webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · History
Not enough ratings
17 Chs

Bagian 4 | Serba Baru

Selamat membaca! 😊

_________________________

Butuh waktu 1 jam lebih untuk sampai di rumah keluarga Ali. Dan ketika sampai di sana, ada 2 mobil di depan rumah.

Setelah mobil terparkir di halaman, keduanya keluar dari mobil dan mengeluarkan barang-barang Adhwa dari bagasi.

"Yuk, masuk."

Keduanya berjalan dengan Ali membawa 2 tas berisi pakaian sementara Adhwa membawa drona boxnya.

Dari tampak depan, rumahnya lebih besar dari rumah bude. Tapi juga tidak semewah rumah disekitarnya.

Pasangan itu menapaki anak tangga. "Assalamualaikum." Salam keduanya saat memasuki rumah dengan pintu yang cukup tinggi berbahan kayu. Dan kebetulan juga sudah terbuka sebelah.

"Waalaikumsalam." Jawab serentak dari dalam rumah.

Semua orang beralih menatap pintu masuk. Dan keduanya menjadi pusat perhatian.

"Masya Allah...manis banget mantunya." Seru seorang wanita yang terlihat lebih tua dari mamanya Ali. Berjalan menuruni anak tangga untuk menghampiri keduanya.

"Kamu punya saudara nggak?" Katanya sambil mengusap lembut kepala Adhwa yang tertutup jilbab. "Bude mau 1 dong buat Rafka." Lanjutnya.

"Astaghfirullah! Bu, malu bu!" Seru seorang pria terlihat seumuran dengan Ali.

"Ya makanya, cari istri! Ibu tuh kesel sama kamu! Tiap kali ke pasar, ibu selalu ketemu tetangga sama mantunya. Ibu juga pengen kayak gitu! Tapi kamunya yang nggak ngerti-ngerti!" Cecar wanita itu.

"Ya kan kita nggak tahu jodoh datangnya kapan." Jawab sang anak setelah mendapatkan tawa dari yang lain.

Termasuk Ali yang di samping Adhwa. Sementara Adhwa hanya tersenyum lucu.

Merekapun masuk. Sementara wanita tadi masih saja berdebat dengan sang anak.

Saat sudah menaiki anak tangga, Adhwa melihat sekeliling. Di sisi kirinya ada dapur dan juga ruang makan. Sedangkan sisi kanannya ada ruang tamu. Sebelahnya ada ruangan dengan pintu tertutup.

Lalu di depannya ada pintu yang sama seperti pintu utama serta dinding kaca di sisi kanan dan kiri. Memperlihatkan halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang hijau. Kemudian bagian atapnya juga dari kaca, membuat cahaya masuk dan terlihat terang.

Dan setelah itu terdapat kolam ikan yang panjangnya kurang lebih 3 meter. Lalu lebarnya sekitar 50 cm. Letaknya berdempetan dengan ruangan selanjutnya. Yang terdapat beberapa sofa dan meja. Sepertinya itu dibuat untuk bersantai. Atau berkumpulkan keluarga. Untuk pintu masuknya sendiri dari kaca.

Kemudian berlanjut di sisi kanan dan kirinya terdapat kamar. Kali ini dindingnya tidak terbuat dari kaca.

Dan yang terakhir paling ujung bagian tengah terdapat tangga menuju lantai atas.

Oh ya, ada yang terlewat. Di sisi kiri halaman itu terdapat gazebo mini. Dan di kanannya itu seperti sebuah mushola.

"Seenggaknya kamu usaha." Perdebatan antara anak dan ibu itu masih belum berhenti.

"Ini juga lagi usaha kok." Kilah pria itu sambil berjalan ke ruang tamu dengan membawa piring kecil berisi kue.

"Usaha apa?"

"Yaa, usaha. Usaha do'a."

"Itu juga ibu udah tahu." Geram ibunya. "Sak karepmu Raf. Ibu wis pegel ngandani." Wanita itu berlalu ke dapur, bergabung dengan Arini dan juga wanita muda berjilbab cream.

"Ibu, bukan Rafka nggak usaha. Tapi memang belum ada yang buat dia mantap untuk ke jenjang yang serius." Kata seorang pria yang menengahi keduanya. Beliau duduk di sebelah kiri, depan Rafka.

"Bapak emang selalu belain Rafka." Sahut sang istri.

