Eva menatap bahunya yang terluka dan mendesah lelah, apa kakaknya juga merasakan rasa sakit ini sekarang? Semoga saja tidak, ia tidak ingin kakaknya merasakannya sekarang.
"Tentu saja aku harus menghukum pelaku nya sekarang," gumam Eva, ia membuka tas kecil di pinggangnya dan melempar benda kecil itu ke arah tenggara.
Clap..
Bruk..
Dengan sekali serangan, Eva berhasil menjatuhkan sniper yang tadi berusaha membunuh Crisia. Dia menyugar rambutnya dengan tangan kiri, tangan yang tidak terluka.
"Rasanya menyebalkan," gumam Eva berbalik.
Ia menatap tajam pilar disebelah barat. Apa orang yang bersembunyi dibalik pilar itu fikir Eva tak tahu keberadaannya? Hei, kalau mau Eva tidak mengetahui dimana kau bersembunyi. Harusnya hilangkan dulu rasa takut yang sangat ketara itu!
Eva merogoh kantong jaketnya dan mengambil sebuah benda yang kecil dari sana, keningnya berkerut heran. Bagaimana cara menggunakan senjata ciptaan kakaknya itu? Ia tidak faham cara kerja dari bola seukuran kelereng di tangannya.
'Untuk mengaktifkannya lo hanya perlu bilang aktif.'
Perkataan Misha terngiang-ngiang dikepalanya, benar juga. Kakaknya itu sudah memberitahu cara kerja ciptaannya, dengan ragu Eva bergumam.
"Aktif"
Bola seukuran kelereng itu bergerak, bentuk nya menjadi pipih. Bagian pinggirnya menjadi tajam, tiba-tiba benda itu melayang kearah pria yang tengah bersembunyi dibelakang pilar besar.
Crakk..
Mata Eva membola saat sebuah kepala jatuh menggelinding, benda penuh darah itu kembali ke tangan Eva setelah memenggal pria yang bersembunyi di balik pilar!
"Oh, penemuan kak Misha terlalu berbahaya!" seru Eva terpekik, ia segera menonaktifkan benda itu dan memasukkannya kedalam kantong.
Mengambil pistolnya dan mengarahkannya ke arah yang berlainan, suara letusan khas senjata api terdengar dari kejauhan. Nampaknya mereka pun tau kalau Eva tengah membidik mereka.
"Ah, Shit"
Eva mengumpat ketika perut dan lengan kirinya kembali tertembak. Dengan segera ia menarik pelatuk dari senjata api miliknya, amunisi itu menembus tepat di tenggorokan mereka.
Dua orang tumbang.
Menurut pengamatan Eva, musuh di sini berjumlah 10 orang. Yang tewas sudah 4, tinggal 6 lagi' gumam Eva menyeka darah di pipi nya.
Syuuut!
"Argghhh,"
Ringisan terdengar dari mulut Eva, ketika sebuah pisau menancap di paha kanannya. Rien yang sempat terdiam karena shock, segera mengambil pisau dan melemparkan kearah orang yang melempar pisau pada Eva.
Pisau milik Rien menancap tepat di kening musuh, setelah memberi aba-aba pada anak buahnya. Rien berlari menghampiri Eva yang terduduk.
"Miss, are you okay?" tanya Rien khawatir. "Nope," jawab Eva singkat, ia menarik pisau kecil itu dari pahanya.
Darah segera merembes begitu pisau itu dicabut. Rien merobek lengan kemeja nya dan mengikat luka Eva kencang, ringisan terdengar dari mulut Eva.
"Saya akan membereskannya," ujar Rien berdiri dan benar-benar melakukan seperti yang ia ucapkan barusan.
***
Setelah kekacauan tadi, semua orang dipulangkan. Mr Johan tadi pamit sebentar untuk mengantar Crisia kepada sang istri, anaknya itu sedikit terguncang setelah kejadian menyeramkan tadi.
"Haaah,"
Helaan napas panjang terdengar di satu Ruang Rumah sakit. Eva memukul keningnya karena tidak berhati-hati, bagaimana bisa ia tidak sigap seperti saat bersama kakaknya?!
"Gue gak nyangka bakal kek gini," gumam Eva mengacak rambutnya.
Bahu dan lengan kiri nya di perban, begitu pula dengan leher, perut, dan Paha. Risih rasanya saat perban putih itu membungkus tubuhnya. Eva tak dapat menolak karena luka nya memang cukup serius, amunisi musuh itu bukanlah amunisi biasa.
Mereka telah menambahkan racun di amunisi itu, sehingga menyebabkan kelumpuhan, bahkan kematian! Jika saja sistem imun nya lemah, mungkin ia sudah mati ditempat.
Kringg..
