webnovel

Teka-teki Tentangnya

Bibirku bergerak tanpa bersuara. Suaranya sungguh membuatku takut. Saat aku yakin bahwa diriku berani untuk angkat bicara, aku balas menatapnya tapi hanya beberapa detik, lalu aku menunduk karena tidak berani. "Ta-tadi...tadi itu...," aku terbata-bata, berasa sulit untuk melengkapi kalimatku. "a-ada yang meneleponmu. Aku berniat mengangkatnya karena tidak ingin membangunkanmu."

Tidak ada jawaban. Aku bisa merasakan Kevin terus menatapku. Aku tidak tahu ekspresi apa yang sedang ada di wajahnya. Seperkian detik kemudian, jari telunjuknya mengangkat daguku lembut.

"Jangan seperti ini. Aku tidak bermaksud membuatmu takut," ucapnya. Tangan satunya membelai pipiku lembut.

Dalam hati aku bernapas lega. Syukurlah. Kukira ia akan marah, karena aku merasa kegelapan Kevin yang dulu tapi dalam sekejap itu sudah hilang saat bibir seksinya menyunggingkan senyuman indah. Aku harap setiap hari aku bisa melihat senyumnya ini. Aku rindu melihatnya tersenyum.

Aku menganggukan kepalaku dan balas tersenyum padanya. "Ayo makan?" ajakku canggung seperti baru pertama kali meghadapinya.

Kevin mengernyit. Ia bergerak mundur selangkah, dua langkah, tiga langkah ia baru berhenti. Ia memandangiku terkejut dari ujung kaki sampai kepala. Apa aku terlihat seperti monster yang baru bangun dari tidur? Maksudku aku sudah mandi dan berdandan, kenapa dia menatapku seperti menatap orang gila?

"Buka kaosmu. Aku ingin melihatmu," pintanya namun dengan nada tidak memaksa.

Aku ikut mengerutkan keningku. Untuk apa? Tanpa banyak bertanya, aku pun menuruti keinginannya. Kuangkat kaosku ke atas sampai tubuhku benar-benar terbebas dari kaos berwarna ungu yang berlengan satu perempat.

Mata Kevin melebar. Gertakan giginya dapat kudengar samar-samar. "Mengapa kau tidak menyuruhku berhenti semalam? Kau terluka," bentaknya.

"Aku menikmatinya," kataku, tidak menghiraukan nadanya yang meninggi.

"Kau berbohong," desisnya tajam.

Aku kembali memakai kaosku lalu baru angkat bicara lagi. "Tidak. Aku terlalu menikmatinya sampai aku tidak sadar dengan semua tanda ini," kataku berbohong, padahal jelas aku merasakan sakit saat Kevin melakukan itu padaku.

Kevin mendesah berat. Ia membungkuk mengambil ponselnya yang tidak sengaja kujatuhkan. Matanya fokus menatap layar ponselnya, kemudian jarinya dengan lihai dan cepat bermain di layar ponselnya itu. Firasatku mengatakan Kevin sedang membalas pesan dari wanita bernama Linny itu.

"Ayo makan," ia tersenyum padaku. Ponselnya ia lempar pada sofa.

Aku memakan dengan tidak selera. SMS itu membuat mood-ku jadi tidak enak. Hatiku terus bertanya-tanya apakah ada rekan kerja malam-malam di hari libur minta bertemu di hotel? Ditambah lagi hotel biasa yang disebutnya itu. Aku mencoba menghubung-hubungkan saat Kevin yang jarang pulang ke rumah atau Kevin selalu pulang larut malam. Apakah...? Refleks aku menggeleng.

"Kau merasa tidak enak badan?" Kevin menyeret kursinya tepat di sebelahku. Ia memeriksa keningku panas atau tidak.

Aku menggeleng sambil tersenyum simpul. Ingin sekali kubertanya siapa Linny itu tapi kuurungkan niatku mengingat kejadian semalam.

"SMS itu dari rekanku. Kami melakukan pekerjaan rahasia. Tidak bisa bertemu di kantor atau tempat umum," terangnya.

Aku tidak tahu jika Kevin tahu apa yang sedang mengusik pikiranku saat ini. Omong-omong, pekerjaan rahasia macam apa yang bertemu di hotel?

