Saat Melati tengah menuntun Devano, mendorong kursi roda milik pria itu, wanita itu menyadari ada tamu yang tengah duduk di ruang tamu. Matanya memperhatikan dengan jelas bagaimana penampilannya, dia terlihat … anggun.
Satu kata yang mewakilinya, bahwa wanita itu memang sempurna.
Melati sedikit menepi, memberikan waktu agar mereka berbicara. Tetapi ia masih memperhatikan gerak-gerik keduanya. Memastikan agar tuannya tetap baik saja.
"Devan?" Wanita itu bangkit, menghampiri Devano yang dituntun oleh Melati.
"Celine?" Devano sendiri sangat mengenali suaranya.
"Ya Dev, ini aku, Celine," balas wanita bernama Celine itu terisak sedih.
Devano yang tengah memegangi tangan Melati tanpa menyadari sudah menggenggamnya erat sampai Melati meringis kesakitan.
"Kamu … kamu baik-baik saja?" tanya Celina sambil mencoba menelaah wajah Devano.
Tangan Celine yang memegangi pipinya pun ditepisnya kuat-kuat. "Untuk apa kamu datang ke sini huh?" Suara Devano berubah begitu dinginnya.
Wanita itu terdiam, membisu dan wajahnya memucat bukan main.
Celine menatap manik almond Devano. Yang mana netra itu tak lagi bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan tidak bisa sama sekali.
Ia berdeham, menahan suara isak tangisnya dan menahan air matanya. "Ehem. Dev, apa kabarmu?" ujar Celine, meski tak ada jawaban dari si pemilik mata almond.
"Sepertinya Tuan memiliki tamu, alangkah baiknya jika kalian berdua berbicara dulu," sela Melati yang merasa tak nyaman harus melihat interaksi kedua orang itu.
Devano sendiri hanya bisa duduk, menatap ke arah depan dengan mata yang buta, tak bisa melihat apa pun juga. Dia mendengar isak tangis dari Celine, wanita sekaligus teman yang berada di dalam mobil yang sama dengannya, saat dia mengalami kecelakaan mengerikan itu.
"Untuk apa kamu ke sini? Bukankah kau sudah membuangku huh!"
Celine semakin terdiam, dia tak bisa menjawab. Yang dilakukannya hanya berdiri, menatap iba pada Devano saat ini.
Tangannya mencengkram erat kursi roda. Ada rasa benci sekaligus senang karena kehadiran wanita itu.
"Aku tahu kamu pasti sangat membenciku kan?" paparnya penuh sesal.
"Aku juga tidak bermaksud begitu! Aku juga punya alasan sendiri, Dev-?"
Srak!!!
Devano mendorong roda kursinya sendiri, berusaha menjauh dari Celine sehingga gadis yang memakai dress merah itu terkejut.
"Apa hal yang harus kulakukan agar bisa kau memaafkanku?"
"Alasan apa yang membuatmu meninggalkanku, Celine? Alasan karena aku sudah buta? Tak bisa berjalan?!" bentak Devano merasa tak tahan saat ini.
"Bu—bukan maksudku meninggalkanmu Dev, percaya padaku … kumohon," rintih Celina menggenggam tangan pria itu, duduk bersimpuh dan mencoba meminta maaf pada teman sekaligus … pacarnya.
Devano masih bisa mengingat dengan sangat jelas kejadian itu. Ia melihat Celine yang panik dan merasa ketakutan.
Devano berusaha untuk membuka pintu mobil. Tapi tidak bisa. Mobil mereka terjatuh di bibir tebing tinggi.
Ditambah lagi dengan bensin yang sudah bocor. Tidak ada siapa-siapa yang lewat, hanya mereka berdua.
"Cel, jangan panik. Ada aku di sini?" kata Devano mencoba membuka pintu mobil.
Dia yang melihat darah saja sudah benar-benar panik, ditambah dengan tangisan Celine yang dipenuhi rasa takut. Sekuat tenaga dia berusaha untuk mencoba mengeluarkan dari dalam mobil. Ponselnya tak memiliki sinyal sama sekali agar bisa memanggil ambulans.
Pria itu mencoba memapah Celine sekuat tenaga. Ada percikan arus listrik dari kabel yang terputus, bensin yang semakin mengalir membuat Devano sendiri berusaha untuk bergerak menjauh lebih cepat.
