webnovel

The Simplicity of Happiness (Kesederhanaan dari Kebahagiaan)

Vincent, anak yang dulu kehadirannya tidak pernah diinginkan kedua orang tuanya, kini tumbuh dewasa dengan segala trauma hidup serta luka dalam hatinya. Perlahan ia belajar melupakan masa lalunya yang kelam bersama Thomas, sahabatnya. Berkatnya, ia dapat mengenal 'cinta' yang belum pernah ia rasakan selama hidupnya. Olvie, adik tingkat yang selalu mengejarnya berhasil membuat hati Vincent luluh! Apakah Vincent dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupnya? Karena baginya, kebahagiaan itu sederhana. Yang ia rindukan hanyalah melihat wanita itu tersenyum, ketika ia memanggilnya 'Mama'... #bromance

Mochiachan · 综合
分數不夠
31 Chs

Chapter 15 - Siapa Dia?

Pov: Thomas

Tak habis pikir, setega itukah seorang ibu sampai membunuh anak kandungnya sendiri berulang kali? Bukan sekedar fisiknya, tapi ia sudah membunuh Vincent melalui ucapannya, melalui sikap dan perbuatannya.

Walaupun aku tak pernah menyaksikannya langsung, melihat dia, sahabatku, menangis dengan pilu saat berada dipelukanku kini saja hatiku juga merasakan sakitnya.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku ada di posisinya.

Ibuku juga sering marah dan memukulku dulu, tapi aku tahu itu untuk kebaikanku karena aku nakal saat kecil. Bahkan semakin dewasa hubunganku semakin dekat dengannya.

Ibuku rajin menelponku sekedar menanyakan kabar atau mengingatkan agar tidak terlambat makan, juga memastikan kuliahku lancar dan terus menanyakan kapan akan pulang.

Sejak saat ini aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan berdiri di samping Vincent, membela dan menghiburnya apapun yang terjadi.

Satu hal yang kubenci darinya. Kenapa kau masih memaksakan dirimu tersenyum saat hatimu sangat terluka? Rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukanku darimu.

"Terimakasih, Tom," ucapnya lirih.

Kuperhatikan wajahnya dengan tatapan khawatir, dia terlihat pucat dan lemas. Tubuhnya dingin, pasti sudah cukup lama dia berada di sini. Apa yang kau lakukan dari tadi?

"Benar kau baik-baik saja? Untuk malam ini saja, kita ke rumah sakit ya?" bujukku.

Vincent menunduk dan menggelengkan kepalanya.

"Tadi kamu beli apa?" Dia kembali mengangkat wajahnya mengganti topik pembicaraan.

Aku menghela nafas dengan kasar, mencoba memahaminya.

"Kau mau nasi goreng atau mie goreng?" jawabku.

Dia tersenyum, lalu bangkit berdiri. Hal yang selalu dia lakukan, bersikap seolah tidak ada yang terjadi.

* * *

Baru kali ini aku tidak menguap sama sekali pada kelasnya Pak Hendro, dosen Teori Akuntansi kami yang terkenal membosankan.

Entah kesambet apa bapak berkepala botak mengkilap itu mengadakan diskusi yang cukup seru. Beberapa mahasiswa saling menyerangnya karena perbedaan pendapat diantara mereka.

Tapi kuperhatikan Vincent tidak seantusias anak-anak lain. Dia hanya diam dan pandangannya menatap lurus ke depan, entah menatap Pak Hendro atau pikirannya sedang melayang-layang.

"Ke kantin kan?" tanyaku padanya yang masih sibuk berkutik dengan penanya sesaat setelah Pak Hendro keluar ruangan.

"Kamu duluan aja, Tom. Aku mau ke ruang dosen setelah menyelesaikan ini, tugas tambahan untuk memperbaiki absensiku."

"Oke, kutunggu di sini."

Aku mau menarik bangku di sebelah Vincent tapi dicegah olehnya.

"Carikan meja yang strategis seperti biasa, nanti aku menyusul segera," katanya sambil tersenyum.

"Ya sudah. Kau mau makan apa? Biar kupesankan sekalian," tanyaku.

Dia diam sebentar untuk berpikir.

"Soto ayam Bu Eka bagaimana?" Aku langsung mencetuskan ideku tanpa menunggunya menjawab.

"Boleh." Kemudian dia kembali menulis.

Saat di perjalanan menuju kantin, tepatnya di koridor antara kelas dan lapangan basket, aku melihat seorang gadis yang sosoknya sudah tidak asing lagi di mataku. Gadis itu sedang bersama temannya yang juga sering kulihat beberapa kali.

Kupercepat langkahku dan menepuk sebelah pundaknya.