"Aku tidak mengerti," kataku. Sungguh aku ingin sekali menangis saat ini. Otakku seakan lelah berpikir ditambah lagi rasa sakit di tubuhku masih melekat. Rasanya aku ingin tidur saja dan berharap saat terbangun aku melihat hamparan bunga indah sehingga aku bisa melupakan semua masalah yang ada.

"Dia semacam mata-mataku atau kaki tanganku. Aku menyuruhnya memantau beberapa orang," terangnya lagi dengan santai.

Dahiku semakin berkerut seperti nenek-nenek. Sekarang Kevin tambah membuatku bingung. Kevin memiliki perusahaan dan setahuku perusahaannya itu dalam bidang jual beli saham dan semacamnya. Apa hubungannya dengan mata-mata, memantau, pekerjaan rahasia? Seperti di film-film saja.

"Bukan selingkuhanmu?" tanyaku spontan. Oh sial, tidak lagi Luna. Ucapanmu itu tanpa sengaja bisa menyakiti suamimu.

Kevin menggeleng-geleng. Dia kembali menyeret kursinya pada posisi semula. Bibirnya tersenyum sendiri. "Cemburu eh?" kini ia mulai menggoda.

Hatiku yang membeku seperti es seakan mencair mengetahui ia sedang menggoda dengan senyum sensualnya. Aku menunduk malu menatap makananku yang masih tersisa setengah porsi lagi. Saat kupastikan mukaku tidak memerah, aku mengangkat wajahku. "Aku hanya tidak rela kau mempunyai wanita lain."

"Sayangnya sebentar lagi kau harus rela. Akan ada wanita lain yang akan hidup di antara kita. Aku sangat mencintainya," ujarnya dengan mimik serius.

Baru saja aku merasakan dibawa terbang olehnya dan dalam dua atau tiga detik kemudian aku seperti terjatuh dari langit. Aku tidak salah dengar kan? Wajahku berubah menjadi pucat dan dingin. Apa maksudnya?

"Luna kau harus bercermin, wajahmu seperti mayat," tuturnya dengan ekspresi datar.

Aku tidak menghiraukan itu.

"A-apa maksudmu dengan wanita lain?" tanyaku bergemetaran. Air mata sudah siap mengalir untuk mendengar pengakuannya.

Kevin terkekeh sementara aku semakin bingung dan kesal dengan kekehannya itu. "Yang ada di perutmu itu," dagunya menunjuk ke arah perutku. "Dia perempuan kan? Beberapa bulan lagi dia akan hadir di hidup kita dan tentu saja aku sebagai seorang ayah mencintai putrinya." Seriangaian manis menghiasi bibirnya.

Saat itu juga rasanya aku ingin mengarunginya dan membuangnya ke jalanan. Dia benar-benar hampir membuatku kena serangan jantung atau tidak mati berdiri.

"Haha, lucu sekali Kevin. Lucu!" sentakku.

"Aku hanya berusaha membuatmu tertawa atau tersenyum. Semenjak dari pemakaman itu aku tidak pernah melihat senyummu atau pun tawamu," ujarnya lembut. "Lagi pula, aku sudah pernah mengatakan padamu bahwa aku tidak mungkin mengkhianatimu," lanjutnya.

Bukannya aku yang tidak pernah melihat senyummu semenjak pemakaman itu?

"Aku percaya padamu," kataku pada akhirnya.

"Aku harap tidak hanya di bibir saja tapi di hatimu."

Aku tersentak. Dia memang bersikap lembut, tapi dari ucapannya barusan itu menyadarkanku bahwa ia masih marah karena aku sempat tidak mempercayainya dan dia juga mengira bahwa aku sempat menuduhnya membunuh keluargaku. Padahal aku hanya... Ah yasudahlah tidak perlu membahasnya. Aku lelah membahas masalah lalu dan aku tidak ingin melihat Kevin marah seperti semalam.

"Daddy, lagu di iPad-nya terhapus."

Aku dan Kevin menoleh pada Harry bersamaan. Hah, pantas saja Harry tidak mengganggu obrolan kami berdua, ternyata Harry sedang sibuk mendengar lagu di iPad barunya yang baru Kevin belikan.

