Aku melangkah ke kamar mendiang ibuku, mengobati rasa rindu. Ketika kumemasuki kamarnya, aroma Lily khasnya menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aku tersenyum tipis, merasakan seolah-olah ibuku masih di sini.
Jariku tidak hentinya menelusuri meja hias ibuku. Tidak ada debu sedikit pun yang menempel. Kupandangi meja hias itu. Letaknya pun tidak ada yang berubah, gumamku. Mataku menelusuri ke tepi meja hias, terdapat beberapa koran berbahasa inggris. Tidak biasanya ibuku membaca koran yang bukan bahasanya. Karena penasaran, aku pun mengambil beberapa koran itu. Aku duduk di ranjang ibuku, memulai membaca salah satu dari koran itu. Pada halaman pertama, terpampang dengan jelas gambar pria asing paruh baya.
‘Abraham Duncan Pembunuh Paling Sadis di Dunia’
Aku membaca ulang judul berita utama dari koran tersebut. Nama Abraham Duncan seperti baru kudengar. Aku mencoba mengingat di mana aku mendengar nama itu. Dan saat aku menyadari akan hal itu, mulutku hanya terbuka tidak percaya. Di pemakaman kemarin Jane mengatakan bahwa Abraham Duncan adalah ayah Kevin. Aku tidak mengerti, bukankah ayahnya adalah James? Aku pun melanjutkan membacanya.
‘Abraham Duncan asli orang Amerika Serikat. Tidak ada yang menyangka wajah tampan yang ia miliki hanyalah topeng belaka. Dibalik ketampanannya, tercatat dia telah membunuh 77 anak remaja dan 10 orang dewasa. Pembunuhan yang dilakukannya sangatlah tidak manusiawi. Mereka dipukuli hingga mati, tubuhnya dipotong-potong lalu dijadikan koleksi di rumahnya kadang sebelum dipotong, beberapa mayat korban diperkosa terlebih dulu.’
‘Polisi selama bertahun-tahun mencari keberadaan Abraham Duncan, namun sepertinya Abraham Duncan sangat pandai menyembunyikan dirinya.’
‘Entah ini sebuah kabar gembira atau buruk. Abraham Tewas (25 Desember) di bunuh oleh anaknya sendiri yang masih belum diketahui siapa nama anak tersebut. Diketahui Abraham memiliki tiga anak lelaki namun tidak ada satu pun yang mengetahui siapa ketiga anak Abraham. Misteri tentang keluarganya sampai saat ini sangat sulit untuk diungkap.’
Mataku membulat dengan sempurna. Jantungku berdegup dengan kencang dan mulutku terus saja terbuka lebar. Aku melirik tahun koran ini saat diterbitkan. Koran yang kugenggam ini diterbitkan sekitar 15 tahun yang lalu. Aku membaca koran yang lain. Berita utamanya masih tentang Abraham Duncan.
‘Keluarga Pembunuh Sadis Masih Menjadi Misteri’
‘Tidak ada yang pernah menyangka pria tampan ini adalah salah satu pembunuh sadis. Semua orang terutama warga Amerika Serikat sangat penasaran dengan siapa keluarga Abraham Duncan sebenarnya.’
‘Diketahui Abraham memiliki istri dan tiga anak lelaki. Namun sampai saat ini keberadaan istri dan anaknya bagaikan misteri yang sulit untuk di pecahkan.’
‘Sebagian warga Amerika Serikat meminta petugas kepolisian untuk mencari tahu keluarganya karena mereka khawatir istri dan anak-anaknya tidak jauh berbeda dengan mendiang ayahnya.’
Mataku tidak berkedip sedikit pun. Aku menatap semua koran yang ada di tanganku dengan tatapan kosong. Terlalu banyak pertanyaan di benakku, membuat kepalaku seperti benang kusut. Kenapa ibuku menyimpan berita koran tentang Abraham Duncan? Apa benar Abraham adalah ayah Kevin? Lalu James? Aku memijat pelipisku yang terasa sangat sakit sekali.
Ucapan Jane tentang pembunuh dingin menghantui pikiranku. Apakah mungkin? Aku langsung menggeleng. Tidak. Aku tidak boleh meragukan Kevin lagi. Lantas kenapa ibuku menyimpan berita tentang Abraham Duncan yang sudah lama sekali?
Aku mengelus perutku. Tiba-tiba saja perutku seperti dililit habis, tak memberikanku ruang untuk bernapas. Kutarik napasku dalam-dalam lalu kuhembuskan secara pelan untuk mengurangi rasa sakit. Aku tahu ini adalah efek dari diriku yang terlalu banyak berpikir.
Nak, yang kuat ya di dalam, gumamku sambil mengelus perutku.
Suara decitan pintu menandakan ada yang membuka, membuat telingaku sensitif.
