webnovel

From Nanny to Honey (Please, Be Mine)

story 18+ Melati adalah seorang baby sitter yang baru dua kali menjadi baby sitter, itu pun mengurus bayi. Hidupnya yang susah di kampung terpaksa merantau dan putus sekolah. Untuk ketiga kalinya, Melati diminta untuk mengisi job sebagai pengurus pria dewasa! Bukan, bukan dewasa, melainkan pemuda kaya, pewaris keluarga Carlston, pemilik Mine Energy Power, pabrik tambang terbesar kedua di Indonesia. Saat Melati datang untuk memperkenalkan diri, dia melihat pria yang tengah berjalan dan ... Terserempet motor! Melati buru-buru menolongnya yang sudah terjatuh, dia menanyakan di mana rumah pria itu, rupanya pria itu buta sementara akibat kecelakaan juga. Pria itu bernama Devano. Dan Melati baru tahu kalau dia adalah anak dari calon majikannya. Tau-tau Devano memintanya langsung untuk menjadi pengurusnya! Melati kembali bersekolah oleh orang tua Devano atas permintaan Devano. Seketika, berada di dekat Devano banyak membawa perubahan padanya. Termasuk hatinya, apakah Melati akan mempertahankan perasaannya? baca juga -My Rival, My Fiance - LOVE TRAP BY HOT MODEL yaaa, dijamin panas dingin

SiriusStar · Urban
Not enough ratings
251 Chs

Amukan Devano

Melati tak bisa berkomentar apa-apa. Dia hanya menuruti perkataan Tuannya agar segera di bawa ke kamar.

Meski merasa sedih meninggalkan Celine yang terisak-isak di ruang tamu. Ya, Melati membeku saat Devano menyuruhnya menutup pintu.

Devano berubah menjadi dingin ketika Celine datang. Bagi Melati, Celine adalah wanita sempurna dengan kecantikan yang dia punya.

Dia tidak mengetahui apa pun selain pertengkaran keduanya tadi. Devano masih membisu. Ia tampak tegang dan pilu.

"Tuan, apakah Tuan ingin minum?" tanya Melati. Tak diduga, Devano marah besar saat Melati menanyakan kebutuhannya.

Prang!!! Prak!!

Ia membanting semua benda yang ada di dekatnya. Tak terkecuali tongkat yang selalu menjadi tumpuan.

"Aaa!!!" Melati berteriak ketakutan, tubuhnya bergetar begitu melihat benda-benda di sekeliling Devano tengah dilempar secara brutal.

"DIAM! JANGAN BERTANYA APA PUN LAGI!" Urat leher Devano terlihat begitu jelas di mata Melati.

Wajah yang merah ketakutan seperti kepiting rebus, mata yang berkaca-kaca dan napas yang naik-turun. "Maaf jika pertanyaan saya membuat Tuan ma--" belum selesai ia berkata tangan Devano melemparkan tas yang ada di samping kursi roda.

"KELUAR!" bentaknya.

Mata Melati berkaca-kaca menahan tangisan saat mendengarnya. Ia tak percaya bahwa yang duduk di depannya sekarang adalah Devano. Sosok pria yang tak pernah berkata kasar ataupun memaki orang lain.

Berbeda dengan ungkapan Kalsum. Ia telah salah menilai seseorang. Buktinya, Devano memaki-maki Melati dengan perkataan yang tak pantas.

"Sialan! Suaramu tak bisa kau hentikan dulu hah?! Sudah kubilang cukup lakukan apa yang kuperintah! Dasar tak berguna!" teriak Devano, dia mulai merasakan emosinya meningkat bukan main.

Dengan sekuat hati, Melati mencoba untuk tetap tersenyum. Meski perih. Ia segera menghapus air mata di pipi. Lantas kembali meminta maaf.

"Maafkan saya yang tidak berpendidikan ini Tuan. Jika ingin menghukum, hukumlah semau Tuan," tegas Melati.