Kakinya sudah kesakitan bukan main, dia tak mempedulikan darah yang mengalir di bahu dan kepalanya. Bahkan kakinya terpincang-pincang efek terjepit kursi mobil.
"Celine, kumohon … tetaplah sadar," pintanya.
Mereka tak menyadari kalau bahaya sudah ada di depan mata. Saat pria itu menoleh ….
DUARRR!!!
Mobil itu meledak, melemparkan kedua tubuh milik Devano dan Celine. Serpihan-serpihan kaca mengenai wajah Devano. Keduanya terkapar sempurna, terlempar jauh dan kehilangan kesadaran. Sampai akhirnya ditolong oleh penduduk yang tak sengaja melihat badan mobil dari kejauhan.
"Maafkan aku … maaf … Dev, hiks ... hiks …."
Celine masih terisak-isak meminta maaf.
Sementara itu, Melati sendiri masih berdiri di balik tembok. Menguping pembicaraan keduanya karena dia tak bisa meninggalkan Devano seorang diri.
Bahkan dia ingat bagaimana dirinya sadarkan diri dan gelap. Hanya gelap tanpa ada pemandangan yang bisa ditangkap netranya sedikit pun juga. Pria itu benar-benar seperti sedang berada dalam tidur yang lelap namun, pikirannya sudah terbangun.
"Di--di mana ini?! kenapa gelap sekali?!" Teriakannya menggema di seluruh ruangan.
Kedua orang tua Devano segera menyongsongnya, melihat putra bungsu mereka terduduk dan menjerit-jerit ketakutan.
"Nak, sabar dulu, tenang dulu …," Nyonya besar keluarga Carlston berusaha untuk menenangkan kepanikan putranya.
"Ma, kenapa ini gelap Ma …," adu Devano semakin panik. Dia tak siap kehilangan penglihatannya. Tangannya meraba-raba sisi kiri dan kanannya. Tangan Ibunya pun segera menggenggamnya.
Ada rasa sakit begitu melihat penderitaan putranya. Tangisan yang dia tahan pecah, tapi tak menimbulkan suara. Devano tentu tak melihatnya menangis. Anaknya tengah shock akan keadaannya.
Rasa sakit yang Devano derita semakin bertambah ketika Celine, wanita yang juga terlibat kecelakaan dengannya menghilang tanpa kabar.
"Ma, ke mana Celine? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan itu selalu dia lontarkan dan hanya menjawab bahwa wanita itu baik-baik saja.
Lantas kenapa Celine tak datang menjenguknya, bahkan saat dia berbulan-bulan di rumah sakit karena menjalani serangkaian operasi pada tubuhnya.
Semua ingatannya tergambar jelas. Bahkan wajah ketakutan Celine pun dia masih mengingat setiap incinya.
Semuanya hanyalah air susu dibalas air tuba, begitu yang Devano sematkan pada wanita yang pernah dicintainya itu. Sekarang hanya tersisa sakit hati belaka.
Celine semakin menangis, mendengar bagaimana kecewanya Devano padanya. Dia bersimpuh, menggenggam tangan Devano. Menangisi penyesalannya. "A--aku minta maaf, kumohon maafkan aku," rintihnya.
Devano semakin dengan kejamnya menepis tangan wanita itu. "Sudah bukan waktunya untukku agar bisa memaafkanmu, pulanglah," tegas Devano dengan dinginnya.
Lantas pria itu berteriak memanggil Melati. "Melati! Di mana kamu?! Antar aku ke kamar!" pintanya.
Melati yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu kini tergopoh-gopoh menghampiri Devano. Dia menatap Celine dengan perasaan kasihannya. Benar-benar pelik sekali masalah dua orang ini.
"Siapa dia Devan?" Celine menaruh curiga pada Melati.
"Dia?" Devano mengambil tangan Melati dan menggenggamnya.
"Dia adalah kaki dan mataku," jawabnya ambigu.
"Antarkan aku ke kamar, Melati," perintahnya dengan dingin.
"Permisi Nona," ucap Melati dengan kikuk. Lantas mengantar Devano ke kamarnya. Mencoba untuk tak mencari tahu apa yang terjadi pada Devano dengan gadis cantik yang masih menangis di ruang tamu itu. Dia dibuat bertanya-tanya akibat menguping pembicaraan tuannya sendiri.