webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · History
Not enough ratings
17 Chs

Bagian 6 | Bahagia

Selamat Membaca 😊

________________________

Malam ini adalah salah satu momen yang paling menyenangkan untuk anggota keluarga. Yaitu resepsi pernikahan dari seorang pria bernama Muhammad Ali Arifansyah. Yang pernah dibicarakan oleh buliknya sendiri, Arumi. Bahwa pria itu tidak pernah sekali saja berhubungan dengan seorang wanita, sekalinya berhubungan, langsung menikah. Ditambah lagi, masa perkenalan yang cukup singkat. Membuat semua anggota keluarga cukup terkejut.

Dan pada akhirnya mereka mengerti bagaimana situasi sebenarnya. Banyak hal juga yang membuat mereka antusias dengan hubungan keduanya. Salah satunya karena keluarga Adhwa berasal dari kota yang sama dengan mereka. Yaitu, Blitar.

Membuat mereka berbagi cerita tentang banyak hal, dari makanan yang mereka suka, tempat-tempat yang sering mereka datangi, sampai pasar yang sering di kunjungi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ataupun untuk oleh-oleh.

Juga menjadikan mereka lebih cepat akrab dengan Adhwa. Adhwa sendiripun bersyukur karena keluarga Ali yang begitu ramah dan terbuka padanya. Menciptakan rasa nyaman untuknya.

Sama seperti sekarang, di acara resepsi ini. Acara yang diadakan outdoor disalah satu lapangan golf di Surabaya. Dia diperlakukan dengan sangat baik. Mereka menciptakan suasana hangat agar dirinya juga nyaman berada di tengah-tengah mereka.

Beberapa dari mereka juga sesekali memulai pembicaraan karena tahu jika dirinya sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Tak jarang juga dia ditanya tentang pertemuannya dengan Ali. Dan itu menimbulkan rasa malu tersendiri.

"Terus, selama 2 bulan lebih ini, Ali pernah ngelakuin hal romantis nggak sama kamu?" Tanya Arumi.

"Pernah sih." Jawab Adhwa sambil mengingat.

"Apa?" Tanya Arumi dengan antusias.

"Waktu itu, Adhwa lagi nungguin almarhumah bunda di rumah sakit. Dan Adhwa selalu bolak-balik rumah sakit-masjid yang jaraknya lumayan jauh. Terus, besoknya, Mas Ali bawain mukenah sama sajadah dari rumah bude ke rumah sakit. Mas Ali juga siapin sholat buat Adhwa saat Adhwa baru selesai ambil obat." Tutur Adhwa.

"Masya Allah. Sholehnya anaknya Mbak Arini." Puji Arumi.

"Alhamdulillah. Semoga anak-anak selalu dilindungi Allah. Dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik." Ucap Arini yang di Aamiin kan oleh semua.

"Apanih. Kok denger 'Aamiin' berjamaah." Celetuk Rafka yang datang bersama Ali, Satria, dan Juna.

"Mas Rafka, HP ku mana?" Tanya Lena.

"Loh, HP mu kemana ya? Mas lupa Len." Rafka sengaja mengatakan itu, padahal sebelumnya sudah dititipkan ke Arini.

"Iiihh, Mas Rafka kebiasaan. Kalau pinjem HP selalu diilangin." Gerutu Lena.

"Namanya juga manusia biasa Len. Tak luput dari dosa."

"Nggak ada! Itu namanya nggak tahu diri!" Cibir Lena.

"Dih. Marah-marah. Nggak ikhlas nih, minjeminnya."

"Nggak!"

"Makanya suka ngilang HP nya. Kamunya nggak ikhlas."

"Maaa... HP ku..." Rengek Lena sambil menelusupkan wajah ke meja.

"Kamu tuh, sering dikerjain Rafka masih aja percaya. HP mu ada sama mama." Tutur Arini.

Kepala Lena langsung terangkat menatap Arini. "HP ku di mama?"

"Iya. Tadi udah dititipin ke mama." Arini merogoh tasnya. Lalu menyerahkan HP pada putrinya.

"Yee, HP acu." Lena menerimanya dengan tersenyum lebar.

"Kamu itu udah 20, dek. Masih aja mau dikerjain Mas Rafka." Tambah Ali yang berdiri tepat di belakang Adhwa.

"Ya salahin Mas Rafka lah. Wajahnya tuh nggak bisa dibedain antara serius sama enggak." Balas Lena sambil mengotak ngatik handphone nya.

"Berarti wajahku cocok banget dong, buat jadi pemain film." Ucap Rafka dengan begitu percaya dirinya.

"Iya, film yang judulnya. Arwah jomblo penasaran." Kata Sabrina dengan diakhiri tawa. Dan diikuti kekehan Satria bersama Juna.

