webnovel

Feeling

Jemari lentik itu terhenti sejenak, lalu kembali mengupas kulit apel dengan pisau buah berukuran kecil.

"Masa, Mbak?" tanya Sonya, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja dilaporkan oleh sang asisten rumah.

"Berani sumpah saya, Bu!" Mbak Pur reflek mengangkat dua jarinya, "Mbak Dini dibentak-bentak sama suaminya cuma diem aja, Bu. Kasihan ya, Bu. Sepertinya hubungan mereka memang lagi tidak baik. Pantesan kemarin itu Mbak Dini nekad dan mencoba untuk bun--"

"Sssttt!"

Seketika itu juga Mbak Pur terdiam oleh isyarat yang diberikan sang nyonya. Ternyata Bara datang dan langsung menghampiri mereka, lalu duduk tepat di samping istrinya.

"Papa tidak ke kantor?" tanya Sonya.

"Enggak. Hari ini biar Reno yang mewakiliku, sekaligus menguji kesungguhannya dalam meng-handle project pertamanya ini," jawabnya santai, sembari memasukkan irisan apel ke dalam mulutnya.

"Saya permisi ke belakang," pamit Mbak Pur, tidak ingin membuat majikannya curiga dengan gelagatnya yang memang diwanti-wanti oleh Sonya agar tidak boleh kentara oleh Bara.

"Iya, Mbak. Tolong siapkan saja keperluan Riki sekarang, ya. Nanti jam dua dia berangkat soalnya."

"Baik, Bu." Mbak Pur mengangguk, lalu berbalik dan menuju ke lantai atas.

"Mau ke mana dia?" tanya Bara.

"Ada kegiatan di sekolahnya. Kayak camping gitu, Pa. Enak banget kali jalan-jalan ke gunung, ya."

"Berapa hari?"

"Nggak lama, kok. Palingan tiga hari juga sudah pulang," jawab Sonya, sembari meletakkan piring berisi potongan buah di meja. Ia telah selesai mengupas beberapa apel.

"Kau tdak ada acara hari ini, Ma? Tumben sekarang jarang ke salon kamu," ujar Bara.

Sonya memang punya bisnis salon dan retail kosmetik di beberapa tempat dan biasanya akan rutin datang untuk mengecek meski hanya untuk singgah sebentar.

"Nanti aja, agak sorean sekalian keluar dinner sama klien." Sonya menjawab singkat.

"Ohh ...."

"Pah, temanmu itu ... bukan buronan polisi, kan? Maksudku, bukan orang yang sedang terlibat kasus hukum dan kabur dari masalah serius di Surabaya, kan?" tanya Sonya.

Dahi Bara berkerut mendengar pertanyaan istrinya. Sonya bukanlah tipe orang yang kurang kerjaan dan mau mengorek kehidupan pribadi orang lain, apa lagi ini adalah Reno yang nota bene adalah sahabat kental suaminya sendiri.

"Ngomong apa sih kamu, Ma? Nggak usah bergosip," tukas Bara.

"Ya ... bukannya gitu, Pa. Akhir-akhir ini kan, kejahatan merajalela. Jadi wajar dong, kalo mama juga ingin tahu sebenarnya ada cerita apa kok, mereka sampai pergi dari sana."

"Reno itu ada masalah dengan perusahaan di mana dia kerja dulu, Ma. Lagi pula kan, memang mereka juga sengaja datang ke sini untuk berobat. Nggak usah aneh-aneh, lah."

"Ya ... bukannya aneh, Pa. Tapi kan, nggak ada salahnya juga kalo kita lebih waspada."

"Kenapa baru sekarang?" tukas lelaki bercambang tipis itu, "Mama duluan yang minta mereka untuk tinggal di rumah kita, kan? Aku bukannya tidak pernah mengingatkanku waktu itu."

"Karena tadinya kupikir mereka itu adalah temanmu yang memang bukan dari keluarga yang bermasalah, Pa. Toh, mereka hanya tinggal untuk beberapa bulan saja, kan?"

"Lha terus? Maksudnya apa baru nanyain itu sekarang? Kemarin itu waktu aku suruh kamu untuk bicara sama mereka, Mama sendiri yang nggak mau."

"Ya kali aku tega usir mereka saat itu, Pa. Istrinya kan, baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Jelas nggak tegalah. Gimana, sih," ujar Sonya tak mau kalah.