"Luna? Ayo. Kita harus pulang," ajak KevIn sambil menggenggam ponselnya. Kevin menempelkan ponselnya pada telinganya, "Tidak...aku akan segera ke situ...tahan saja dulu...kirim lewat e-mail dalam setengah jam. Aku akan mengeceknya dalam perjalanan pulang...akan kuhubungi nanti," Kevin pun menutup teleponnya.
"Ada apa Luna?" tanya Kevin cemas.
Aku langsung melangkah menuju pintu, mendorong tubuh Kevin keluar agar tidak masuk ke dalam kamar.
"Aku ingin pulangnya nanti sore saja. Aku ingin pergi ke makam keluargaku dulu," ucapku.
"Untuk apa kau ke sana lagi?"
"Mumpung aku masih di sini. Kautahu, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa-"
"Ini semua sudah menjadi takdir," potong Kevin. "Jika kau mau mengunjungi makam keluargamu lagi, maka lakukanlah. Aku mengizinkannya."
Aku menatap ke bawah, tidak berani menatapnya. "Tapi aku ingin pergi sendirian tanpamu dan tanpa para pengawalmu."
Seakan Kevin mengerti keinginanku, Kevin mengiyakannya. Kukira ia akan menolak keinginanku mentah-mentah. "Hanya di gerbang pemakaman."
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Setidaknya dari gerbang ke pemakaman keluargaku cukup jauh. Aku hanya butuh waktu sendirian untuk jiarah ke makam keluargaku.
Aku pun pergi ke tempat pemakaman. Kevin dan para pengawalnya menunggu di gerbang. Sesampainya, seperti kebanyakan orang yang jiarah, aku menaburkan bunga di setiap makam keluargaku.
"Aku tidak tahu apa alasan kalian dulu memisahkanku dari Kevin. Apa ini ada hubungannya dengan koran yang disimpan di kamar mama? Mengapa kalian pergi dengan meninggalkan banyak pertanyaan di benakku?" gumamku pada makam yang ada di hadapanku.
Aku membalikkan tumitku. Betapa terkejutnya aku saat membalikkan tubuhku melihat sosok Pak Tua tepat di depanku. Ia menatapku begitu mengerikan sampai bulu-bulu halus di tubuhku merinding.
"Neng Luna ya?" tanyanya dengan logat sunda yang kental.
Aku mengangguk ragu. Mau apa bapak ini? Tanyaku dalam hati.
"Duh neng. Muka bapak memang seram tapi bapak tidak ada niat jahat sama neng. Bapak cuma mau ngasih amplop ini. Tadi ada yang nitip ke bapak. Katanya untuk eneng" ujarnya, lalu ia memberikan amplop berwarna putih kepadaku.
Aku mengernyit dan menerima amplop yang tidak kuketahui apa isinya. "Who gives this?" tanyaku penasaran.
"Hah? Apa neng? Usdis? Aduh si eneng. Bapak mah gak ngerti bahasa inggris."
Aku menepuk jidatku. "Maaf pak. Maksud saya siapa yang ngasih amplop ini?" tanyaku menggunakan bahasa Indonesia.
"Oh itu. Mentang-mentang neng Luna tinggal di inggris jadi pake bahasa Inggris ya neng. Mau dong bapak tinggal di inggris. Bosen jaga makam lihat kuntilanak dan pocong terus. Kalau di inggris hantunya apa ya neng? Kuntilanak juga?" cerocosnya.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sembari menahan tawaku. Bapak ini seperti hiburan tersendiri di saat-saat seperti ini. Sepertinya aku mengenal bapak ini.
"Nah gitu dong neng senyum. Jangan sedih mulu."
"Bapak kok bisa kenal saya?"
"Yah eneng. Bapak kan dulu tukang kebun di rumah neng Luna. Mentang-mentang muka bapak nambah jelek gara-gara diinjek kuda jadinya gak ada yang inget muka Pak Udin,"
"Oh Pak Udin. Iya nih Pak. Muka bapak kegantengan sih jadi saya tidak mengenali," kataku tertawa kecil.
"Ah neng dari dulu ngehinanya kebagusan," sindirnya. Pak Udin ikut tertawa.
Aku mengulum senyumku. "Omong-omong siapa yang memberi ini Pak?"
Pak Udin menggidikan bahunya. "Gak tahu neng. Tadi ada cewek setengah bule gitu kayak eneng," jawabnya. "Yaudah neng. Bapak pergi dulu ya. Neng jaga diri."
Pak Udin pun pergi.
Penasaran dengan isi amplopnya, aku pun membukanya. Terdapat sebuah foto lama. Aku memperhatikan foto itu. Sebuah foto keluarga suami istri dan seorang anak lelaki. Aku mengambil perhatian lebih pada foto suami istri itu. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa mereka adalah Abraham Duncan yang kubaca di koran tadi dan Andrea ibu Kevin serta anak lelaki di dalam foto itu adalah Kevin.