"Nanti daddy download-kan lagi, jangan sedih."

Harry mengangguk. Ia meletakan iPadnya di samping piringnya. Aku melotot pada Harry. Kukira ia sudah menghabiskan makanannya ternyata Harry tidak menyentuh sedikit pun makanannya.

"Harry, mommy tidak mengizinkan Harry main iPad di meja makan. Harry mengerti?" gertakku.

Harry cepat-cepat menghabiskan makanannya seolah tahu aku marah karena ia tidak menyentuh makanannya.

Selesai makan, kami memilih bersantai di ruang TV. TV menyala tapi kami tidak fokus pada acara TV itu.

Tangan mungil yang sedari tadi menyentuh perutku, enggan untuk menjauh. Kulihat bibir merah miliknya tersenyum lebar. Ia tampak senang sekali seolah mendapatkan mainan baru. Puas tangannya bermain, kini telinganya ia tempelkan pada perutku. Kuperhatikan wajahnya, dahinya berkerut kebingungan lalu beberapa detik kemudian senyuman kembali menghiasi bibirnya.

Aku tersenyum lembut memandangi pemandangan yang ada di depanku. Pemandangan malaikat kecilku yang begitu menggemaskan. Sedari tadi ia tidak berhenti menghiburku untuk terus tersenyum.

"Mommy, adiknya bicara pada Harry," katanya. Ia sedikit menekankan perutku dengan telinganya.

"Oh ya? Apa yang adik bicarakan pada Harry?"

Harry menjauhkan telinganya dari perutku. Sepertinya ia sudah sangat puas bermain dengan adiknya. Matanya kini terlihat sayu.

"Blubub blubub," jawabnya dengan memajukan bibir mungilnya, "itu katanya mommy."

"Daddy juga ingin dengar." Kevin yang berada di sampingku langsung menempelkan perutnya pada telingaku. Aku memperhatikan wajahnya dengan seksama. Beberapa kali Kevin menyunggingkan senyumnya pada diri sendiri.

"Daddy, jangan lama-lama. Nanti adiknya kepanasan gara-gara daddy," keluh Harry. Harry mendorong jidat Kevin agar menjauh dariku. Sedangkan aku hanya menikmati aksi mereka.

Kevin menyingkirkan tangan Harry dari jidatnya, tidak menghiraukan Harry. Ia terus menempelkan telinganya pada perutku. Kevin terlihat sangat serius.

"Daddy!" kali ini Harry tidak mendorong jidat Kevin, melainkan menarik rambut Kevin dengan kedua tangan mungilnya.

Aku langsung memisahkan tangan Harry dari rambut Kevin. "Tidak boleh Harry sayang," tegurku sambil menggelengkan kepala.

Harry hanya bisa pasrah, kemudian ia memeluk tanganku. Aku tahu Harry cemburu karena daddynya lebih memperhatikan perutku dibandingkan dirinya.

"Mommy, tangan mommy kenapa berwarna biru merah?" Harry mengangkat tangan kananku, memperhatikan setiap lebam yang ada.

Kevin seketika langsung mengangkat wajahnya dari perutku, ikut memperhatikan lukaku. Aku diam sejenak, mencari jawaban yang masuk akal.

"Tidak apa Harry. Ini efek ibu hamil," jawabku berbohong. Aku melirik Kevin, ia terlihat tegang dan juga merasa bersalah.

Mulut Harry hanya membulat. Ia melesat pergi entah ke mana. Aku bertanya, ia malah mengabaikan.

"Aku tidak tahu hal buruk seperti apa lagi jika semalam aku-"

"Sudahlah Kev. Kumohon jangan bahas itu. Nyatanya kau bisa mengendalikan dirimu karena ini," selaku cepat, tangannya kutarik tuk membelai perutku.

"Maafkan daddy, princess." Sebuah kecupan mendarat di perutku. Rupanya Kevin memiliki julukan baru kepada calon anak perempuannya.

******

"Jadi bagaimana perkembangannya?"

"..."

Aku berdiri memperhatikan Kevin yang sedari tadi mundar-mandir berbicara di telepon di balkon belakang rumah. Aku sudah berada di sini sekitar 5 menit tapi sepertinya Kevin tidak menyadari keberadaanku.