Pemuda itu terdiam. Tidak seharusnya ia melampiaskan kemarahannya kepada Melati. Gadis yang tidak mengerti apa masalahnya.

Yang harusnya ia salahkan adalah Celine. Wanita yang sudah meninggalkan serta tidak pernah memberikan kabarnya.

Ia menghilang di saat Devano membutuhkan semangat darinya. Tetapi, justru gadis itu sendiri yang mematahkan semangat hidupnya.

Bayang-bayang Celine masih terlintas begitu jelas di ingatan Devano. Di saat gadis itu merangkul mesra tangan Devano dan tersenyum.

Wajah ceria dan manis itu selalu mengisi hari yang begitu indah. Ternyata ia salah. Yang indah takkan selamanya indah.

Merasa keadaan sudah mulai membaik, Melati mendekat. Tetapi pergerakannya dapat diketahui oleh Devano.

Laki-laki itu kembali berteriak dengan garang. Bak orang kesetanan. Seperti itulah Devano.

"Wanita sialan! Kenapa kamu harus datang di saat aku sudah tidak mengingatmu lagi?! Kenapa?!" jeritnya. Tangannya bahkan tak sengaja mengenai setpihan kaca di atas meja akibat amukannya.

Melati panik dibuatnya. "Tuan, tolong berhenti. Jangan menyakiti diri Tuan sendiri. Berhenti," racaunya berusaha.mencegah tangan Devano agar tak semakin menyapu serpihan-serpihan kaca itu.

Pria itu terdiam, lalu mengambil paksa dan kasar tangan Melati. Ia mencengkram sekuat tenaga hingga wanita itu merintih kesakitan.

"Maaf? Lo kira gampang jadi gue?" Ia kembali menekan tangan Melati. Tak sampai di situ, ia juga mendorong tubuh Melati yang mungil ke dinding.

Brukkk!!

"Akh!" Melati mengaduh kesakitan karenanya.

Ingi rasanya marah, tetapi ia sadar bahwa yang sekarang dihadapinya adalah orang sakit. Tak seharusnya dibalas.

Ia memahami, tetapi tidak merasakan penderitaan yang dialami oleh Devano.

Melati membiarkan Devano membabi buta agar pikirannya tenang. Setelah itu, ia pun bertanya. "Apa alasannya Tuan begitu membenci Mbak Celine?"

"Tch! Pegawai rendahan sepertimu bisa mengerti apa?"

"Ya sudah jika Tuan tidak ingin berbagi duka kepada saya. Saya juga tidak akan memaksa, Tuan."

Banyak di antara kita yang tidak bisa berdamai dengan masa lalu. Entah karena itu dendam atau suatu perkara yang menyakitkan.

Tetapi ingat, jika kau tak bisa berdamai dengan mereka. Tidak masalah. Tetapi jangan menyakiti diri sendiri.

"Gue pernah mencintai dia, tapi dia menghilang. Gue sudah memaafkan, tetapi gue enggak ingin bertemu dengan dia, lagi." Devano mulai sedikit terbuka menceritakan isi hatinya.

Selama ini tidak ada yang tahu apa isi hati Devano. Kemudian, sejak kedatangan Melati ia menjadi sedikit tenang dan ingin berteman. Meski belum bisa.

"Ayah pernah berkata, biarkanlah masa lalu menjadi kenangan di masa depan. Tetapi masa depan takkan pernah menjadi duka untuk kedua kalinya. Karena itu, cobalah untuk berdamai dengan diri Tuan sendiri. Itu kunci utamanya." Melati seperti sedang berdongeng di depan anak bayi.

Laki-laki itu sedikit tenang, tidak seperti sebelumnya.

"Lalu memaafkan, ya memang sih. Memberi maaf takkan bisa mengembalikan waktu yang sudah terbuang. Tetapi bisa membuat hati kita sedikit tenang, bukan?" Ia menyentuh jemari Devano, tersenyum.

