webnovel

Sedikit terkuak

Dini meneteskan susu formula yang baru selesai dibuat ke punggung tangan. Hal itu biasa ia lakukan untuk mengecek suhu, lalu menyerahkannya pada Alika. Bocah kecil bertubuh kurus itu pun segera meminumnya dengan lahap, meski harus dengan bantuan dot.

"Minum yang banyak ya, Sayang. Biar cepat sehat," bisik Dini, seraya mengusap kepala sang putri dengan lembut.

Anak yang menderita berbagai macam gangguan kesehatan dan kelainan tulang belakang itu tidak bereaksi, hanya memandang wajah ibunya dengan sorot mata yang lekat. Alika seperti mengerti kalau kebersamaan mereka tidak akan lama lagi. Dini tidak pernah mau mempercayai vonis dari dokter, meski tak pernah berhenti mengharap keajaiban untuk kesembuhan sang putri.

"Mbak Dini ... maaf," sapa Mbak Pur.

Asisten rumah tangga itu tiba-tiba saja telah berada di belakang Dini, tanpa terdengar kedatangannya dari pintu besi penghubung yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ia berada. Sinar matahari pagi, sangat membantu menghangatkan tubuh Alika.

"Iya, Mbak. Kenapa?" sahut Dini, seraya berdiri dan memutar badan agar tidak membelakangi perempuan itu.

"Anu, Mbak ... disuruh Ibu buat nganterin ini," jawabnya, sembari menyodorkan sebuah tas berlogo sebuah toko busana.

Jika ditolak pun, rasanya sangat tidak sopan untuk dirinya yang hanya seorang tamu bagi keluarga kaya itu. Ia tidak punya pilihan selain harus menerimanya dengan memaksakan senyum di bibirnya yang tanpa pemerah.

"Tolong sampaikan terima kasihku buat Ibu, Mbak. Sebenarnya ... tidak perlu begini. Kami sudah banyak merepotkan selama ini. Maaf," ucap Dini dengan suara yang sedikit bergetar.

"Iya, Mbak. Nanti saya sampaikan," jawab Mbak Pur.

"Makasih banyak ya, Mbak. Maaf karena kami juga sudah merepotkan dan menambah beban pekerjaan Mbak Pur," kata perempuan itu lagi.

Mbak Pur hanya tersenyum, lalu mencoba mendekat dan mengusap kepala Alika meski awalnya ragu-ragu. Dini tidak melarang atau merasa malu saat Mbak Pur seperti orang yang keheranan dengan keadaan tubuh bocah kecil itu yang tidak biasa.

"Mbak Dini ... begitu tabah. Saya kagum sama kesabaran Mbak dan suaminya," gumam Mbak Pur.

Kau tidak tahu saja bagaimana kami melewati hari demi hari seperti di neraka. Selama lima tahun terakhir, yang ada di kehidupan kami hanyalah bara dan air mata.

"Karena dia adalah anak yang istimewa," jawab Dini, sembari tersenyum manis pada putrinya. Ada rasa pahit yang ikut tertelan saat melihat sorot mata bocah itu. Hampa.

"Dini ...! Tolong siapkan bajuku!" Terdengar suara Reno yang berteriak dari dalam rumah.

Dini terlihat sedikit kaget, tapi juga bingung karena Alika tampak sangat nyaman di posisinya yang sedang bermadikan hangatnya matahari pagi.

"Nggak apa-apa, Mbak. Saya saja yang jagain sebentar. Pekerjaan saya juga sudah selesai, kok."

"Beneran nggak apa-apa, Mbak?" tanya Dini, sedikit ragu.

"Nggak apa-apa, Mbak. Nanti sekalian saja Mbak Dini mandi, mumpung ada saya yang jagain di sini," tukas perempuan bertubuh gempal itu.

"Makasih banyak, Mbak."

"Iya. Sana masuk! Nanti suami Mbak malah telat pergi ke kantor."

"Iya. Makasih, Mbak. Maaf merepotkan lagi," jawab Dini.

Awalnya wanita itu terlihat bimbang, tapi tatapan mata Mbak Pur kemudian membuatnya yakin dan segera berbalik, setengah berlari masuk ke dalam rumah.

"Iya, Mas. Bentar ...."

Dini sudah mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan oleh suaminya untuk pergi ke kantor sejak semalam. Hari ini Reno mulai bekerja dengan Bara, meski tidak berada dalam satu kantor.

