Seminggu setelah pemakaman...
Sinar surya perlahan mulai tenggelam sementara cahaya rembulan masih malu-malu menampakkan diri mereka. Senja menghilang, tergantikan oleh malam. Dedaunan berjatuhan dari pohonnya karena tiupan angin yang menerpa mereka.
Aku menutup novel yang baru selesai kubaca. Novel yang menceritakan pasangan suami-istri saat berada di titik kejenuhan satu sama lain. Aku sendiri merasa jenuh. Tapi bukan jenuh terhadap Kevin. Aku jenuh seminggu ini hanya berdiam diri di dalam rumah.
Seminggu sudah sejak pembicaraan di pesawat itu, sikap Kevin sedikit berubah. Terkadang Kevin bersikap lembut dan terkadang juga ia bersikap tidak peduli. Ia kecewa padaku karena aku tidak mempercayainya.
Aku melirik jam yang melingkari tangan kananku. Sudah waktunya makan malam tapi Kevin tidak kunjung datang dan ia tidak memberi kabar seperti biasa. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah dan makan malam bersama anakku.
Aku membiarkan Elle menyajikan makan malam. Elle adalah asisten rumah tangga baruku, ia sudah bekerja seminggu yang lalu. Kevin yang memperkerjakannya. Aku hanya bisa menuruti kemauan Kevin karena aku tidak ingin memperkeruh suasana di antara kami.
"Mommy, daddy kenapa belum pulang juga? Harry rindu daddy," ujarnya sedih.
"Bicara setelah makan," gumamku padanya.
Harry pun kembali memakan makanannya. Harry terlihat sangat tidak berselera untuk makan. Mungkin itu karena ia merindukan daddynya yang akhir-akhir ini sering pulang malam dan jarang mengobrol dengan Harry. Sama halnya dengan diriku, aku juga merindukannya.
Usai makan, aku membantu Harry mengerjakan PR-nya. Setelah itu aku membawanya ke kamarnya, menceritakan sebuah dongeng penghantar tidur.
"Mommy, kunci saja pintu rumahnya. Jangan biarkan daddy masuk. Harry sebal sama daddy," katanya, memajukan bibirnya.
Aku terkekeh sambil mengelus keningnya. "Daddy sedang bekerja untuk kita Harry sayang. Besok kan hari minggu, kita bisa main sepuasnya dengan daddy."
"Benarkah? Kalau begitu Harry ingin bermain sepeda bersama daddy," ucapnya antusias.
"Tentu sayang. Sekarang Harry tidur ya? Mimpi indah." kukecup keningnya dengan lembut.
Harry menyeringai memarkan gigi-giginya. Aku tersenyum lembut padanya, lalu setelah memastikan Harry benar-benar tertidur, aku melangkah pelan keluar dari kamarnya dan perlahan menutup pintunya.
Aku menaikkan dadaku, menarik napas lalu menghembuskannya panjang. Kali ini aku merasa waktu berputar terlalu lambat. Aku kembali melirik jam tanganku. Jam 11 malam, Kevin tak kunjung pulang juga. Aku pun berinisiatif untuk meneleponnya. Namun sayangnya, ponsel Kevin tidak aktif.
Perasaan ini menyiksaku. Hubungan dingin selama satu minggu ini terkadang menimbulkan sesak di dada. Aku teringat ucapan Kevin saat di pesawat perjalanan pulang. Ia mengatakan bahwa jiwanya sedang tidak bersamaku. Itukah sebabnya aku sulit menggapainya? Atau karena pengaruh koran dan foto itu yang membuatku menjauh dari Kevin? Jika permasalahan dalam hubungan kami adalah sebuah kepercayaan maka aku akan mempercayainya. Tapi apakah aku salah jika aku tidak mempercayainya karena ketidak tahuanku?
Aku menghidupkan lampu dapur, bermaksud ingin membuat minuman susu madu hangat. Kutemukan Kevin sedang bersandar di dinding samping lemari es, ia sedang meneguk minuman kaleng. Sejak kapan ia berada di sini? Tanyaku setengah terkejut tapi aku senang ia sudah pulang.