"Wah, Mbak Sabrina. Anda sungguh meresahkan sekali ya. Dimana-mana anda selalu membuat saya kesal dan darah tinggi." Kata Rafka dengan mimik wajah yang berusaha untuk menahan kejengkelan.

"Maap Raf. Soalnya, kayak ada yang kurang gitu, kalau nggak ledekin kamu." Jawab Sabrina disisa sisa tawanya.

"Hmm. Dimaafkan. Kalau bukan karena Mbak Sabrina kakak tersayangku, nggak ada kata maaf."

"Sok romantis." Cibir Lena.

"Bilang aja, kamu juga pengen mas romantisin, kan."

"Idih, najis." Caci Lena tak suka. Sepertinya gadis itu masih kesal dengan Rafka.

"Mulutnya, sopan banget." Sindir kakaknya seraya menyentil pelan telinga Lena. Sedangkan gadis itu langsung cemberut.

"Ayah!" Panggil gadis kecil dari arah belakang Ali.

Pria itu menoleh ke belakang. Dan yang lain juga ikut menoleh. "Hai, anak ayah habis dari mana?" Ali membungkuk dan menyambut Nadia yang berlari menghampirinya. Kemudian meraih dan menggendongnya.

"Habis ambil ice cream." Nadia menunjukkan cup ice cream berukuran kecil pada Ali.

"Waah, rasa apa?"

"Rasa coklat." Jawab Nadia sambil menyendok ice creamnya dan ingin menyuapi Ali. "Nadia suapin."

"Heemm. Enak." Ali menerima suapan Nadia.

"Tadi Nadia lihat ada Om Ree sama sahabatnya bunda. Yang perempuan sama yang laki-laki." Tutur Nadia seraya menunduk menatap Adhwa.

"Oh ya? Di mana?" Tanya Adhwa dengan tersenyum lebar.

"Tadi ketemu di tempat ice cream." Adhwa langsung menengok ke arah tempat ice cream berada. Dan benar, mereka ada di sana. Senyumnya semakin merekah saat Myra bertepatan juga melihat ke arahnya.

Mengerti jika istrinya begitu senang dan tak sabar menemui sahabatnya, Ali menawarkan untuk segera menghampiri mereka. "Mau ke sana sekarang?"

Adhwa menatap suaminya sambil tersenyum dan mengangguk. "Mau."

Ali kembali menatap ke arah keluarganya. "Ali nyamperin mereka dulu." Kata pria itu yang di angguki anggota keluarganya.

Sebelum beranjak, Adhwa juga sempatkan untuk pamit menemui sahabat sahabatnya. Dan saat sudah sampai di tempatnya, gadis itu langsung memeluk Myra.

"Makasih untuk semuanya." Ucap Adhwa seraya mengeratkan pelukan.

"Sama sama Wa. Kita itu sahabat rasa saudara. Jadi, jangan ngerasa seoalah olah aku udah ngelakuin sesuatu yang menakjubkan." Balas Myra yang juga membalas pelukan Adhwa tak kalah erat. "Kita sama sama saling membahagiakan. Senyummu senyumku, sedihmu juga sedihku. Jadi kalau kamu berterima kasih, aku juga berterima kasih. Makasih sudah mau bertahan sampai sejauh ini buat jadi sahabatku sekaligus saudaraku. I love you, Wa." Lanjutnya dengan mata yang sudah berkaca kaca.

Adhwa melepas pelukan. Menatap mata sahabatnya yang sudah berair dan siap untuk tumpah. "Kata katamu bikin aku mewek." Ucap Adhwa dengan suara yang sedikit serak. Karena dia juga sedang menahan untuk tidak menangis.

Myra terkekeh. Keduanya saling memandang dalam diam. Dengan mata mereka yang sudah siap menumpahkan air bening. "Nggak nyangka, akhirnya hari ini terjadi." Kata Myra seraya kembali memeluk Adhwa.

Dalam pelukan kedua, Myra sudah menumpahkan air matanya. Bahkan sampai terdengar sesenggukan sekali. "Bahagia ya, Wa. Jangan pernah ada air mata lagi. Kecuali air mata kebahagiaan." Bisiknya lirih tepat di telinga Adhwa.

Sedangkan Adhwa hanya bisa mengangguk. Dia sudah tidak sanggup berkata kata lagi. Terlalu banyak rasa yang bercampur selama 2 hari ini.

"Dunia serasa milik berdua ya, bund." Sindir seorang pria berjas abu abu dan berkemeja putih, juga bercelana hitam. Yang tak lain adalah Reza.

Mendengar itu, pelukan keduanya terlepas. "Lo syirik banget sih. Bisa nggak, sehari aja nggak ngerusak suasana?!" Ketus Myra. Gadis itu menatap tajam Reza.

"He, yang mau ketemu si pengantin bukan cuma elu." Ucap Reza, sambil menunjuk Myra dengan telunjukknya. "Gue ke sini juga mau ketemu mereka."