Sesuai dugaanku, dia terkejut sebelum menoleh ke arahku.

"Kaget nih yee...," godaku sambil mengacak rambutnya sedikit.

"Iihh kak Thomas! Reseh!" seru Olvie sambil mengerucutkan bibirnya seperti bebek, tangannya sibuk merapikan kembali rambutnya.

"Mau ke kantin? Bareng yuk, Vincent juga sebentar lagi menyusul, ajak temanmu juga," ajakku, lalu aku tersenyum pada gadis lain di sebelahnya sekedar menyapa.

Mata Olvie langsung berbinar dan senyum mengembang di wajahnya yang mulus. Tidak salah lagi, sudah pasti dia senang mendengar ajakanku.

Baru sebentar kami berjalan beriringan, temannya Olvie yang seingatku bernama Vira, membisikkan sesuatu di telinga Olvie yang membuatnya berhenti melangkah.

Mereka menatap sesuatu di depan, kemudian raut wajah Olvie berubah menjadi serius dan agak terlihat seperti... takut?

Kuikuti pandangan mereka ke arah lapangan, tapi aku tidak mengerti apa yang mereka lihat. Tidak ada sesuatu yang aneh di sana.

"Ada apa?" tanyaku sembari menggaruk-garuk belakang kepala padahal tidak gatal.

Olvie menunduk dan segera berbalik yang diikuti oleh Vira. Mereka berjalan dan meninggalkanku tanpa berkata apa-apa.

Aku sempat megejar dan menahan pundaknya.

"Hey, tidak jadi ke kantin?" tanyaku tergesa-gesa.

Dia menepiskan tanganku dari pundaknya, lalu dengan tatapan serius dia berkata, "Maaf, sepertinya kakak salah orang."

What??

Aku melongo melihat gadis mungil itu mengabaikanku dan berjalan cepat sekali membelakangiku.

Bukankah tiga menit yang lalu dia sangat bersemangat saat kuajak makan siang bareng?

Masih dengan wajah yang kebingungan kuputar langkah kakiku kembali menuju kantin.

Baru saja aku berbalik, seseorang menjegal kaki kananku. Aku sempat kehilangan keseimbangan tapi tidak sampai terjatuh karena tanganku reflek menggapai tembok ruang kelas.

"Ups, sorry tidak sengaja," ucap seorang mahasiswa laki-laki yang tidak ku kenal, lalu diiringi tawa teman-teman yang sedang bersamanya.

Kulihat ada Fino dan tuyul-tuyulnya, maksudku pengikutnya, diantara mereka yang tertawa.

Aku hanya memelototinya sampai mereka pergi, masih terdengar tawanya yang terkesan mengejek.

Tidak sengaja bagaimana, ini jelas bukan tersandung lagi tapi rasanya kakiku seperti ditendang!

Apa dia anggota baru genk si Fino itu? "Sok berkuasa sekali," gumamku.

Kulambaikan tanganku saat melihat Vincent yang baru tiba di kantin, pandangannya sedang menyapu setiap meja mencariku.

"Kau tahu, tadi aku mengajak Olvie bareng ke sini," ujarku saat dia mulai duduk di depanku.

"Lalu dimana dia?" tanyanya sambil melirik ke sekitar.

Aku mengangkat kedua bahu. "Entah.. Ada yang aneh dengannya. Tiba-tiba saja dia pura-pura seperti tidak mengenalku dan pergi begitu saja. Aku tidak mengerti."

Vincent tertawa kecil. "Mungkin kamu beneran salah orang."

"Yee.. Tidaklah, dia bersama Vira tadi. Dia juga sempat meneriakkan namaku saat kukagetkan. Aneh."

"Kalau begitu, berarti gadis itu punya dua kepribadian?" Vincent tampak sedang berpikir, lalu kembali tertawa karena ucapannya sendiri.

Bu Eka memanggilku menandakan pesanan kami sudah siap. Aku sengaja memilih meja yang dekat dengan stand bu Eka karena tadi ia sempat bercerita kalau hari ini ia hanya bekerja sendiri, jadi tidak ada yang mengantar setiap pesanan ke meja kalau sedang ramai.

"Aduh." Aku meringis menahan nyeri di kaki kananku ketika aku berdiri dan mulai berjalan menghampiri bu Eka,

Vincent yang melihatku langsung berdiri dan mendekat, "Kenapa Tom?"

"Ah, ini. Kakiku agak sakit, tadi tersandung kaki seseorang. Sepertinya sih sengaja," terangku.

Vincent menyuruhku kembali duduk, lalu menggantikanku membawakan nampan pesanan kami ke meja.