"Terus maksudnya apa? Kan, sekarang Reno juga udah mulai kerja di kantorku, Ma. Kemungkinan ... dalam waktu dekat dia juga akan mencari tempat tinggal sendiri."

"Mama tuh, suka kasihan kalau lihat anak mereka, Pa. Apa masih ada kemungkinan harapan untuk dia sembuh, ya. Dini pasti sangat menderita dengan keadaan putrinya yang seperti itu. Kasihan sekali mereka," gumam Sonya.

Seketika angan pria itu melambung dan hinggap di bangunan rumah sakit, dimana dia pernah merasakan sensasi dahsyat saat membopong tubuh ramping istri temannya itu. Betapa tubuhnya bereaksi aneh saat bersentuhan dengan Dini yang dipeluknya dengan erat saat itu.

"Konyol sekali," gumamnya lirih.

"Konyol? Kok, konyol sih, Pa?" tegur Sonya yang merasa aneh dengan sikap sang suami.

"Eng-enggak, Ma. Maksudku ... kita ini kok, konyol sekali ngurusin orang lain. Kayak nggak ada kerjaan lain aja." Bara sempat gusar dan mencari alasan untuk menutupi rasa gugupnya.

"Bener?" sahut Sonya dengan tatapan yang sedikit menyipit.

"Apanya?"

Melihat suaminya bengong seperti orang bodoh, Sonya mengurungkan niatnya untuk melancarkan pertanyaan jebakan. Meski sempat khawatir dengan naluri kelelakian pria yang sudah ia berdamai selama belasan tahun, tapi rasanya terlalu naif untuk memasukkan nama Dini dalam urutan. Bara bukanlah pria yang gampangan.

"Enggak. Mama mau bersiap dulu, mau keluar sebentar sama Mbak Pur cari beberapa stok makanan yang habis di kulkas. Papa ... nggak pergi ke kantor?"

"Mm-- Mungkin sebentar lagi. Aku akan telepon Selvi dulu, siapa tahu ada yang perlu kukerjakan hari ini," jawab Bara.

"Oke. Mama pergi dulu, ya. Ayo, Mbak!" Sonya berdiri, lalu mengajak Mbak Pur yang baru saja turun dari lantai atas menapaki tangga.

"Iya, Bu." Mbak Pur mengangguk, lalu bergegas menyusul sang majikan dengan sedikit tergopoh-gopoh.

Bara memperhatikan mereka sebentar, lalu meraih remote dan menghidupkan televisi. Meski tidak setiap hari ke kantor, tapi ia sangat jarang berdiam di rumah. Interaksi antar pasangan itu pun, kian jarang dilakukan.

"Semua sudah dicatat kan, Mbak?" tanya Sonya, saat mereka telah keluar dari rumah dan berada di dalam mobil.

"Sudah, Bu," jawab Mbak Pur, seraya memasang sefety-belt yang melingkar di depan dadanya.

"Oh, iya. Menurut Mbak, kita musti belanja buat rumah sebelah juga, nggak?" tanya Sonya, saat mobil mulai bergerak meninggalkan halaman.

Seorang security berseragam khusus berlari membukakan pagar untuk memberi akses jalan, lalu menutupnya kembali setelah kendaraan roda empat itu telah pergi.

"Maksud Ibu, buat keluarga Mbak Dini?" tanya Mbak Pur, terlihat sedikit kebingungan.

"Iya. Siapa lagi? Nggak mungkin juga kita terus mengirimi mereka makanan setiap hari, kan? Hari ini suaminya mulai bekerja. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga hidup mereka ya, Mbak."

"Iya juga sih, Bu. Tapi--"

"Menurut Mbak Pur, ada kemungkinan nggak? Kalau dia akan berbuat nekad karena terdesak?" tanya Sonya, tidak dapat lagi membendung rasa was-was yang terselip dalam hati.

"Nekad? Maksud Ibu, bunuh diri lagi?" sahut Mbak Pur, tidak bisa menangkap arah pertanyaan sang majikan.

"Ah, sudahlah. Lupakan saja, Mbak," jawab Sonya.

Lagi pula, kenapa ia sampai berpikir sejauh itu? Bagaimana mungkin ia menyimpan ketakutan akan kemungkinan yang bisa saja terjadi di antara suaminya dengan istri teman lamanya.

"Nggaklah! Nggak mungkin," gumam wanita cantik itu, menepis pikiran konyolnya.

--