webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · 历史言情
分數不夠
17 Chs

Bagian 5 | Bersyukur

Selamat membaca! 😊

_________________________

Bersyukur adalah kata kunci untuk bahagia. Dan ikhlas adalah pendampingnya. Ketika kedua kata itu tersemat dalam hati, maka tak ada lagi yang harus dikeluhkan. Karena rasa bahagia akan datang dengan sendirinya.

Dan Adhwa tahu, kebahagiaan itu sudah hadir dalam hidupnya saat ini. Berada ditengah-tengah keluarga baru membuat rasa itu membuncah dalam hatinya. Berulang kali dia mengucap syukur atas apa yang Allah berikan untuknya.

Meski tak dipungkiri terkadang rasa rindu hinggap dihatinya. Rindu akan kehangatan ayah dan bundanya.

"Ayah!" Seru gadis kecil dari gazebo. Dia berlari menghampiri Ali dan Adhwa yang baru saja turun dari anak tangga.

"Ayah lama banget sih, di atas?" Gerutu gadis kecil itu begitu sampai di hadapan sang 'ayah'.

"Iya sayang, maaf. Ayah kan beres-beres dulu." Ali menunduk dan menggendongnya. "Kan mulai sekarang, bunda tinggal di sini." Lanjutnya sambil menoleh ke Adhwa sekilas.

"Asiiik! Sekarang Nadia punya mama sama bunda." Ucapnya dengan antusias.

"Nadia seneng?" Tanya Adhwa seraya menyingkirkan helaian rambut gadis yang bernama Nadia itu ke belakang telinganya.

"Seneng dong! Temen-temen Nadia cuma punya 1, Nadia punya 2 ibu." Jawab Nadia dengan gembira.

Sementara sepasang suami istri itu terkekeh mendengar jawaban Nadia.

"Nadiaaa, mama kan udah bilang. Jangan ganggu ayah dulu." Seorang wanita berjilbab pashmina warna cream menghampiri ketiganya.

"Nadia kan, nggak ganggu. Ya kan, yah?" Nadia menoleh ke Ali meminta pembenaran.

Pria itu tersenyum lembut. "Enggak kok. Nadia nggak ganggu."

"Tuh kan, Nadia nggak ganggu, mama." Dia menoleh lagi ke Sabrina. Yah, wanita itu Sabrina. Ibu kandung dari Nadia. Seorang wanita tangguh yang membesarkan anak perempuannya seorang diri.

"Iya deh, iya. Tapi lain kali, kalau mama bilang jangan, ya jangan, ya." Tegur Sabrina dengan lembut.

"Iya, ma." Nadia mengangguk patuh.

"Nadia habis dari mana mbak? Kok tadi nggak ada?" Tanya Adhwa.

"Habis keluar. Jemput The Adiwangsa."

Adhwa mengerutkan kening. Dia pernah dengar nama itu, tapi lupa. "Keluarga heboh yang pernah aku ceritain." Celetuk Ali.

Sepertinya pria itu peka akan kebingungan sang istri. "Ayo. Yang lain pasti nunggu."

Mereka pun berkumpul dengan yang lain di ruang tamu. Dan Adhwa disambut dengan sangat hangat oleh keluarga Ali. Yang tadi Sabrina sebut The Adiwangsa.

Keluarga itu memperkenalkan diri satu persatu kepada Adhwa. Dan memang benar kata sang suami, kehebohan terjadi ditengah-tengah obrolan.

"Li, kamu itu nggak pernah kelihatan gandeng perempuan. Sekalinya gandeng, langsung nikah. Kenapa nggak cerita sama bulik?" Ucap seorang wanita berjilbab biru muda dengan gamis bunga-bunga berwarna senada. Beliau bernama Arumi.

"Ya kan, emang pertemuan mereka singkat, Rum." Mamanya Ali yang menjawab.