Tiba-tiba ponsel di dalam tas kecilku berbunyi. Aku segera mengambil ponselku. Jane? Untuk apa dia menghubungiku?
"Apa maksudmu mengirim foto ini padaku?" sergahku saat menerima teleponnya.
"Aku hanya ingin menunjukan bahwa keturunan Abraham Duncan adalah pembunuh."
Aku melihat kesekelilingku. Aku yakin Jane ada di sekitar sini namun tidak siapa pun yang kutemukan.
Aku tahu Jane mempunyai niat buruk terhadap hubunganku dengan Kevin. Aku tidak boleh dengan mudahnya percaya pada Jane.
"Jika ayahnya adalah pembunuh sadis, bukan berarti anaknya juga pembunuh. Kevin sudah menceritakan semuanya. Kaupikir aku akan meninggalkannya karena ia anak seorang pembunuh? Tidak. Lebih baik kau berhenti mengurusi hidupku, Jane. Joe pasti tidak senang melihat tingkah anaknya seperti ini," kataku. Aku menggigit bibir bawahku menahan emosi yang hampir menyeruak.
"Sepertinya kau tidak tahu badai apa yang akan menerjangmu karenanya. Tidak apa. Yang penting aku sudah memperingatimu, sepupuku satu-satunya."
Aku langsung mematikan ponselku dengan kesal. Aku rasa Jane benar-benar sudah gila. Oh betapa aku berharap dulu dia memang benar-benar tewas karena akan lebih baik untuknya.
Aku tidak peduli jika Abraham si pembunuh sadis itu adalah ayah kandung Kevin. Kevin bukan seorang pembunuh. Wajar saja Kevin menyembunyikan siapa ayah kandungnya dariku karena jika aku menjadi Kevin, aku tentu akan melakukan hal yang sama. Tidak ada yang ingin memiliki ayah seorang pembunuh. Aku tidak ingin membuat keadaan semakin rumit hanya karena masalah macam ini. Cukup sudah.
******
Semua gedung pencakar langit bagaikan pulpen yang sedang berdiri tegap. Para awan terbelah saat pesawat pribadi milik Kevin terbang melintas dengan kecepatan tinggi.
Aku tidak tahu waktu berlalu sangat cepat atau terlalu lambat. Semenjak kedatanganku ke Seattle banyak kejadian yang tidak kuinginkan. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, aku bagaikan hidup seratus tahun dengan semua masalah yang ada. Akan tetapi, jika aku mengingat hubunganku dengan Kevin, rasanya waktu berlalu terlalu cepat.
"Nyonya, apakah anda ingin sesuatu? Sejak lepas landas, anda belum memakan atau meminum apa pun," ujar sang Pramugari berparas cantik.
Jika aku sedang berpikir normal, aku akan mengomeli Kevin karena Kevin berani memperkerjakan wanita yang sangat cantik. Tapi aku sudah sangat lelah berdebat dengan siapa pun. Aku harus lebih memikirkan kandunganku di bandingkan dengan emosiku.
"Tidak. Aku sedang mual memasukan apa pun ke dalam mulutku," tolakku lembut.
"Mungkin makanan ringan tidak akan membuat anda mual atau anda mau saya bawakan susu madu hangat?" sarannya dengan senyuman manis.
"Tidak. Terima kasih."
Pramugari itu mengangguk dan tersenyum pasrah. Ia kembali berjalan lurus sampai hilang dari pandanganku.
Aku memiringkan kepalaku pada sisi kanan, ingin melihat dunia melalui jendela pesawat. Lautan biru dan gunung terpampang dengan indahnya. Andai cerita kehidupan selalu indah sebagaimana aku memandang keindahan laut biru yang tidak akan sirna. Tapi itu namanya bukan kehidupan jika jalannya selalu indah.
"Kenapa kau tidak ingin memakan sesuatu?"
Suara berat itu hampir mengejutkanku. Kukira saat Pramugari tadi datang kepadaku, Kevin masih tertidur pulas dengan Harry di belakangku.
Saat ini aku duduk di kursi empuk berpenumpang satu. Sedangkan Kevin dan Harry berada di belakangku dengan sepasang kursi empuk mereka.
"Tidak berselera makan saat di pesawat," jawabku.
Hening. Kami seakan larut dalam pikiran kami masing-masing. Aku merogoh tas kecilku mencari amplop putih tadi. Di dalam amplop itu sebenarnya ada dua foto. Foto satunya lagi terdapat gambar seorang anak lelaki tapi itu bukanlah Kevin. Aku heran siapa anak lelaki itu. Apakah anak lelaki yang ada di foto ini ada hubungannya dengan Kevin? Demi apa pun, aku berusaha menyingkirkan pikiranku tentang hal-hal macam ini. Tapi aku tidak bisa. Kedua foto ini seakan terus menghantui isi pikiranku.