Tadinya aku ingin bertanya pada Kevin, tapi melihatnya memandangiku dengan pandangan amarah, aku memilih diam dan mengabaikannya. Lebih baik diam daripada harus mendengar ucapannya yang mungkin akan membuatku perih atau aku bisa saja melontarkan ucapan yang membuatnya menatapku dengan tatapan terluka. Aku tidak mau itu jika pada akhirnya kami saling menyakiti.
Aku membuka lemari es tanpa menghiraukannya. Mengambil madu dan apel merah. Kumiringkan kepalaku padanya, aku hendak membuka mulut untuk menawarkan apakah ia mau sesuatu yang akan kumakan atau tidak, tapi ia dengan sengaja memalingkan wajahnya dariku. Lagi, aku memilih untuk diam dan enyah dari dapur ini.
"Abraham Duncan. Dia ayah kandungku."
Langkahku langsung terhenti saat itu. Aku tidak pernah menyinggung soal Abraham pada Kevin. Selama ini aku bersikap pura-pura tidak pernah tahu siapa itu Abraham Duncan dan apa hubungannya dengan Kevin. Tapi sepertinya Kevin mulai mengerti penyebab kebisuan di antara kami atau ini hanyalah sebuah kebetulan saja.
"Foto yang kausimpan di tasmu, adalah fotoku, Abraham, dan Andrea ibuku. Sedangkan yang satunya lagi adalah foto kakakku. Satu ayah tapi berbeda ibu. Dan artikel yang kaubaca di kamar ibumu adalah sebuah kebenaran. Dia ayah kandungku pembunuh sadis tidak berperasaan," ujarnya dengan nada yang tidak berirama.
Aku cukup terkejut karena ia tahu aku menyimpan foto itu. Aku membalikkan tubuhku, tidak melangkah, tetap berada di posisi yang sama tanpa mendekat padanya. Kevin masih memalingkan wajahnya.
"Abraham memiliki tiga anak lelaki. Dua anak dari hubungan Abraham-Andrea dan satunya dengan wanita lain. Kakak kandungku tewas di bunuh oleh Abraham. Dulu aku dan Andrea sering dipukulinya. Bahkan ia pernah menyiram air panas ke wajah Andrea. Bajingan itu juga hampir menjualku. Prilakunya kejam bukan?" Kevin menatapku. Ia bergerak maju sampai di depanku hanya beberapa inci. Kevin mendorongku sampai puggungku menabrak tembok. Kedua tangannya berada di sisi kanan-kiri kepalaku.
Bibirku seakan menjadi es, sulit untuk digerakan dengan bebas.
"Aku adalah anaknya. Keturunannya. Tidak menutup kemungkinan aku sama dengannya Luna," desisnya tajam, sorot matanya memancarkan kemarahannya.
Aku menggeleng. "Tidak. Kau memang anak Abraham tapi bukan berarti anaknya juga pembunuh."
Kevin tersenyum ironi. Ia menatap manik mataku hingga aku merasakan matanya menusukku. Aku merasakan aura gelapnya dulu. Aura kemarahan yang melukai fisikku.
Kevin tergelak serak. "Sayangnya kenyataannya memang seperti itu. Aku seorang pembunuh. Korbannya tidak terhitung."
Hatiku remuk seketika. Aku menggeleng, mengelak kenyataan yang Kevin ucapkan. Tidak. Kevin bukan seorang pembunuh. Aku mengenalnya luar dalam. Kuakui dulu ia memang brengsek tapi tidak setelah kehadiran anak kami. Kevin selalu melimpahkan kasih sayangnya pada keluarganya. Dulu aku menganggapnya iblis tapi semua itu sudah pudar seiring waktu dan sikapnya, ia lebih seperti malaikat pelindung yang selalu mengepakan sayapnya untuk keluarganya.
Beberapa kali aku menggelengkan kepalaku. Aku menahan gumpalan tangisan yang sudah berada di tenggorokanku. "Tidak Kevin. Kau berbeda. Kau lebih mirip Andrea," kataku, menahan tangisku.
BUGG
Suara dentuman keras membuat tubuhku bergemetar hebat. Tangan Kevin meninju tembok sisi kanan dekat kepalaku.