"Berapa orang?" Kevin termenung sesaat. "Jadi tidak ada yang selamat?"

Apa yang sedang Kevin bicarakan di telepon? Kenapa ia terlihat begitu serius?

"Kalau begitu bawa jasad mereka ke keluarganya masing-masing. Aku akan memberi tunjangan. Urus semuanya."

Mulutku terbuka lebar di balik tanganku yang sedang membungkamnya. Siapa yang meninggal?

"Jangan sampai polisi terlibat dalam masalah kita. Kau mengerti?" Kevin membalikkan tubuhnya. Ia tergelonjak mendapatiku berdiri di pintu sedang memperhatikannya. "Nanti kutelepon kembali." Kevin menaruh ponselnya di saku celananya.

"Sejak kapan kau di sini?" tanya Kevin tidak suka.

Aku pura-pura tidak tahu dan menggidikan bahuku. "Kurasa beberapa detik yang lalu," dustaku.

Kini semuanya semakin jelas. Ada banyak hal yang Kevin sembunyikan dariku terhitung sejak kedatangan Jane. Kevin selalu sibuk di kantor dan juga sibuk dengan ponselnya, berbeda sebelum kehadiran Jane di mana Kevin banyak meluangkan waktunya untuk Harry dan aku. Aku tidak menuduh bahwa ini ada hubungannya dengan Jane atau tidak, aku hanya memberitahu sejak kapan saja.

"Aku harus pergi ke kantor. Ada yang harus kuselesaikan hari ini juga," ucapnya serius.

Di hari minggu seperti ini? Sepertinya di hari minggu ini Kevin akan lebih banyak meluangkan waktunya di luar di bandingkan di rumah bersama keluarganya.

Kevin menarik pinggulku dan melingkarinya. Sementara tanganku bertumpu pada bahunya. "Aku akan pulang malam. Jangan menungguku dan kau harus banyak istirahat, jangan melakukan banyak aktifitas."

Lihat? Pulang malam atau larut malam lagi. Tangan kananku bermain di dada bidangnya. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kau terlihat tidak tenang."

"Tidak ada sesuatu hal yang terlalu buruk, hanya saja ada yang harus kuurus. Aku tidak suka menumpuk pekerjaan."

Aku tahu dia sedang berbohong. Tiba-tiba aku merasakan sakit di kepalaku seperti ditusuk-tusuk kecil. Kevin benar, jika aku terlalu banyak beban pikiran itu bisa mempengaruhi diriku sendiri terutama janinku. Aku merasakannya saat ini. Andai aku bisa menyingkirkan masalah yang ada dari pikiranku, tapi sayangnya tidak bisa.

"Baiklah."

"Kanya akan kemari. Dia bilang dia merindukanmu." Kevin membungkukan tubuhnya untuk mengecup perutku lalu berpindah ke pipiku. "Jangan lupa minum obatmu."

Setidaknya kehadiran Kanya akan mengalihkan sedikit pikiranku agar pikiranku ini tidak terlalu tegang. Aku memijat pelipisku saat Kevin berjalan memunggungiku. Ya Tuhan, rasanya aku ingin merendam otakku di air dingin jika bisa. Kepalaku benar-benar... Ah sulit tuk kudeskripsikan.

Tidak lama Kevin pergi, Kanya datang membawa setumpuk plastik berisi makanan dan juga tidak lupa ia datang bersama kekasihnya Austin.

Kanya langsung menjatuhkan belanjaannya dan memelukku sangat erat. Ia terlalu bersemangat sampai-sampai aku kesulitan untuk bernapas. "Ya Tuhan. Aku benci Kevin! Dia membuat kita sulit tuk bersenang-senang," pekiknya. Kanya memegang kedua lenganku seraya melepas pelukannya. Ia memandangiku dari atas sampai bawah. Untung saja aku sudah mengganti pakaianku yang menutupi seluruh badanku dari leher sampai betisku, kalau tidak, Kanya pasti bertanya tentang lebam itu.

Sudut mataku melirik Austin, ekspresinya berbanding terbalik dengan Kanya. Austin terlihat kesal saat ia membereskan belanjaan Kanya yang berserakan di lantai berkayu.