"Siapa yang berani berbuat itu padamu?" tanyanya begitu kembali ke meja, lalu meletakkan dua porsi mangkok soto bergambar ayam jago ciri khas negara ini.

"Tidak kenal, seingatku almamater yang dia kenakan memiliki list berwarna biru, pasti anak dari jurusan komputer. Tapi ada Fino juga bersamanya."

Vincent mengerutkan alisnya tanda bingung, "Jangan berurusan dengannya."

"Aku tahu, makanya aku diam saja."

Selesai makan, kami masih di sini sambil menunggu jam mata kuliah berikutnya yang masih sekitar satu jam lagi.

Aku menyadari ada seseorang duduk di sampingku, di meja yang sama dengan kami. Aku menoleh dan melihat Olvie yang sedang cengengesan.

"Halo kak Vincent, kak Thomas," sapanya membuatku keheranan.

"Eh maaf, ya, kayaknya kau salah orang," ketusku.

Vincent tertawa kecil sedangkan Olvie tertawa nyaring sekali. Aku berdecak sambil menggelengkan kepala.

"Marah tah kak? Tadi aku cuma bercanda kok."

Kupalingkan wajahku dan berpura-pura kesal, membuat Olvie semakin senang meledekku.

"Sudah makan?" tanya Vincent pada Olvie.

"Belum, kak. Makanya aku ke sini," jawabnya sambil tersenyum.

Aku bisa merasakan senyum yang berbeda setiap dia berbicara dengan Vincent, sepertinya itu senyum terbaik yang dia punya. Aku jadi geli sendiri melihatnya.

"Mana temanmu tadi?" tanyaku.

"Vira kak? Dia makan siang bareng pacarnya."

"Ohh.. Kau tidak makan siang bersama pacarmu juga?" Aku hanya menggodanya.

"Lah, ini kan mau makan kak, bersama kalian," katanya malu-malu.

Aku melirik Vincent penasaran bagaimana ekspresinya setelah mendengar ucapannya. Dia hanya tersenyum.

"Aku dan Vincent sudah selesai makan, kami duluan, ya," ucapku dengan nada mengejek dan pura-pura berdiri.

Olvie melotot kepadaku, "Ya udah kak Thomas aja yang duluan."

"Kak Vincent temani aku ya? ya ya?" katanya lagi dengan manja menatap Vincent.

Vincent menoleh kepadaku, "Duduk, Tom."

Aku kembali duduk. Pada dasarnya aku memang hanya bercanda. Kulihat Olvie menjulurkan lidahnya padaku, dia puas karena sahabatku itu membelanya.

Kami membicarakan banyak hal selagi Olvie menikmati makan siangnya. Bercanda dan tertawa bersama, sepertinya Vincent sempat melupakan kejadian mengerikan waktu itu meskipun hanya sesaat.

Sepuluh menit sebelum kelas kami dimulai, aku mengajak Vincent kembali ke kelas.

Olvie masih membereskan barang-barangnya di atas meja saat Vincent sudah berdiri. Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benakku.

Ketika Olvie memakai tasnya dan mulai bangkit berdiri, kudorong dia dengan tubuhku ke arah dimana Vincent berdiri. Karena tidak siap dengan serangan yang mendadak, dia akan terjatuh.

Tepat sesuai dugaanku, dengan sigap Vincent menangkapnya. Kini Olvie berada dalam dekapan pria yang disukainya, membuatku tersenyum sendiri melihatnya.

"Ehem.." Aku pura-pura berdehem karena terlalu lama mereka saling menatap.

Vincent melepaskan Olvie dari dadanya dan mundur beberapa langkah. Dia sekarang menatap ke arahku. Aku langsung berdalih.

"Oh maaf, kakiku sakit. Tidak sengaja menabrakmu, Vie. Kau tidak apa-apa, kan?"

Kulihat Vincent canggung sekali, berbeda dengan Olvie yang wajahnya memerah entah karena malu-malu mau atau kegirangan dalam hati.

Aku mendekat pada Olvie dan berbisik di telinganya."Suara detak jantungmu kedengaran tuh!"

Dia reflek mencubit lenganku lalu memelintirnya. Aku meringis dan hampir menjerit. Sumpah yang kemarin-kemarin saja masih berbekas!

"Kakak sengaja, kan?" bisiknya sambil menyikutku berulang-ulang.

Aku hanya menahan tawa yang tidak bisa kusembunyikan. Kemudian kami mengikuti Vincent yang sedang membayar makanan tadi.

* * *

Aku sedang mengeringkan rambutku dengan handuk setelah mandi ketika seseorang mengetuk pintu.

Kulirik ruang tengah dan ke arah belakang mencari Vincent, tapi tidak ada. Cepat-cepat kupakai baju seadanya dan membukakan pintu.

