agung mau datang nih," Tony memperlihatkan chat Agung pada Devan di sampingnya.

"Widihhh, dikasih ya, sama istrinya? Atau dia kabur? Istrinya kan mengerikan," ujar Devan.

"Nggak tahu gue," Tony mengangkat hapenya. "Selfie yuk, dia tanya ada siapa aja,"

"Gita," panggil Devan dan menyikut lengan Gita yang berada di sampingnya. Wanita itu menatap Devan, lalu mengerti ketika melihat wajahnya sendiri di hape Tony.

Klik!

Tony mengambil gambar mereka bertiga dan segera mengirimkan ke Agung. Diikuti protes Maria dan Widya yang duduk bersebrangan dari mereka. Rey juga berada di barisan Maria dan Widya.

"Ih, kita nggak diajak. Selfie sendiri aja," Maria juga tidak mau kalah, dia mengambil hape dengan kamera depan dua puluh mega pixel, yang membuat wajah mulus tanpa pori atau bekas jerawat. "Foto yuk," Maria, Widya dan Rey mulai bergaya.

Gita kembali sibuk dengan laporannya, sesekali menimpali obrolan teman-temannya, hingga tidak sadar jika dua puluh menit telah terlewati. Reportnya baru setengah jalan. Sedikit lagi selesai dan dia bisa bebas.

"Eh, itu Agung," celetuk Devan dan mengangkat tangan saat melihat Agung yang berada di pintu celingak-celinguk mencari teman-temannya. "Gung!" Seru Devan hingga membuat pria itu menoleh lalu tersenyum.

Gita yang masih menekuri notebook ikut melihat ke arah pintu. Benar saja, itu Agung. Ketua kelas di kelas sebelah. Kelasnya Kris. Gita masih menatap ke arah pintu, sampai, seseorang di belakang Agung tiba-tiba membuat Gita sesak napas.

"Lho? Itu kan, Kris?" Suara Maria terdengar heran.

"Iya! Itu Kris!" Seru Widya membenarkan. "Ya ampun! Si culun itu cakep banget!"

Semakin dekat Kris dan Agung ke meja mereka, semakin cepat juga detak jantung Gita berdebar. Dia memaki dalam hati, begitu menyesal harus datang ke sini. Dia lebih memilih berada di rumah dan menghadapi Adit daripada bertemu Kris di sini.

Gita menunduk, kalau saja bisa menyembunyikan wajahnya, atau tiba-tiba menghilang saja dari sini.

"Hai, teman-teman. Long time no see, ya!" Sapa Agung ramah dan menyalami teman-temannya satu per satu termasuk Gita yang hanya menyalami dengan cepat kemudian kembali menunduk.

"Halo, Gung. Sombong lu," balas Devan. Mereka berdua sekelas.

"Lo tahu kan, bini gue kayak singa kalo gue keluar. Bawaannya curigation terus. Eh, gue sama Kris nih, masih ingat nggak? Yang culun banget dulu,"

Kris menatap Agung kesal, namun sahabatnya hanya cengengesan nggak jelas. Dia juga ikut menyalami mereka satu per satu. Kris hanya mengetahui nama mereka, tapi tidak mengenal dengan baik. Kecuali, wanita di ujung Devan yang sedari tadi menunduk.

"Git, diajak salaman sama Kris," Devan memberitahu, hingga mau tidak mau Gita menyalami Kris dengan cepat, namun tidak mau mengangkat wajahnya, tidak sanggup jika harus menatap Kris yang melihatnya dengan alis berkerut.

"Ayo duduk," Tony mempersilahkan. Agung memutar, duduk di sebelah Rey. Sial. Kris duduk di sebelah Gita. Bau parfum khas Kris segera menguar di sekitar penciuman Gita, yang semakin mengintimidasi dirinya.

Gita merapatkan kursinya ke arah Devan agar lengan mereka tidak perlu bersentuhan. Sungguh ini ironi kehidupan yang Gita tidak inginkan.

"Belum selesai?" Bisik Kris sangat pelan, hingga hanya bisa didengar oleh Gita, namun pandangannya lurus pada Rey yang terlihat tidak suka ketika Kris memilih duduk di dekat Gita.

"Be-belum Pak," jawab Gita sepelan mungkin agar Devan tidak mendengar.

"Simpan. Lanjutkan besok," lanjut Kris.

"I-iya," Gita langsung menutup note booknya, dan menyimpan di dalam tas yang berada di bawah meja. Ketika dia ingin menunduk, keningnya terantuk bahu Kris.

"Ma-maaf," ucapnya lalu lebih hati-hati menyimpan. Kris hanya diam dan tidak menanggapi.

"Eh, udah selesai?" Devan yang mendapati Gita grasak-grusuk menyimpan note booknya bertanya.

"Udah," jawab Gita singkat.