Myra semakin kesal saat pria itu menunjuk dirinya. "Gue sama elu, jauh lebih dulu gue yang kenal Adhwa."

"Nggak ada hubungannya cabe!" Geram Reza.

"Gue bukan cabe!" Ucap Myra tak terima.

"Guys! Stop ya. Ini acara gue nggak mau ada kerusuhan." Sela Ali. "Jadi, kalau kalian masih mau lanjut debat, mending jauh jauh dari tempat acara gue." Lanjutnya.

Sementara kedua orang itu langsung terdiam. Namun mata keduanya masih saling bertukar tatap tajam.

"Mereka emang begitu, mas." Tutur Galih. Laki laki itu mengenakan jas hitam juga kemeja putih, serta celana yang berwarna hitam. "Sehari nggak rusuh, serasa nggak ada sisi romantisnya."

"Najis." Hardik Myra.

"Myra. Tolong ada Nadia di sini." Tegur Ali sesaat setelah melirik gadis kecilnya yang asyik dengan ice cream.

"Maaf, mas. Kelepasan." Ucap Myra yang diakhiri cengiran.

"Assalamulaikum." Salam sepasang suami istri yang menghampiri mereka.

"Waalaikumsalam." Jawab mereka serentak.

Adhwa menoleh ke kanan. Kemudian tersenyum lebar dan menyambut Safiya dengan pelukan.

"Kamu cantik banget, Wa." Puji Safiya sambil melepas pelukan. Dia mengamati Adhwa dari atas kepala sampai ujung kaki.

Dress brokat abu-abu, serta kerudung yang menutup dada dengan warna senada. Juga make up yang pas untuk wajah Adhwa menambah kecantikanya terpancar.

Adhwa tersenyum manis. "Makasih, mbak."

"Kalian bertiga dateng barengan?" Tanya Arya seraya mengusap kepala Nadia yang dalam gendongan Ali.

"Iya. Lebih tepatnya ditawarin sama Bang Ree." Jawab Galih.

"Mumpung gue baik hati." Kata Reza.

"Oh ya. Ibu minta maaf karena nggak bisa datang. Ibu bener-bener sedih nggak bisa datang." Ujar Arya sambil menatap Adhwa.

Adhwa mengangguk paham. "Iya. Nggak pa pa. Yang penting bude sembuh dulu. Sehat dulu. Itu jauh lebih penting."

Adhwa sedikit sedih karena Bude Ambar tidak bisa datang. Karena tiba-tiba tadi sore gula darahnya naik. Membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Padahal sebelumnya keadaan Bude Ambar baik-baik saja.

Kemudian, Ali mengajak mereka semua menemui keluarganya. Reza, Galih, Myra berjalan terlebih dahulu. Disusul Arya serta istrinya. Dan terakhir, Ali yang menggendong Nadia berjalan beriringan bersama Adhwa. Entah disengaja atau tidak tangannya yang bebas melingkar ke pinggang Adhwa.

Sementara Adhwa sedikit terkejut, tapi setelahnya kembali rileks saat mendapat senyuman lembut dari sang suami.

Dan yang tidak mereka sadari adalah, sejak Ali dan Adhwa ada di tempat itu, seseorang berjas hitam berkemeja putih serta bercelana hitam juga, berdiri tegak mengamati setiap pergerakan mereka.

Posisinya yang berada cukup jauh membuat mereka tak mengetahui keberadaannya. Matanya yang tak lepas dari interaksi mereka di awal sampai akhir.

Bibirnya sedikit terangkat saat melihat 'Cahaya' nya menciptakan lengkungan indah. Senyuman yang selama ini dia rindukan. Meski dia hanya bisa melihatnya dari jauh, setidaknya mengobati sedikit rasa rindu itu.

Tapi itu tidak bertahan lama, saat melihat dengan sangat jelas ketika 'Cahaya' nya bersama orang lain dan bukan dirinya.

Matanya memerah dan rahangnya juga mengeras. Ditambah kepalan tangan yang kuat sampai kukunya memutih. Ketika melihat orang itu menyentuh 'Cahaya' nya.

Nafasnya memburu, dadanya terasa sesak saat menerima kenyataan bahwa bukan dirinyalah yang berada di posisi itu. Karena seharusnya dia yang bersanding dengan 'Cahaya' nya.

Tapi takdir membuatnya harus menerima bahwa 'Cahaya' bukan miliknya.

Seseorang menepuk pundaknya membuyarkan fokusnya. "I told you. If you're not ready, it's better not to come."

"Aku hanya ingin memastikan. Bahwa dia bahagia." Tatapannya mengarah pada keluarga Arini.

"Terserah. Lebih baik sekarang kita pulang. Tempat kita bukan di sini." Kata orang itu sambil berlalu meninggalkannya yang masih tak bergerak.

"I am sure, one day you will come back with me." Matanya masih mengarah pada satu orang. Rani Adhwa Salsabila.