"Iya sih, lebih baik gitu juga. Daripada berhubungan lama, tapi nggak ada kepastian." Ucapnya sambil sekilas melirik ke kanan tempat anak sulungnya duduk.

"Ekhem. Apanih, lirik-lirik nih." Dan yang dilirik pun tahu.

"Ndak ada yang ngelirik. Berarti situ yang merasa."

"Kayaknya bakal ada Rafka kedua nih." Celetuk Sabrina.

"Sabar aja Sat, nasib kita emang selalu kayak gini. Dan kayaknya juga kita harus berguru sama Reza deh." Sahut Rafka.

"Tapi kayaknya, Mas Rafka aja deh, yang berguru." Kata Satria. "Kan, Mas Rafka yang jomblo. Kalau aku sih udah ada calon." Lanjutnya sambil menahan tawa.

"Sialan lu." Jawab Rafka menahan kesal.

Satriapun tergelak dengan diikuti beberapa diantara mereka. Dan yang paling bersemangat adalah Sabrina.

"Hahahaha menusuk sampai ke dasarnya." Ucap Sabrina dengan dramatis.

"Ngeselin lu mbak." Rafka melepar bantal ke Sabrina. Wanita itu semakin senang melihat wajah kesal Rafka. "Semua nggak ada yang belain. Rafka ngambek." Pria itu beranjak pergi dengan membawa toples berisi macroni. Serta mimik wajah yang buat seperti anak kecil yang sedang marah.

"Dih, dikira imut gitu. Nggilani Raf!" Cibir Sabrina.

"Anaknya Mbak Gendis emang paling unik." Celetuk Agus, kepala keluarga Adiwangsa. Ayah dari Satria, Juna dan Wardah.

"Emang paling unik. Sangking uniknya, sering bikin ibunya darah tinggi." Sahut Gendis.

"Ya meskipun begitu, Rafka tetap menjadi penghibur kita. Kalau nggak ada dia, mana mungkin rumah ini jadi hidup." Tambah Arini.

Dan suasana mendadak hening dalam beberapa detik. Setelah mendengar kalimat terakhir dari wanita itu.

"Ekhem. Oh ya, Juna mana? Kok nggak bareng kalian?" Tanya Bisma, ayah dari Rafka, dia berusaha mencairkan kembali suasana.

"Juna bareng sama temen-temennya. Tadi udah kabarin, katanya setengah jam lagi sampai." Jawab Agus sembari meminum tehnya.

"Ooh. Terus Wardah sekarang kuliahnya gimana?" Tanya Bisma lagi.

Kemudian yang lain perlahan bersikap seperti semula lagi. Dan suasana menjadi hangat kembali.

"Alhamdulillah lancar." Jawab Wardah, dia anak kedua dari Agus.

"Udah ada yang lirik lirik belum?" Goda Bisma.

"Apa sih pakde, Wardah kan, masih fokus kuliah." Jawabnya dengan pipi yang memerah.

Bisma terkekeh, meski dalam hatinya ketar ketir dengan apa yang akan terjadi setelah ini.

"Nadia mana mbak?" Tanya Ali. Dengan wajahnya yang berubah dingin.

"Di gazebo, sama Lena." Jawab Sabrina.

Pria itu langsung beranjak dari sofa dan pergi menghampiri Nadia, tanpa peduli sekitar termasuk istrinya sendiri, Adhwa.

Arini menghela nafas berat. "Maaf." Satu kata yang penuh makna. Wanita itu merasa bersalah telah membuat suasana menjadi tidak nyaman.

Sedangkan Adhwa, dia bingung dengan apa yang terjadi. Jujur, dia belum tahu banyak tentang keluarga ini. Membuatnya bingung harus bersikap apa.

"Susul suamimu. Yang dia butuhkan sekarang kamu." Kata Arumi. Wanita itu menatap Adhwa dengan penuh harap. Entah kenapa, Adhwa rasa ada makna tersembunyi dari kata 'Butuh'.