"Benarkah? Tapi aku pernah memukulimu. Aku tidak ada bedanya dengan si bajingan itu kan?" desisnya. Matanya berkilat marah.
Aku menggeleng dan mengangguk karena dikuasi rasa takut. Saat ini Kevin benar-benar mengerikan.
Kevin tersenyum miris. Tangannya yang tadi meninju tembok kini membelai lenganku. Awalnya belaian itu lembut namun setelah itu belaiannya berubah menjadi cengkraman yang kuat di lenganku.
"Kau sempat mengira bahwa aku yang membunuh keluargamu," geramnya. Cengkramannya semakin kuat hingga aku meringis kesakitan.
"Tidak Kevin. Kau salah paham," isakku. Pada akhirnya aku tidak bisa menahan gumpalan air mata.
"Salah paham?" Kevin tergelak ironis.
Kevin lebih mengencangkan cengkramannya. Sorot matanya sama saat ia melimpahkan kemarahannya dulu padaku. Tidak, tidak lagi. Aku tidak ingin Kevin kembali seperti dulu. Hatiku terluka jika ia menyakiti dirinya dengan mengasariku.
"Kevin, ini bukan dirimu. Kendalikan dirimu," rintihku kesakitan.
"Ini aku Luna. Kevin Sanders suamimu," desisnya tajam semakin kuat mencengkram pergelangan tanganku.
"Kevin," lirihku. Buliran air mata mulai berjatuhan dari pelupuk mataku.
Kevin tersenyum iblis. Ia menekan tubuhku dengan tubuhnya. Cengkramannya pada tanganku seolah akan meremukan tulang tanganku. Hawa panas tercipta di antara kami. Tubuhku bergemetar ketakutan. Hatiku menggeleng penuh, aku harus menyadarkan dirinya bahwa ia berbeda dengan ayahnya. Aku tidak tahu bahwa ayahnya akan sangat berefek seperti ini pada Kevin.
Tangan kananku yang bebas menarik tangan Kevin untuk menyentuh perutku. "Ini anakmu, anak kita. Kau sangat mencintainya, kau mencintai Harry dan aku. Begitu pun sebaliknya, kami sangat mencintaimu."
Kevin membeku.
"Tidak kah kau rasakan ini?" bisikku pelan. Menekan tangannya pada perutku. Si kecil sedari tadi menendang-nendang keras di dalam. "Dia sangat mencintaimu. Setiap kau ada di dekatku, dia selalu menendang-nendang."
Kevin langsung mengendurkan cengkramannya. Sorot matanya yang tajam perlahan mulai menghilang dan tergantikan oleh penyesalan.
Aku menangkup wajahnya penuh sayang. "Kau tidak mungkin melukaiku. Kau bukan seorang pembunuh. Buang masa lalumu. Kita sudah punya masa depan yang indah Kevin," ujarku pelan. Aku memperhatikan bibirnya yang bergemetaran. "Jika pun dulu kau pernah membunuh seseorang, aku tidak peduli yang terpenting sekarang kau berjanji padaku kau akan berubah."
Kevin memejamkan matanya sesaat. Saat ia membuka matanya, aku melihat matanya berlinang. Betapa sakitnya hatiku memandangi matanya yang penuh luka. Aku sudah banyak melukainya. Kini aku melukainya lagi karena masa lalu keluarganya yang kusimpan di pikiranku. Jika kata cinta dapat mengobati dan melupakan lukanya, maka setiap saat aku tidak akan berhenti mengucapkan kata cinta padanya.
"Maafkan aku," kata maaf terlontar dari mulut kami pada waktu bersamaan.
"Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diriku bila mengenai ayah kandungku," sesal Kevin. Ia menyingkirkan tanganku dari wajahnya dengan lembut.
Entah luka sedalam apa lagi yang Kevin rasakan karena ayahnya. Aku tidak peduli dengan masa lalu Kevin. Aku peduli dengan masa sekarang dan masa depannya. Tidak seharusnya aku membesarkan perihal Abraham Duncan di dalam pikiranku. Itu hanya akan menambah luka Kevin yang sudah terkubur.
Tanganku kembali meraih wajahnya. "Seharusnya sejak awal aku mengerti mengapa kau tidak memberitahuku. Aku bodoh karena termakan ucapan Jane. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menambah lukamu."
