webnovel

From Nanny to Honey (Please, Be Mine)

story 18+ Melati adalah seorang baby sitter yang baru dua kali menjadi baby sitter, itu pun mengurus bayi. Hidupnya yang susah di kampung terpaksa merantau dan putus sekolah. Untuk ketiga kalinya, Melati diminta untuk mengisi job sebagai pengurus pria dewasa! Bukan, bukan dewasa, melainkan pemuda kaya, pewaris keluarga Carlston, pemilik Mine Energy Power, pabrik tambang terbesar kedua di Indonesia. Saat Melati datang untuk memperkenalkan diri, dia melihat pria yang tengah berjalan dan ... Terserempet motor! Melati buru-buru menolongnya yang sudah terjatuh, dia menanyakan di mana rumah pria itu, rupanya pria itu buta sementara akibat kecelakaan juga. Pria itu bernama Devano. Dan Melati baru tahu kalau dia adalah anak dari calon majikannya. Tau-tau Devano memintanya langsung untuk menjadi pengurusnya! Melati kembali bersekolah oleh orang tua Devano atas permintaan Devano. Seketika, berada di dekat Devano banyak membawa perubahan padanya. Termasuk hatinya, apakah Melati akan mempertahankan perasaannya? baca juga -My Rival, My Fiance - LOVE TRAP BY HOT MODEL yaaa, dijamin panas dingin

SiriusStar · Urban
Not enough ratings
251 Chs

Permintaan Pertama

"Sini, saya obati dulu tangannya," pinta Melati setengah memaksa. Dia tak habis pikir dengan sifat keras kepala yang dimiliki oleh Devano.

Jelas-jelas luka di tangan dan kaki pria itu masih belum sembuh karena amukannya beberapa hari yang lalu, tapi pemuda itu berlagak sombong.

"Ini akan sembuh sendiri. Sudahlah," kilah Devano masih menolak.

"Tuan ini berniat saya mendapat hukuman dan pengurangan gaji ya?!" ketus Melati.

Devano yang duduk di kursi rodanya dan memandang kosong taman di belakang rumahnya pun mengernyit bingung. "Aku tak akan mengurangi gajimu."

"Tentu saja berkurang, bukan Tuan yang membayar gaji saya, tapi Ibu. Kalau kerja saya tak becus, barangkali setelah akhir bulan saya tak bekerja di sini lagi," gerutu Melati kembali.

"Lho? Aku belum memintamu untuk berhenti bekerja!" sentak Devano merasa kesal saat mendengar Melati berkata begitu.

"Apa aku memang beban untukmu? Jadi, kau tak mau bekerja padaku lagi?"

Melati teperangah saat mendengar penuturan Devano.

"Kalau begitu, biar saya obati dulu tangannya. Luka Tuan nanti tidak sembuh-sembuh," geram Melati sudah kehabisan akal.

Dia harus memaklumi bahwa Devano adalah remaja. Namun, terkadang dia harus menghadapi sifat kekanak-kanakannya itu.

Devano diam, tapi akhirnya menyodorkan tangannya yang diperban.

Mereka saling diam. Entah kenapa Devano merasa bahwa dia memang tak mau Melati pergi. Dia tak pernah mendapatkan pengurus yang sekedar mengurusnya dan mengikuti apa yang dikatakannya. Berbeda dengan Melati yang keras kepala dan melawan ucapannya.

Hatinya merasa tak lagi kesepian karenanya.

Sejujurnya, dalam hatinya yang paling dalam, dia berharap bisa kembali melihat dunia. Dia menyadari bahwa kehilangan penglihatan saja sudah membuatnya menderita bahkan hampir depresi. Namun, Melati yang mampu menemaninya.

Dia semakin ingin melihat wajah dari wanita yang menemaninya. Wanita yang juga menolongnya saat dia terjatuh di pinggir jalan saat diam-diam pergi dari rumah karena merasa putus asa.

Devano dapat merasakan bagaimana lembutnya tangan Melati yang tengah mengobati telapak tangannya. Dia merasa bersalah membuat wanita itu ketakutan beberapa hari yang lalu akibat emosinya.

"Apa … kamu terluka kemarin?" Kemarin yang dimaksud tentu saja hari saat Celine mendatanginya.

"Hm … tidak, saya hanya takut saja."

Jawaban Melati terlalu jujur sampai menohok hatinya.

"Lantas kenapa kamu masih mau bekerja pada Mama?" tanya Devano kembali.

Devano tak merasakan sakit ketika salep dioleskan di telapak tangannya. Dia ingat, rasa sakit hatinya mampu mengabaikan sakit pada tubuhnya. Hanya rasa aneh saat Melati mencabuti serpihan-serpihan kaca di tangan dan kakinya.

Melati sendiri masih merasa ngeri saat mencoba mencabuti kaca-kaca kecil itu. Dia bergidik saat dokter yang datang memberi perban pada luka-luka Devano.

Gadis itu sedang meniupi luka-luka Devano, takut kalau masih terasa perih.

"Sakit tidak?" tanya Melati yang membuyarkan lamunan Devano.

Pertanyaan itu mendadak membuat Devano arogan. "Tidak," jawabnya.

Nada angkuh yang membuat Melati mendengus saja. Memang pria di hadapannya keras kepala dan terlalu menutup perasaannya.

"Kalau sakit bilang saja, meskipun saya tak bisa menghilangkan rasa sakitnya. Tak perlu disembunyikan," ujarnya sambil memasang perban kembali.

Rasanya Devano kembali ditampar dengan pernyataan yang gadis itu lontarkan.

"Boleh aku meraba wajahmu?"

"Eh?" Melati kini tak paham maksud dari ucapan Devano.

Dia yang duduk sejajar dengan Devano, mengangkat pandangannya. Jantungnya bergerilya hebat begitu menatap detail wajah pemuda itu.