webnovel

Bukan urusanku

Selvi seketika menurunkan kadua kakinya dari meja, lalu berdiri dan meletakkan ponsel ke dalam tas, sementara tangan yang lain meraih horn telepon di sudut mejanya.

"Selamat siang! Ada yang bisa dibantu?" sapa sekretaris seksi itu.

"Ya, ini Sonya. Papanya Riki ada di kantor, tidak? Sepertinya ponselnya tidak aktif," sahut seseorang dari saluran telepon.

"Oh iya, Bu. Pak Bara saat ini sedang ada di ruang meeting. Sepertinya ... Bapak juga lupa membawa ponselnya, Bu." Wanita itu melirik ke meja kerja sang boss dan memang ada sebuah ponsel yang tergeletak di sana.

"Oh, gitu. Ya, udah. Makasih," pungkasnya.

"Eeemm, iyya--" Selvi tidak sempat menjawab karena sambungan telepon telah terputus. "Bisa-bisanya dia mengabaikanku seperti itu. Dasar Lampir!" gerutunya.

Selama menjadi orang kepercayaan Bara, wanita cantik itu telah berkali-kali menemani sang boss hingga ke tempat tidur. Sesekali ia memang bersambang ke rumah karena alasan pekerjaan, tapi tidak pernah sekali pun ia diperbolehkan naik ke kamar atas untuk menemui Bara di ruang paling pribadinya itu.

"Suatu saat, aku pasti akan tidur di ranjangmu, Nyonya Bara yang terhormat," gumamnya dengan senyum menggantung di sudut bibir, sembari meletakkan gagang telepon di tempatnya yang semula.

Wanita itu meraih ponsel dari dalam tas, menggunakannya untuk bercermin, memeriksa dandanan di wajah dan rambut. Ia sengaja memakai blous mini yang memperlihatkan mulusnya paha, serta lingkar dada model V, yang mempertontonkan belahan dada yang menyembul indah.

Ia tidak tahu kapan Bara tiba-tiba menghendaki service khususnya. Karena itu, ia merasa tidak salah jika tetap bersiap dan sedia kapan pun sang boss membutuhkannya. Ia tidak ingin pria itu tergoda lagi dengan wanita lain di luaran sana, seperti yang pernah ia lakukan dulu.

"Ambilkan aku minuman dingin!" pinta Bara yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Senyum wanita itu seketika merekah, lalu bergegas menuju ke sudut ruangan untuk mengambil satu kaleng minuman bersoda dari dalam lemari pendingin.

"Bagaimana meeting-nya, Pak? Nggak masalah, kan?" tanya Selvi, sembari menyodorkan minuman yang telah ia buka sebelumnya.

Bara tidak langsung menanggapi pertanyaan Selvi. Dalam sekejap, isi kaleng telah berpindah ke perutnya dalam beberapa kali teguk. Wanita itu hanya bisa menelan Saliva saat melihat jakun pria itu bergerak naik turun, melambungkan angannya.

"Sepertinya aku harus ke rumah sakit untuk menemui psikiater," gumam pria itu, sambil meremas kaleng kosong dengan kuat.

Seketika Selvi meluruskan punggung, hingga belahan dadanya kian menyembul dan seakan-akan ingin melompat keluar. Berapa ia rela diperlakukan seperti bekas minuman di tangan pria itu untuk saat ini. Ia berharap sang kumbang jeli dan masuk ke dalam jaring-jaring hangat yang ia tunjukkan.

"Apa ... saya harus mengunci pintu sekarang, Pak?" lirih Selvi, sembari mendekat dan menyentuh bahu lelaki berkemeja biru itu lembut.

Jika biasanya Bara menyukai sentuhan nakal sang sekretaris, entah kenapa kali ini ia tidak terpancing. Pria itu bahkan menghentikan jemari lentik berkuku panjang yang merayap di pangkal pahanya.

"No. I don't want it, Beb. Sorry," gumamnya.

Bak terjatuh dari atas tangga, wajah cantik Selvi seketika merona. Tidak biasanya Bara menolak tawaran legitnya saat tengah berada dalam kondisi yang kalut, seperti sekarang. Padahal sebelumnya, ia langsung menerkam saat disodori bongkahan kenyal nan hangat yang menjadi kebanggaannya selama ini.