"Berani sekali kau menyentuhku pembantu?!" Devano mendadak berubah angkuh. Dia melempar tangan Melati. Melati menangis dan terisak. Ia tak percaya bahwa Devano akan sekejam itu.

"Jika Tuan tidak membutuhkan saya, saya pamit permisi." Saat Melati hendak meninggalkan kamar Devano, ia dikejutkan dengan vas bunga melayang.

PRANG!!!!

Melati membalikkan badannya. Menatap Devano yang gelap.

"Sa--saya tidak percaya jika Tuan akan melakukan itu!" Dari suaranya Melati mulai merasa ketakutan, nadanya bergetar tak seimbang, tetapi masih mencoba untuk tetap tenang.

Jika salah bertindak, maka Devano akan terluka oleh pecahan kaca yang ada. Tak hanya itu, kaca yang berdiri dengan anggun berubah menjadi serpihan kecil.

"Melati? Melati, di mana kamu?"

Devano yang keras kepala nekat turun dari kursi rodanya. Ia mencoba untuk mendekati Melati. Melati yang terkejut masih berdiri terpaku di tempatnya. Tubuhnya mematung, tak bisa bergerak sama sekali.

Di saat Devano memanggil namanya, baru ia tersadar dan buru-buru membantu tubuh itu kembali ke kursi roda. Tak peduli jika kaca menusuk dan menggores kakinya.

Melati dengan setia, tanpa ragu mendahulukan keselamatan tuannya. Meskipun harus merasakan sakit menyengat di telapak kakinya.

"Apa kamu terluka?" tanya Pria itu penuh sesal.

Melati menggeleng, "tidak. Apakah Tuan sudah mulai tenang? Atau masih ingin melanjutkan aksi Tuan?" sindir Melati.

***

Tak banyak yang bisa dikatakan, tetapi melihat kejadian sebelumnya membuat Melati betapa dalam sakit yang diberikan oleh Celine kepada Devano.

Bukan hanya itu saja, Devano menjadi sosok yang tidak mau keluar kamar lagi semenjak kedatangan Celine. Dia bahkan harus ikut terkurung di dalam kamar karena pria itu.

Melati benar-benar menjadi kaki tangan mata dan semuanya. Ia harus mengambilkan keperluan Devano di luar. Berlarian agar Tuannya tidak perlu menunggu.

Sebab, menunggu adalah yang membosankan.

"Tuan, sudah tiga hari tidak keluar kamar. Apakah tidak merasa bosan?" Melati yang sedang menyisir rambut Devano menatap jendela kaca.

Ia ingin sekali mengajak pria itu keluar dan mengikuti terapi kembali.

"Udara luar sangat segar dan bagus bagi kesehatan, Tuan. Kita keluar yuk!" ajak Melati.

"Tidak!"

"Sangat membosankan berada di sini terus. Saya juga ingin, hmp," ia sengaja tidak melanjutkan ucapannya dan membuat Devano penasaran.

"Jika kamu bosan, kamu boleh keluar untuk mencari udara segar seperti yang kamu katakan."

Secepat kilat Melati membantahnya, "tidak. Saya takkan pergi jika Tuan tak ikut bersama saya."

"Kalau begitu tetap di sini. Temani aku."

"Baik, Tuan."

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Sebab, angin tahu bahwa daun akan setia menunggunya datang dan menerbangkan ke tempat lain. Agar si daun kembali mengingatnya.

Meski mereka tak bisa bersatu, tetapi saling terikat saja sudah baik. Devano juga tidak mengabaikan Melati lagi, ia membelikan beberapa perlengkapan wanita untuk Melati.

"Apa ini, Tuan?" tanya Melati ketika menerima kotak yang besar. Ia tak langsung membukanya.

"Ini adalah alat yang akan membuat kamu cantik. Di saat aku bisa melihat dunia lagi."

Terdengar sederhana, tetapi membuat Melati sangat gembira. Itu artinya Devano akan menjalani terapi kembali.

"Apa??"