Bi Yati menyambutku dengan 'oleh-oleh' yang sama setiap ia berkunjung, makanan.

"Dimana adek?" Matanya mencari-cari ke setiap sudut ruangan. Adek yang dimaksud adalah Vincent.

"Sepertinya di kamar, Bi. Masuk saja," jawabku sambil mengambil bawaan dari tangan Bi Yati.

Belum sempat Bi Yati mengetuk pintu, Vincent sudah keluar dari kamar. Dia tersenyum melihat Bi Yati.

"Kupikir aku salah mendengar suara Bi Yati."

Bi Yati langsung memeluknya, lalu mengusap punggung Vincent.

Aku buru-buru meletakkan kantung-kantung berisi makanan ini di depan kulkas dan kembali ke ruang depan.

"Ada apa, Bi?" Aku mendengar Vincent bertanya.

Bi Yati melepaskan pelukannya lalu memegang salah satu pipi Vincent. Seketika aku mengerti kenapa raut wajahnya penuh kekhawatiran.

Tidak ingin mengganggu, aku pamit keluar dan membiarkan mereka berdua meskipun aku sendiri tidak ada tujuan kemana.

Kulajukan motorku dengan kecepatan sedang. Walau sudah sore, matahari masih berani menampakkan wajahnya.

Aku teringat di sekitar sini ada kedai kopi sederhana, kuputuskan untuk mampir sembari memberi waktu bagi Vincent dan Bi Yati.

Aku memilih duduk di luar. Menyeruput kopi panas sambil menghisap gulungan tembakau yang kubakar ujungnya dengan semilir angin sepoi-sepoi, nyaman sekali bukan?

Sekitar dua puluh menit berlalu aku terhanyut dalam dunia sosial media di ponselku. Sesekali pandanganku beralih ke sekitar karena mata yang lelah terus menerus menatap ponsel.

Secara tidak sengaja aku melihat sosok yang kukenal keluar dari sebuah café yang berada di seberang jalan. Itu Olvie kan? Aku memicingkan mata memastikan. Benar kok, itu Olvie.

Bukannya langsung pulang setelah kuliah malah nongkrong di cafe, pikirku.

Baru saja mau kupanggil dia, seorang pria keluar dari café itu dan mengejarnya. Pria itu menahan tangan Olvie lalu terlihat seperti adegan sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

Apa-apan itu? pikirku. Aku diam saja dan terus mengawasi.

Tunggu dulu, pria itu kan.. Aku kembali memicingkan mata mengamati sosok pria yang terlihat sedang membentak Olvie. Tidak salah lagi, itu pria yang tadi menjegal kakiku di kampus!

"Ada hubungan apa si brengsek itu dengan Olvie? Apa dia sedang berusaha mendekati Olvie?" tanpa sadar aku berbicara sendiri.

Terlihat Olvie terus mengabaikannya saat pria itu terus menarik lengannya. Tidak lama kemudian gadis itu menghentikan angkot yang melintas dan segera naik, lalu menghilang bersama angkot itu.

Sedangkan pria itu tampak kesal, dia menendang apapun yang ada di sekitarnya dengan brutal. Kemudian dia pergi dengan mobil keluaran terbaru berwarna hitam yang sepertinya miliknya.

Rasa penasaranku membuatku ingin menelpon Olvie langsung. Satu panggilanku tidak dijawabnya. Mungkin waktunya sedang tidak pas, lain kali saja kutanyakan.

Lima belas menit setelahnya, aku mendapat panggilan telpon dari Vincent.

"Dimana, Tom?" tanyanya begitu kuangkat telpon.

"Deket kok, ngopi sambil merokok," jawabku santai.

"Ohh.. Disuruh Bi Yati cepat balik, kami mau menyiapkan makan malam."

"Oke, siap."

Sepanjang perjalanan pulang aku sempat berpikir, perlukah kuceritakan apa yang kulihat tadi kepada Vincent?

Ah, sebaiknya kutanyakan dulu pada Olvie apa yang terjadi, baru kusampaikan pada Vincent.

Langit sudah mulai gelap, sepertinya matahari sudah dari tadi pindah ke negara lain.

Aku kepikiran juga, Bi Yati tahu darimana ya masalah Vincent bertemu mamanya dua hari yang lalu?

Aku tidak enak kalau tetap berada di sana tadi, setidaknya Vincent butuh waktu berduaan dengan Bi Yati, orang yang sudah dia angggap seperti ibunya sendiri.

****

Semoga kalian suka yaa ^^

Silahkan tinggalkan jejak di komentar, like atau favorite.. kritik dan saran welcome ~