Kemudian gadis itu beranjak mengikuti perintah Arumi. Meski dalam otaknya berpikir keras apa yang harus dia lakukan saat berhadapan dengan pria itu nanti.

***

Akhirnya setelah pedebatan batin, Adhwa berinisiatif untuk mengajak Ali keluar rumah. Dengan Nadia yang sebagai alasan karena ingin menghabiskan waktu bersama gadis kecil itu.

Adhwa juga tidak lupa mengajak Lena untuk menemani Nadia. Agar Adhwa bisa berbicara berdua dengan Ali.

Mereka pergi ke taman perumahan komplek dan membeli ice cream potong yang kebetulan berjualan di sana.

Sepasang suami istri itu duduk di bangku ayunan, sedangkan Nadia bermain jungkat jungkit bersama Lena. Yang jaraknya agak jauh dari keduanya.

Dan sebelum memulai pembicaraan, Adhwa menghembuskan nafas pelan terlebih dahulu. Apalagi saat melihat raut wajah pria itu yang sedang tidak bersahabat.

"Eemm aku boleh tanya nggak?" Tanya Adhwa dengan hati-hati.

"Tanya apa?" Jawab Ali sambil menatap istrinya.

"Seberapa sayangnya, Mas Ali sama Nadia?" Lanjut Adhwa sambil memandang Nadia.

Pria itu tersenyum mendengar pertanyaan sang istri. Dia juga ikut memandang Nadia. "Nadia adalah segalanya untuk aku. Nadia sudah seperti putriku sendiri. Jika ada yang bertanya seberapa sayangnya aku sama Nadia. Maka jawabannya tak pernah terhitung."

"Aku juga pernah merasakan hal sama seperti Mas Ali. Begitu menyayangi orang yang paling berharga. Sampai rasa kehilangan itu tiba saat aku sangat membutuhkannya. Ayah sama bunda pergi di saat aku sangat membutuhkan mereka. Dan benar, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Tapi yang kusesalkan sampai saat ini, membuat ayah kecewa sebelum beliau pergi. Andaikan waktu itu..." Kalimat Adhwa terhenti saat dia tersadar bahwa dia terhanyut dengan suasana.

"Kok jadi aku yang curhat sih?" Katanya dalam hati. Dia merutuki diri sendiri karena sampai terbawa suasana.

"Kenapa berhenti?" Tanya Ali.

"Anu.. lupa mau ngomong apa." Jawabnya dengan gugup.

"Kok bisa lupa?"

"Ya lupa. Kan tadi ceritanya mau nanyain Mas Ali kenapa tadi waktu sama keluarga tiba-tiba berubah dingin." Ucapnya tanpa sadar. "Aduh." Adhwa menepuk keningnya pelan saat tahu dirinya keceplosan. Bisa-bisanya mulutnya bocor. Padangannya langsung berpaling. Tak berani melihat respon pria itu.

Adhwa takut jika pria itu marah atau sebagainya. Tapi ternyata malah sebaliknya, Ali tertawa renyah sebagai respon untuk Adhwa.

Sedangkan gadis itu langsung menoleh. "Mas Ali nggak marah?"

"Kenapa harus marah?" Kening Ali mengerut.

"Ya, karena itu."

Pria itu tersenyum lembut. "Aku justru berterima kasih sama kamu. Makasih karena sudah mencoba untuk menghibur dan khawatir." Tangan kanannya terangkat mengusap lembut kepala Adhwa.

Dan sudah pasti gadis itu sangat malu. Dia bahkan reflek menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Kan tadi konsepnya nggak giniii.." Gumamnya.

Sementara Ali terkekeh melihat tingkah Adhwa. Dia langsung meraih gadis itu dan memeluknya. Berulang kali juga mengucap syukur kepada Allah karena sudah mengirimkan Adhwa untuknya.

Dia sangat bersyukur telah di beri kesempatan untuk memiliki gadis itu. Dia bahagia, bahagia karena bersyukur memiliki Adhwa. Istrinya.