"Syukurlah, kita bisa ngobrol dengan tenang. Bos kayak dia harusnya tinggal di Mars aja, nggak perlu bersosialisasi. Udah tau weekend malah disuruh kerja,"

Gita mengigit bibirnya khawatir, menatap Devan dengan ekspresi lebih-baik-lo-diam.

"Siapa?" Tukas Kris pada Devan. Tahu, jika dirinya yang sedang dibicarakan.

"Bosnya Gita. Masak lagi weekend dikasih laporan? Dan Lo tahu, dia kerjanya marah-marah terus sampai dijuluki Hell Boy sama Gita. Katanya gendut, jelek, botak. Mungkin dia marah sama fisiknya, tapi dilampiaskan ke anak buahnya," ucap Devan diikuti tawa yang lain.

Oh, Gita merasa menciut, lebih baik diam. Devan, dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Mulut ember. Kris tersenyum sinis seraya memperbaiki kaca matanya.

"Kalo gue jadi Gita, gue udah angkat-" Devan tidak lagi melanjutkan kalimatnya saat Gita menyumpal mulutnya dengan sepotong pizza.

"Silahkan pesan," Gita menyodorkan buku menu tanpa melihat Kris. Tangannya terlihat gemetar saat memberikan buku menu. Dia memutar tubuh sepenuhnya ke arah Devan-agar tak dilihat Kris, memberikan tatapan paling mematikan.

"Diam Lo, jangan banyak ngomong soal bos gue," ucap Gita tanpa suara. Devan mengerutkan kening tidak mengerti. Gita menghela napas lelah, memilih berbicara dengan Agung.

"Gung, anak Lo udah berapa?" Tanya Gita masih belum merubah posisi, sedikit membelakangi Kris.

"Udah dua. Yang satu udah masuk TK yang satu baru 6 bulan," jawab Agung diikuti anggukan Gita.

"Hmmm, kalo Lo Kris," giliran Maria yang bertanya pada Kris yang masih menekuri buku menu. "Single or married?"

"Sendiri," jawabnya singkat diikuti wajah Maria yang sumringah. Tidak terkecuali Widya.

"Kerja di mana sekarang? Lo nggak ada ya, di grup SMA?" Celetuk Tony.

"Gue kerja di perusahaan marketing sekarang," jawab Kris seadanya.

"Iya," sambar Agung. "Dia baru balik dari Singapura. Belum sebulan di Jakarta. Balik-balik langsung jadi bos dia. Tadi gue yang ajak, daripada dia kelonin laptop di kamar," Agung tertawa, tapi Kris tidak. Seperti biasa memasang wajah tanpa ekspresi. Berkali-kali Gita menghela napas pelan, bersyukur, Agung tidak mengetahui di mana Kris bekerja. Jika mereka sampai tahu, habislah dia.

"Git, kok diam aja? Sakit?" Rey memandang Gita yang terlihat diam. Padahal sedari tadi Gita yang paling cerewet.

"Gue baik-baik aja Rey. Oh ya, kalian masih ingat nggak, waktu Tony pura-pura kesurupan di kelas biar nggak ngumpulin pe-er matematika Bu Hapsah yang killer itu?" Gita mencoba mengalihkan pembicaraan dan berhasil membuat yang lain mengambil click bait tersebut dan mulai membully Tony. Kejadian tersebut cukup fenomenal, sehingga hampir seluruh sekolah tahu.

Gita sekali lagi menghela napas lega, berhasil mengalihkan dirinya menjadi pusat perhatian. Dia masih belum berani melihat ke samping, karena auranya gelap dan dingin. Besok Senin, sudah pasti dia akan mendapatkan hukuman dari Kris. Kalau bukan diamuk, ya, paling buruk SP.

"Maaf, saya tidak berkata seperti itu," cicit Gita pelan, namun hanya mampu memfokuskan penglihatan pada vas di depannya.

Tidak ada reaksi berarti Kris selain diam dan menikmati makanan yang dipesannya. Gita memejamkan mata dan mulai menyesal karena memiliki mulut yang suka julid.

Menit berikutnya, Gita mulai berani berbalik ke samping, menatap Kris tidak percaya saat merasakan jemari Kris menyusuri pergelangan tangannya, dan berakhir dengan jari saling bertautan. Pria itu membawa genggaman tangan mereka di atas pahanya. Menikmati makanan seperti tidak terjadi apa-apa, sementara wanita di sebelahnya juga ikut diam, menikmati atmosfir aneh yang tercipta.

TBC

💃💃💃

Hellowww masih bernapas kalian?? Gimana udah mulai suka Kris atau masih benci? Oh ya hubungan Kris dan Gita yang pacaran waktu SMA itu hanya diketahui oleh mereka berdua dan juga Nana saat itu. Lain dari itu nggak ada yang tahu bahkan sampai mereka putus, lulus, dan ketemu lagi. Kenapa oh kenapa begitu??? Tunggu aja lanjutannya ♥️♥️♥️

avataravatar