Kevin tidak merespon apa pun. Tangannya mengelus punggung tanganku di pipinya.
Jelaskan, luka macam apalagi yang menusuk hati di antara kami berdua? Kami saling mencintai tapi luka itu selalu hadir di antara kami. Jika aku boleh meminta, aku ingin rasa sakit itu tidak pernah tercipta. Tapi sayangnya permintaanku itu sangatlah mustahil.
"Aku hampir melakukan kesalahan yang sama padamu." Kevin bergerak mundur selangkah. Ia menundukkan wajahnya, memandangi perutku.
"Tapi itu tidak jadi terjadi." Aku memandanginya dengan perasaan remuk.
"Tapi aku bisa saja melukaimu sewaktu-waktu disaat aku tidak bisa mengendalikan diriku seperti tadi," lirihnya. Ia tidak berani menatapku.
Bahkan aku sudah tidak peduli dengan itu. Aku akan berdiri di sampingnya bukan meninggalkannya. Aku sudah lelah jika harus berpisah dengannya lagi. Tidak bisakah hidup membuat hubungan kami baik-baik saja seperti sebelumnya? Aku lebih suka melihat Kevin yang tersenyum dengan tatapan lembut dibandingkan melihatnya seperti sekarang ini.
"Tapi kau tidak mungkin melukai darah dagingmu kan?" Aku bergerak maju. Melingkarkan tanganku di tengkuknya. Jariku kuselipkan di antara rambutnya. Kudorong wajahnya mendekat padaku.
Dia diam. Seakan larut dalam pikirannya. Aku tahu Kevin tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti dulu. Dia tidak mungkin melukaiku secara fisik karena aku tahu isi hatinya.
"Lupakan semua itu Kev," ujarku pelan. Aku menjijitkan kakiku untuk meraih bibirnya. Kucium bibirnya yang penuh warna itu dengan irama pelan. Rasa di bibirnya selalu menggiurkanku. Aku terlalu merindukan priaku. Seminggu bagaikan sebulan tidak seperti ini padanya. Lidahku menelusup masuk ke dalam rongganya, bertemu lidah miliknya dan lidah kami saling bermain dengan tempo berantakan. Kevin mendorongku hingga aku kembali diapit oleh tembok dan dirinya. Dorongannya cukup kasar sampai aku merasakan remuk di punggungku.
Aku mengerang saat aku semakin memperdalam ciumanku dengannya. Tangan Kevin yang tadinya mencengkram lenganku bergerak pindah ke payudaraku, menekan dan meremas sebelah payudaraku yang dibaluti oleh kaos kebesaranku. Tidak sampai di situ, Kevin dengan tamak melahap bibir ranumku. Gairahnya begitu menggebu-gebu bercampur dengan rasa frustrasinya. Aku merasakan cumbuannya tidak selembut sebelumnya, ia melakukannya cukup kasar dan memaksa. Sebisa mungkin kutahan rasa sakitku saat ia menggigit leherku dan meremas kedua payudaraku dengan sangat kuat. Aku tidak ingin ia berpikir sedang melukaiku, aku mengerti bahwa ia butuh pelampiasannya malam ini. Jadi kubiarkan ia melakukan sepuasnya dengan tubuhku.
******
Seperti biasa, aku terbangun dengan seseorang yang sudah tidak asing lagi bagiku. Dia masih terlelap dengan tidur tengkurap. Dadanya beralaskan bantal dan kepalanya memiring ke sisiku serta pinggangnya dibaluti oleh selimut sementara punggungnya masih telanjang.
Kevin terlihat begitu damai dalam tidurnya. Aku mengingat kejadian semalam, ia melakukannya tanpa sadar cukup kasar. Tanpa aku melihat tubuh telanjangku, aku sudah tahu banyak lebam disekujur tubuhku. Lebam yang kudapat bukan karena dipukulinya tapi karena ia melakukannya dengan kasar dan sangat menggebu. Oh Ya Tuhan, aku berharap Harry tidak bertanya apa yang terjadi padaku.