Sedang Rafka tersenyum senang mendapat pembelaan dari sang bapak.

"Nggak belain, ibuu. Bapak cuma mau ibu juga ngerti."

"Ngerti apa? Ngerti kalau Rafka nggak laku?" Cibirnya.

Rafka membulatkan mata mendengar ucapan ibunya. "Ya Allah bu! Tega banget sama anak sendiri."

"La kalau kamu emang laku, pasti udah ada yang dibawa ke rumah."

Terdengar hembusan nafas lelah dari balik sofa. Sepertinya Rafka memang tidak akan menang dari ibunya yang paling pengertian itu.

"Udah mbak. Toh juga nanti bakalan ketemu jodohnya. Yang penting sekarang, Rafkanya memperbaiki diri dulu sebelum jadi imam." Sahut Arini yang ada di sebelahnya.

"Iya bude, bener kata tante Arini." Tambah wanita muda tadi. "Rafka masih harus memperbaiki diri." Lanjutnya dengan menekankan dua kata terakhir.

"Kok kalau Mbak Sabrina yang ngomong nggak enak ya. Apalagi di dua kata terakhir." Seru Rafka.

"Apa sih Raf? Suudzon." Kilah wanita muda itu yang bernama Sabrina.

"Gue nggak suudzon. Gue hanya mengutarakan pendapat dan dugaan. Elu kan selalu seneng ngatain gue." Balas Rafka.

Sangking asyiknya sahut menyahut, sampai membuat mereka lupa akan kedatangan sepasang suami istri yang masih berdiri di tempat, menyaksikan perdiskusian keluarganya.

"Udah, udah. Kasihan tuh, pengantin baru di kacangin." Ujar bapaknya Rafka. Sambil menyesap teh buatan istrinya.

"Astaghfirullah! Sampai lupa." Arini yang di dapur, langsung berjalan menghampiri anak dan menantunya. "Maaf ya nak, suka lupa kalau udah asyik ngobrol sama mereka."

Adhwa tersenyum maklum. "Nggak pa pa ma."

"Yaudah, langsung ke atas aja. Istirahat dulu." Ujar Arini mengusap pelan lengan menantunya.

"Ali istirahat juga kan, ma."

"Iyaa. Terus juga Adhwanya jangan diapa-apain. Nanti malem masih ada resepsi."

Pria itu menautkan kedua alisnya. "Emang Ali mau ngapain?" Tanya Ali berpura-pura tidak mengerti, dengan sesekali melirik Adhwa. Dan benar saja, gadis itu menunduk malu.

"Nggak perlu mama jelasin juga kamu ngerti. Nggak usah pura-pura nggak tahu." Cecar mamanya.

Bukannya menyudahi, Ali malah semakin gencar menggoda. "Lah, Ali emang nggak tahu." Dia menoleh ke kiri. Mendapati gadis itu masih menunduk. "Emang aku mau apain kamu, sayang?"

"Enggak tahu." Adhwa menggeleng dengan menatap Ali hanya sedetik. Karena dia tidak akan sanggup menatap pria itu lebih dari sedetik. Apalagi saat mendengar panggilan 'Sayang'. Jantungnya benar-benar seperti ingin melompat keluar.

"Haduuh! Pake panggil sayang, mak gue tambah panas entar." Omel Rafka. Yang mengundang tawa semua orang.

"Apa kata ibu! Nikah! Pokoknya ibu nggak mau tahu!" Pekik sang ibu dari arah dapur, menambah tawa mereka semakin riuh.

Sedangkan sang anak menutup kedua telinganya mendengar ultimatum sang ibu.

Suasana terasa hangat karena tingkah anak dan ibu itu. Sementara sang bapak hanya geleng-geleng kepala sembari membaca sesuatu di ponselnya.

***

Setelah berbagai drama terjadi, pasangan suami istri itu sekarang berada di dalam kamar.

Saat sudah memasuki kamar, kesan yang Adhwa tangkap adalah, nyaman. Kamar yang dia tempati sekarang benuansa putih dan abu-abu.

Ketika tadi pintu terbuka, dia disuguhkan sebuah foto manis yang berukuran sedang. Di dalamnya terdapat gambar seorang ibu yang duduk di kursi dengan anak laki-laki dan perempuan di kanan kirinya sedang mencium kedua pipinya.