Dering ponsel, menyadarkan Eva yang tengah termenung. Ia tau ini siapa, "Ada apa kak?" tanya Eva.
"Luka lu.. banyak kan? Gausah balik dulu, sembuhkan semua luka lo" ujar Misha langsung. Eva berdecak, "Gue gak pengen lama-lama di sini kaa, tar kalo gue ketemu Vaino gimana?!"
Eva sangat yakin, di seberang kakak nya sedang memutar bola mata malas. Apasih mau kakaknya, Vaino itu bukanlah pria baik yang boleh diizinkan mendekat.
Vaino itu playboy terkenal di Italia, Eva tidak ingin berteman sama makhluk sejenis Vaino. Tidak level lah sebutannya.
"Lu mau gue pindahin ke Rumah sakit di Jakarta?" tanya Misha setelah terdiam beberapa saat, Eva mengangguk. "Ya! Lebih baik kek gitu daripada nginep di sini!" ujarnya serius.
Kekehan kecil terdengar dari telfon, Misha menertawakan tingkah adiknya yang luar biasa.
"Kak.. Lu udah pulang dari Rumah sakit?" tanya Eva penasaran, tanpa melihat. Eva bisa tau kakaknya itu menggeleng, "Belum, kata dokter besok baru boleh pulang."
Eva mengangguk paham, saat ingin melanjutkan pembicaraan. Rien memasuki ruangan tempat Eva dirawat, "Halo Miss Eva.. Saya membawakan anda makanan,"
Di seberang, mata Misha memicing. Jelas dia tidak salah dengar, adiknya di sana bersama pria? "Eva, lu punya pacar?" tanya Misha curiga.
"Enggak kak! Dia rekan bodyguard gue!" terang Eva kelabakan. Misha bertanya, "Siapa? Clan mana?"
Eva menghela napasnya, "Clan Phantom Dark" Suara khas Misha saat kaget terdengar, kakaknya itu benar-benar terkejut mendengar jawaban Eva.
"Berikan telfonnya pada Rien!" titah Misha, mendengar titah sang kakak, Eva mencibir. Namun tetap menyerahkan ponselnya pada Rien.
"Hai Rien, lama tak jumpa" sapa Misha, mendengar suara yang sangat ia kagumi, Rien tak dapat menahan suaranya. "HAAAAA?! INI ANDA?!" Misha meringis saat teriakan Rien menyakiti gendang telinga nya, "Iya, ini gue. Pemimpin Clan Gold Moonlight,"
Rien terharu, "Yaampun, anda apa kabar? Sudah dua tahun berlalu bukan?" Misha mengangguk setuju.
Mereka bertemu saat Misha tengah menyeleksi pemimpin Clan, Rien ada di sana. Hanya sepertiga dari 100 Clan mafia yang Misha anggap layak menjadi Pemimpin, sisanya? Mati.
"Kau memiliki kesibukan setelah Misi kali ini?" tanya Misha dijawab gelengan, sadar Misha tak dapat melihat itu. Rien menjawab, "Tidak, setelah ini kami mau libur sejenak"
Misha berseru keras di seberang, tak lama suara teguran dari seorang wanita terdengar bersama dengan ringisan dari Misha.
"Maaf, aku di tegur suster tadi.. Kalau begitu ayo mampir ke Indonesia! kita harus reuni," ujar Misha. Ia melanjutkan, "Sekalian gue minta tolong bawa Eva pulang ke Indonesia."
Dengan ragu Rien menatap Eva, yang ditatap justru buang muka. Eva tak ingin mencampuri masalah kakaknya dengan Rien, "Baiklah, besok saya akan ke Indonesia dan mengunjungi anda" putus Rien membuat senyum Misha tercetak jelas.
"Bagus! Aku akan menunggu kedatanganmu! Oh, bisa berikan pada Eva?" tanya Misha, "Tentu saja!" balas Rien cepat, ia menyerahkan ponsel itu pada Eva.
"Ngapa?" tanya Eva malas. "Lo gak usah ke Rumah sakit, pulang ke Mansion markas aja!" suruh Misha membuat kening Eva berkerut.
"Bukannya kita udah lama gak main kesana?" heran Eva, "Makanya. Karena gak pernah kesana, kita harus tinggal di sana beberapa hari." terang Misha.
Eva mengangguk saja, Yah.. beberapa hari tanpa keributan yang diakibatkan oleh abangnya, adalah penawaran yang menggiurkan.
"Bawa Rien kesana yah, kita akan bersenang senang" ujar Misha bahagia, "Kamu selingkuh?!"
Suara seruan terdengar dari balik telfon, seperti nya ada yang memergoki Misha di sana.
"Hah?! Kamu--"
***
Ayo search Pacaran?! di Web novel, itu cerita baru fifi awokawok