"Are you sure?" sahut Selvi, ingin memastikan.

"Hmm!" Bara mengangguk, lantas berdiri dan berlalu begitu saja.

Selvi masih diam dengan menggigit bibir bawahnya, menahan kesal. Apa yang sedang mengganggu pikiran atasannya saat ini? Jika mengenai hasil meeting, ia yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Bapak mau ke mana?" tanya wanita itu, tapi pintu sudah tertutup. Bara pun sudah tidak tampak lagi bayangan punggungnya.

Selvi mendengkus kesal, lalu menyambar tas dan kunci mobil di atas meja. Tidak lupa ia juga mengambil blazer berwarna kuning gading di punggung kursi, yang selalu ia gunakan untuk menyembunyikan pakaian seksinya saat berada di luar ruang kerjanya.

--

Bara hanya berputar-putar di jalur yang sama dan tidak sekali pun menghiraukan getar ponsel dalam saku jas yang ia letakkan di jok samping. Tatapan matanya tampak putus asa dan hanya terus mengemudi meski hari telah beranjak malam.

"Aku benar-benar sudah gila! Kenapa perempuan itu tidak juga pergi dari kepalaku? Jika suaminya tidak memperlakukan dia dengan baik, kenapa dia masih di sana?!" umpatnya dengan geram.

Ciiitttt!

Rem mobil berdecit saat kaki pria itu menginjak pedal pengurang kecepatan dan meminggirkan mobil ke sisi kiri jalan. Ia mengendurkan dasi, lalu membuka kancing kemeja agar lebih mengurangi rasa sesak dalam dadanya.

"Halo! Kapan kamu pulang?" sapa nya, begitu panggilan ponsel telah terhubung dengan nomor tujuan.

"Ada apa, Bara? Tumben sekali menghubungiku?" sahutan suara pria dari saluran telepon.

"Tolong aku," gumamnya.

"Soal apa lagi? Tidurmu terganggu lagi? Soal kerjaan atau ... ada masalah lain?"

"Perempuan," sahut Bara lirih, terdengar sangat putus asa. Terdengar suara gelak tawa dari dalam ponsel, tapi sama sekali tidak dihiraukan oleh pria itu. "Ini serius, Hen. Sepertinya ada yang salah dengan otakku. Kasihlah aku resep yang paling ampuh," ujarnya lagi.

"Perempuan yang mana lagi? Jangan bilang kamu keluyuran ke bar kayak dulu. Sia-sia saja kuresepkan obat, kalau ujung-ujungnya kamu tetap mabuk juga."

Bara menghela napas dalam-dalam, menyandarkan punggung setelah memundurkan jok lebih ke belakang. Ia tidak menghiraukan lalu lalang kendaraan lain yang sesekali menyembunyikan klakson saat melewatinya.

"Kapan kamu pulang?" tangan pria itu.

"Cutiku belum berakhir, Bar. Aku juga masih belum puas untuk berlibur. Minggu depan aku pulang."

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan takut untuk pulang ke rumah, Hen," keluhnya.

"Takut pulang? Apa hubungannya dengan rumah?"

"Masalahnya perempuan itu berada di rumahku, Hen. Belum dua minggu mereka menempati rumahku yang di sebelah."

"Mereka? Maksud kamu ...."

"Iya, benar. Perempuan itu adalah istri dari sahabatku sendiri, Hen. Mereka datang jauh-jauh dari Surabaya untuk meminta bantuanku. Celakanya lagi, istriku sendiri yang justru meminta mereka untuk tinggal di rumah sebelah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir sekarang. So, please! Help me," pintanya, sembari mengusap wajahnya dengan gelisah.

Terdengar suara helaan napas dari saluran ponsel, pertanda sang penerima panggilan pun ikut merasakan kegelisahan pria yang tampak kacau itu.

"Bisakah kau tambahkan lagi dosisnya? Kepalaku benar-benar rasanya mau pecah."

"Tidak. Jangan melakukan hal konyol yang tidak ada gunanya, Bara. Obat penenang bukan solusi. Aku sama sekali tidak menganjurkan atau membolehkanmu minum melebihi dosis yang sudah kuberikan. Kau dengar?!"

Bara tak menyahut, lalu mengakhiri panggilan dan melemparkan ponsel ke dashboard mobil. Ia tidak berencana pulang malam ini.

--