"Untuk apa kalian membawa makanan sebanyak itu ke rumahku?" aku mengernyit.

Austin menegakkan tubuhnya. Kedua tangannya memegang belanjaan begitu banyak. "Kenapa kau tidak mempersilakan kami masuk? Aku lelah menjadi jongos pacarku hari ini," keluhnya sambil menunjukkkan semua belanjaannya.

Karena antusias Kanya saat pertama kali kubukakan pintu, aku sampai lupa menyuruh mereka masuk. Aku pun langsung menyuruh mereka masuk dan duduk di living room.

"Aku membawakan semua makanan ini untuk sahabatku yang sedang mengandung," seriangan lebar muncul dari bibir Kanya.

"Ck, kurasa itu semua tidak perlu karena persedian makananku sudah banyak di dapur tapi terima kasih. Aku hargai itu," kataku. Membiarkan mereka duduk terlebih dahulu.

"Sudah kubilang, suaminya orang kaya yang mampu membeli makanan," gerutu Austin.

Kanya menoleh pada Austin begitu mendengar gerutuan Austin. "Sekali lagi kau bicara aku ingin kita putus!"

Harry tiba-tiba saja datang dan tau-tau dia mengumpat di belakangku saat melihat tamu yang tidak dia kenal. Tangan kecilnya menarik-narik kaosku. "Mommy, mommy, mereka siapa?" tanya Harry malu-malu.

Tidak biasanya Harry malu-malu seperti ini saat ada orang yang tidak ia kenal datang ke rumah. Biasanya Harry akan memberi banyak pertanyaan aneh, tapi kali ini dia sangat berbeda. Ada apa dengannya?

Aku menoleh sedikit ke belakang. "Teman mommy, ayo beri salam pada teman mommy," tuturku lembut. Aku menghalau Harry tuk berada di depanku, bukan sembunyi di belakangku.

Harry memperkuat kakinya agar tidak terseret dengan doronganku. Ia enggan untuk menampakkan wajahnya.

"Luna, itu Harry yang kau ceritakan ya?" Kanya beringsut dari duduknya dan menghampiriku-ralat menghampir Harry. Harry sekita memelukku dan menenggelamkan wajahnya di pinggangku. "Aaaaa anakmu tampan sekali."

Kanya berusaha menarik Harry dariku tapi Harry tidak mau bergerak sama sekali. "Sini Harry tampan, tante tidak galak kok," bujuk Kanya lembut.

Perlahan, Harry melepaskan pelukanku dan menatap Kanya dengan malu-malu. Wajahnya merona merah. Ini pertama kalinya aku melihat Harry salah tingkah seperti ini.

Austin yang dari tadi diam saja ikut beranjak dan menghampiri Harry. Ia mengangkat tubuh Harry. "Harry takut dengan nenek lampir ya? Paman juga,"

Kanya langsung menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Ia memandangi Austin dengan geram. "Bagus. Setelah ini julukan apalagi yang ingin kauberi padaku?"

Aku mengabaikan mereka yang mulai bertengkar, lebih memilih duduk dan mengambil minuman kotak belanjaan milik Kanya.

Harry menggeleng, ia tersenyum malu-malu. "Harry malu bertemu dengan wanita cantik, Paman," ceplos Harry, pipinya sudah seperti kepiting rebus.

Aku yang sedang menyeruput jus instan sontak menyemburkan jusnya yang belum kutelan ke tonggorokanku, sementara Kanya dan Austin tertawa, sedangkan Harry wajahnya semakin memerah karena malu sekaligus salah tingkah.

Darimana Harry belajar ini semua?! Pekikku dalam hati.

Kanya mencubit pipi Harry dengan gemas sambil tertawa riang. "Tante jadi gemes sama Harry. Jadi pacar tante mau ya?"

Aku yang mendengar itu langsung melempar bantal sofa ke arah Kanya. "Jangan mempengaruhi putraku yang masih polos!" sambarku.

Kanya tidak menghiraukanku. Ia masih sibuk dengan kelucuan Harry.

Harry memandangi Kanya dengan mimik serius. "Tapi walaupun tante cantik, Harry tidak mau punya pacar tua seperti tante. Harry mau punya pacar yang lebih mudah seperti daddy dan mommy," ujarnya dengan wajah malaikat lugu dan polos serta tanpa rasa bersalah.