Foto itu terpajang jelas di dinding sebrangnya, terletak di atas gorden.

"Itu foto mas waktu umur berapa?" Tanya Adhwa sembari memasukkan dan menata pakaiannya ke dalam lemari. Dia duduk lesehan di lantai bersama Ali yang duduk agak jauh darinya. Pria itu sedang menata barang-barangnya di rak sebelah nakas TV.

"Eemm, umur 16 tahun kalau nggak salah."

"Berarti Lena, umur 7 tahun?" Ali menangguk.

"Lucu banget ya, dia di foto itu."

"Kalau aku?" Tanya pria itu berniat menggoda. Tapi kali ini Adhwa biasa saja, karena dia sudah antisipasi.

"Kamu biasa aja sih. Masih lucuan Lena." Jawab Adhwa dengan jujur. Kemudian wajah Ali mendadak manyun, membuat gadis itu terkekeh.

"Mbak Adhwa!" Seru seseorang dari pintu. Dia berlari menghampiri Adhwa. "Kangen.." Seseorang itu memeluknya. Adhwa pun tersenyum dan membalas pelukannya.

"Eh, soang. Masuk itu ngucapin salam." Sebuah buku mendarat di lengan orang itu.

"Apaan sih! Main pukul aja." Pekiknya. Meski sebenarnya itu tidak begitu sakit. Lalu dia melepas pelukan dan menatap tajam pria itu.

"Mas udah bilang berulang kali ya, kalau mau masuk ruangan apapun ucapin salam dulu. Paling nggak ketuk pintu." Tegur pria itu.

"Lupa." Balasnya singkat.

"Bukan lupa, tapi pikun. Masih muda udah pikun." Cibir Ali sambil meneruskan pekerjaannya.

"Biarin. Dari pada situ, nggak laku. Sekaum sama Mas Rafka."

Pria itu langsung menoleh cepat. "Kamu lupa ya, siapa yang barusan kamu peluk." Dia berhenti sejenak. "Dia istri sah dari Muhammad Ali Arifansyah. Jadi kalimat itu nggak berlaku." Lanjutnya dengan mimik wajah yang angkuh.

"Dih! Sombong! Mas nikah juga karena mama ya. Coba aja mama nggak minta, pasti mas masih jomblo akut." Cercanya.

"Bodo. Yang penting udah nggak jomblo." Balas pria itu seraya menyelesaikan pekerjaannya. "Kamu kayaknya, yang lebih cocok dipanggil kaum jomblo."

"Enggak ya! Aku tuh single. Bukan jomblo." Balasnya tak terima.

"Bedanya apa?"

"Beda! Jomblo itu nggak laku. Single itu pilihan."

"Sama aja!"

"Beda!"

"Sama! Sama-sama ngenes!"

"Ih! Ngeselin! Udah aku bilang beda juga." Baru dia ingin melempar gantungan baju ke Ali, ada yang menghentikannya.

"Lena jangan." Peringat Adhwa.

Dia cemberut. Apalagi saat ini Ali meledeknya dengan menjulurkan lidah.

"Tapi Mas Ali ngeselin mbak..." Rengek seseorang itu yang bernama Lena, adik kesayangan Ali.

"Iya, tahu. Tapi jangan gantungan baju, sayang. Sakit ini." Ucapnya sambil mengambil alih gantungan itu. Kemudian beranjak ke tempat tidur dan mengambil sebuah bantal.

Tindakannya membuat kedua kakak adik itu mengerutkan kening.

"Nih. Pakai ini aja." Adhwa menyerahkan bantal itu ke Lena setelah kembali ke tempat semula.

Lena pun tersenyum lebar. Dia langsung mengambilnya dan mendekati kakaknya itu. Memberikan serangan bertubi-tubi pada pria itu.

Sementara Adhwa tertawa renyah melihat aksi adik iparnya itu. Ditambah lagi pekikan sang suami yang mengaduh dan minta ampun.

Lain hal dengan Ali, selaku suaminya. Pria itu memang terus mengaduh. Tapi jauh dari lubuk hatinya. Dia bahagia. Sangat bahagia.

Bahagia karena mampu membuat gadisnya tertawa. Hanya itu yang ingin menjadi tujuannya. Tawa itulah yang akan menjadi tujuannya sekarang. Meski nanti dia harus terluka karena itu.