Aku melepaskan selimut dari tubuhku, mengambil bajuku dan bajunya yang berserakan lalu kulempar ke tempat pakaian kotor. Ya ampun, kamar kami sangat berantakan seperti kapal pecah. Meja, sofa, dan hiasan lainnya sangat kacau bagaikan habis terkena gempa.
Aku merasakan nyeri yang amat dalam di seluruh tubuhku terutama di bagian sensitifku. Ya kami semalam melakukannya lebih dari satu. Tiga atau lima ronda, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Yang jelas aku baru melihat Kevin seperti itu semalam. Kemarahan, kekecewaan, tersakiti, kekhawatiran, semua itu kurasakan pada diri Kevin saat kami menyatu.
Busa yang sudah penuh di tanganku, kuusapkan pada badanku perlahan. Biasanya jika aku sedang mandi, aku akan memakai spons mandi tapi kali ini aku lebih memilih memakai tangan kosongku. Spons mandi jika kuusapkan pada tubuhku akan menimbulkan nyeri karena gesekannya yang kasar. Memakai tangan saja sudah membuatku meringis.
Saat aku sudah menyabuni seluruh badanku, aku memutar kran shower. Air pun turun dari shower itu, menghapus busa-busa di tubuhku. Telapak tanganku dengan hati-hati membelai tubuhku, membersihkan sisa-sisa sabun. Benar-benar lebamnya sangat membuatku ngilu ketika air membasahinya. Aku dengan cepat-cepat membasuh diriku, lalu kuambil handuk dan kulilitkan handukku untuk menutupi tubuh telanjangku.
Kevin masih terlelap dengan damai. Posisi tidurnya masih sama seperti saat aku bangun di sampingnya. Hanya saja selimut itu sudah tidak menutupi tubuh telanjangnya. Kutarik selimutnya sampai menutupi punggungnya. Aku tidak tahan jika harus melihatnya tidak memakai apa pun. Tubuh indahnya selalu mampu membuatku terangsang walaupun hanya sekedar memandangnya saja.
"Aku sangat mencintaimu, itu artinya aku juga sangat mempercayaimu," gumamku pelan. Tanganku hendak membelai punggungnya tapi kuurangkan niat itu. Kevin termasuk peka dalam sentuhan saat ia sedang tidur, aku tidak ingin membangunkannya.
Bunyi ponsel Kevin membuatku terkesiap dari lamunanku yang sedang memandanginya tertidur. Cepat-cepat kuambil ponselnya yang terletak di sofa sebrang ranjang. Nama ID pemanggil yang tertera di ponsel gold Kevin adalah Linny. Ketika aku hendak menggeser ke kanan layar ponselnya untuk menerima panggilannya, ponsel Kevin berhenti berdering. Aku hanya menggidikan bahu, kembali meletakan ponsel Kevin dengan acuh. Mungkin orang yang bernama Linny tadi adalah rekan kerja Kevin. Tapi untuk apa hari minggu rekan kerjanya menelepon?
Baru aku selangkah pergi dari sofa itu, ponsel Kevin bergetar. Refleks aku membalikkan badan dan mengambil ponselnya. Ada pesan masuk dari Linny, tanpa aku membuka pesan masuk itu, isi pesannya sudah terpampang di layar ponsel Kevin.
06.00 Linny
9 malam. Temui aku di hotel biasa.
Sebagai wanita normal yang melihat sms seperti ini, wajar jika aku sedikit menaruh curiga. Hotel biasa? Bukankah itu tandanya Kevin dan Linny sering bertemu di hotel biasa itu yang mereka maksud? Mengapa saat aku mempercayai Kevin, ada saja hal yang membuatku curiga? Siapa wanita bernama Linny ini?
"Apa yang kaulakukan dengan ponselku?"
Suara berat itu sontak membuatku terkejut dan menjatuhkan ponselnya tanpa kusengaja. Hatiku seakan mengerucut. Dengan waswas aku membalikkan tubuhku. Kevin dengan jarak yang begitu dekat sudah berdiri di depanku saat aku membalikkan tubuhku. Ia menatapku mengintimidasi. Ia terlihat tidak suka aku menyentuh ponselnya.
"Apa yang kaulakukan dengan ponselku?" ulangnya lagi dengan rahanh yang mulai mengeras.