Kami semua tertawa keras mendengarnya sedangkan Harry merasa kebingungan dengan apa yang kami tertawakan. Serius, kalian harus melihat ekspresi anakku. Dia kelewat polos dan lugu.

Kanya menoleh padaku. "Anakmu persis seperti suamimu. Kalau bicara menyakitkan," katanya, terkekeh.

Aku hanya bisa membalas dengan tawa kecil. Bukan persis lagi tapi lebih dari itu. Hanya saja yang kuherankan adalah setiap Harry dan Kevin bersama, mereka lebih sering meluangkan waktu untuk bertengkar.

Harry mengajak Austin bermain ular tangga. Aku dan Kanya sibuk melepas rindu kami yang sudah cukup lama tidak bertemu. Kami berbincang-bincang tentang pekerjaan, hubungan, dan lain-lain.

"Jadi sampai saat ini Austin belum melamarmu?" tanyaku pelan agar Austin yang sibuk bermain dengan Harry tidak mendengarnya.

Kanya menggeleng. "Belum. Padahal aku sudah seperti orang gila memintanya untuk melemarku," keluhnya.

"Bukan seperti, tapi kau memang sudah gila," komentarku.

"Bagaimana hubunganmu dengan Kevin sejauh ini?" kini Kanya yang bertanya tentang hubunganku dengan Kevin.

Kanya sedang tiduran tengkurap di sofa sambil memakan makanan ringan dan membuang sampahnya sembarang di rumahku.

"Akhir-akhir ini aku merasa hubunganku dengannya renggang. Banyak masalah di antara kami."

"Contohnya?" Kanya mengambil bantal sofa dan menaruhya di dadanya sebagai tumpuannya.

Aku menggidikan bahu. "Dia sering pulang larut malam terkadang juga tidak pulang. Dia bilang banyak pekerjaan. Entahlah, aku merasa dia berbeda. Aku juga merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Kautahu, tadi aku mendengarnya bicara di telepon tentang orang yang meninggal, tunjangan, dan polisi yang tidak boleh terlibat." Akhirnya aku bisa mencurahkan isi hatiku pada seseorang. Setidaknya beban hatiku sedikit berkurang walaupun dengan menceritakannya tidak menyelesaikan masalah.

Kanya segera duduk. Ia menatapku serius dan mulai mengabaikan makanan ringannya. "Tadi Austin bercerita padaku kalau beberapa orang yang bekerja pada Kevin tewas di bunuh," ujarnya sangat pelan.

Aku membelalak. Apa semua ini ada hubungannya dengan kejadian kejar-kejaran mobil itu? Apa ada seseorang yang menginginkan nyawa Kevin? Memikirkan itu semua wajahku menjadi pucat pasi. Aku tidak bisa membayangkan jika ada seseorang yang benar-benar menginginkan nyawa Kevin. Meski pun semalam ia kasar tapi tetap saja aku tidak ingin kehilangannya.

"Kautahu siapa yang membunuh mereka?"

Kanya mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu. "Aku sudah bertanya pada Austin tapi ia tidak mau memberitahuku."

Berarti Austin mengetahuinya, gumamku.

Dengan semua yang terjadi aku mengerti mengapa Kevin memperketat keamanan di rumah dan melarangku untuk pergi keluar sendirian. Apa semua ini juga ada hubungannya dengan kematian keluargaku? Tapi bukankah Kevin sudah menjelaskannya?

"Tapi kau tidak perlu khawatir. Kudengar, Austin, ayahku, dan beberapa orang terdekat Kevin sedang sibuk mengurus semua kekacauan yang kutidak mengerti," lanjut Kanya berusaha menghilangkan kepanikanku yang sangat terpampang jelas di wajahku.

Sepertinya masalah ini serius sampai-sampai banyak orang yang menangani kekacauannya itu. Haruskah aku bertanya pada Kevin apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menyeruput jusku, berharap dengan meminumnya bisa mendinginkan kepalaku. Aku sudah tidak mengerti lagi. Semua ini sudah rumit bagiku. Kepalaku kembali seperti ditusuk-tusuk.