"Kemungkinan aku akan pulang terlambat. Kau bisa pergi sendiri untuk ketemu Dokter, kan? Naiklah taksi," ucap Reno, masih sibuk mengemasi beberapa dokumen ke dalam tas.

Dini tidak menjawab, hanya memungut handuk basah yang teronggok begitu saja di sudut kasur. Tentu saja ia ingat akan jadwal kontrol sang putri, dan juga dirinya yang tetap diminta datang meski luka gores bekas sayatan di tangannya telah berangsur sembuh.

"Jangan pernah berpikir untuk mengulangi kekonyolanmu itu. Selama Alika masih hidup, kau tidak berhak untuk mati. Paham?" gertaknya, dengan penekanan.

Kali ini Dini menoleh, membalas tatapan mata sang suami yang menghujam tajam penuh kekesalan. Benar. Tidak ada lagi binar cinta di sana. Tidak tersisa. Mungkin.

"Maaf," jawabnya lirih.

"Aku sudah berkali-kali bilang padamu. Kalau mau mati, jangan tinggalkan dia. Karena kau tidak akan tahu apa yang bisa aku lakukan padanya."

Sungguh bukan laki-laki yang pernah ia cintai dulu. Tidak ada lagi sosok suami yang sempat ia bangga-banggakan, yang sekuat raga ia perjuangkan meski pernah mendapatkan rintangan yang tidak ringan.

"Pakaikan dasiku!" pintanya.

Dulu, ia akan dengan senang hati memasangkan simpul pada dasi sang suami dan sering mencuri kesempatan lelaki itu untuk mencumbunya sebelum berangkat kerja. Tetapi entah kenapa, ia bahkan tidak bisa merasakan apa-apa lagi saat sepasang mata Reno menyapu wajahnya yang begitu dekat dengan tatapan yang ... sinis.

"Sampai kapan kau akan bermuka masam seperti itu, hah? Suami mau berangkat kerja bukannya bikin semangat malah membuat mood-ku berantakan. Minggir!" celetuknya, seraya menyingkirkan tangan Dini yang belum selesai memasang kan dasi.

Sempat terhuyung oleh penolakan suaminya, Dini hanya diam membisu dan berlalu meninggalkan lelaki bertubuh tegap itu sendiri. Lagi-lagi ia tidak merasakan apa-apa, seolah telah kebas dengan semua perlakuan kasar itu, beberapa tahun terakhir.

"Menikah denganmu adalah satu-satunya kesalahan yang paling aku sesali. Kau dengar itu?"

Dini dapat mendengarnya dengan jelas meski umpatan itu tidak diteriakkan oleh Reno. Ini pun bukan kali pertama ia melontarkan kalimat yang paling menyakitkan itu dengan sengaja, berpuluh kali bahkan lebih. Hingga wanita itu tidak bisa lagi merasakan sakit atau pun membalas ucapannya.

"Shitt! Menyebalkan!"

Dini tidak perduli. Ia tetap ngeloyor pergi ke halaman belakang dimana anaknya berada. Mbak Pur yang sedang menjaga bocah kecil itu tersenyum kecut saat melihat kedatangannya.

"Saya ... permisi dulu, Mbak Dini," ucap Mbak Pur lirih.

"Iya, Mbak. Makasih, sudah menjaga Alika," jawab Dini. Ia tahu, kemungkinan perempuan itu telah mendengar teriakan suaminya beberapa saat yang lalu.

"Iya. Permisi, Mbak ...."

"Iya," sahut Dini, sedikit membungkuk sebagai tanda terima kasih.

Mbak Pur mundur perlahan, lalu bergegas menuju ke pintu penghubung dengan langkah cepat. Ia merasa sedikit syok dengan apa yang didengarnya dari dalam rumah. Ternyata anggapannya selama ini tidak sepenuhnya benar. Setidaknya ia memiliki alasan untuk mengadukan kejadian itu pada sang nyonya yang telah memintanya untuk mengawasi gerak-gerik pengguna rumah sebelah itu setelah kejadian mengerikan beberapa hari yang lalu.

"Ibu harus tahu hal ini. Akan lebih baik rumah itu kosong seperti dulu, dari pada ditempati sama orang-orang seperti mereka. Ternyata Pak Reno itu bukanlah orang yang baik," gumamnya.

--