"Kevin," panggilku. Tanpa melihat wajahnya. Aku memasukan amplop putih itu ke dalam tasku.
"Kauingin sesuatu?"
"Tidak. Aku ingin bertanya."
"Jangan meminta izin untuk bertanya. Tanyakan saja."
"Apa mencintai dan mempercayai itu suatu hal yang satu?" tanyaku pelan. Aku memandangi pemandangan melalui jendela pesawat. Pemandangan yang masih sama, lautan luas.
Kevin tidak langsung menjawab pertanyaanku. Aku tahu ia heran kenapa aku bertanya seperti itu.
"Mencintai berarti mempercayai. Jika kau mencintai seseorang, kau pasti mempercayainya. Beda halnya dengan mempercayai seseorang, bukan berarti mencintai. Jadi itu tergantung mana komponen yang lebih utama. Jika cinta, maka cinta berarti percaya. Akan tetapi jika percaya yang di depan, maka percaya bukan berarti mencintai."
Otakku menelaah ucapannya. Mengapa ucapan Kevin sulit di cerna oleh otakku?
"Jadi intinya... Jika kau bertanya apakah mencintai berarti mempercayai, maka akan kujawab ya. Tapi jika kau bertanya apakah mempercayai berarti mencintai, maka akan kujawab tidak," lanjutnya, seolah ia tahu aku masih tidak mengerti dengan ucapannya.
Aku menatap kedua telapak tanganku. Entah apa yang sedang kulakukan dengan menatapnya.
"Menurutmu... aku berada di kategori yang mana mengenai itu?" tanyaku setelah jeda yang kubuat cukup lama. Rasanya berat sekali menanyakan hal semacam ini.
"Kau tidak ada di kedua itu," jawabnya datar.
Aku menegang seketika. Jawabannya seperti belati yang membelah hatiku.
"Jadi...kau tidak percaya padaku bahwa aku mencintaimu?" Suaraku seperti bisikan yang hampir tertelan. Aku dapat mendengar helaan napas Kevin di belakangku.
"Aku mencintaimu dan aku percaya bahwa kau mencintaiku. Tapi masalahnya adalah pada dirimu. Kau mencintaiku tapi kau tidak mempercayaiku," sergahnya. "Kautahu Luna? Kita berada di dua jalur yang berbeda. Aku berada di jalur di mana ada cinta dengan adanya kepercayaan. Sedangkan kau. Kau berada di jalur cinta tanpa kepercayaan."
Aku menelan salivaku dalam-dalam. Jantungku berdegup tidak karuan. Aku meremas sellimut yang menutupi pahaku. Tidak hanya mulut Kevin yang bicara saat itu tapi juga lukanya ikut bicara.
Tapi Kevin... Kau tidak membiarkan dirimu memberikan kepercayaanmu padaku.
*****
Kevin memandang kursi yang ada di depannya. Ia tidak tahu apa yang sedang wanitanya pikirkan tentangnya. Pertanyaannya membuat hatinya remuk. Tidak seharusnya Luna bertanya tentang cinta dan kepercayaan. Kevin sudah hampir bisa melupakan rasa sakit hatinya karena Luna tidak mempercayainya tapi dengan Luna bertanya seperti tadi, hatinya kembali terluka.
Luna...setidaknya berpura-puralah mempercayaiku. Itu akan sedikit lebih baik.
"Luna...," panggil Kevin. Sorot matanya tajam menatap kursi yang diduduki Luna meski pun ia tidak bisa memandangi Luna.
"Kevin...," ujar Luna pada waktu bersamaan saat Kevin memanggil namanya.
Kevin memilih untuk tidak bicara. Ia ingin mendengar apa yang akan Luna katakan padanya.
"Kau ada di sini bersamaku tapi kenapa rasanya kau sangat jauh? Kau sulit tuk kugenggam," ujar Luna.
Kevin mengatup bibirnya rapat-rapat. Ia bersyukur sedang tidak bersitatap dengan Luna. Ia tidak sanggup jika harus menatap manik mata Luna.
Kevin mencoba mengerti sikap Luna belakangan ini. Mungkin Luna masih terpuruk karena kehilangan keluarganya. Akan tetapi, ego Kevin sulit tuk disembunyikan.
"Karena jiwaku saat ini sedang tidak ada bersamamu. Hanya ragaku," jawab Kevin lantang. Kevin sadar ucapannya menyakiti Luna. Jiwanya memang benar tidak sedang bersama Luna. Jiwanya berkelana ke tempat lain.