Usai makan malam, Sullivan mengajak Shireen bicara. Ia menanyakan beberapa hal yang dijawab oleh Shireen dengan nada angkuh. Dari cara bicara gadis itu, Sullivan bisa tahu, bahwa Shireen orang yang egois, mau dimengerti tapi tidak mau mengerti orang lain.
Namun, karena ia menganggap Shireen seperti bayi baru lahir. Sullivan masih belum menunjukkan sesuatu kepada gadis itu. Perlahan, sikap kaku diantara mereka mulai mencair.
Shireen sudah tidak sungkan bermanja pada Sullivan. Pembawaan Sullivan yang lebih santai, membuat Shireen nyaman berada dalam dekapan pria itu. Sambil menatap pesona Niagara Falls, Shireen terus berbicara sampai ia tertidur pulas.
"Lo kuat, lo hebat, sayangnya lo terlalu angkuh. Gue akan bimbing lo sampai bisa," lirih, hati Sullivan berucap. Matanya lekat menatap Shireen.
***
Keesokan paginya setelah sarapan, Shireen langsung meminta Sullivan membawanya ke air terjun. Ia sudah tidak sabar lagi, merasakan dinginnya salju, dan melihat aliran air dari dekat. Shireen memakai baju yang Sullivan belikan semalam, gadis itu terlihat sangat cocok dengan pakaian yang dikenakannya.
"Go! Gue siap jalan-jalan!" seru Shireen bersemangat.
"Cantik juga lo, pake baju yang gua beliin," komentar Sullivan, ia tengah bersiap juga memakai jaket tebal.
"Bukan bajunya keles, gue emang cantik dari orok." Shireen menggerakkan alisnya naik turun.
"Yah, kan, nyohor lagi dia." Bola mata Sullivan berputar malas.
"Udah ah, ayo hari ini jalan-jalan," desak Shireen.
"Hmm, yang nggak mau ikut. Malah dia yang sibuk," desah Sullivan. Shireen cengengesan merasa malu.
Tidak perlu waktu yang lama, mereka sudah sampai di air terjun. Lokasi hotel yang tidak jauh, bisa diakses hanya dengan berjalan kaki. Sullivan erat memegang Shireen, karena gadis itu terus jelalatan dengan cerobohnya tanpa memperhatikan jalan.
"Gilaaa! Dingin banget ternyata," kata Shireen, bahunya bergidik beberapa kali.
"Namanya juga musim salju, Neng," timpal Sullivan berdiri di sisi Shireen.
"Kalau musim panas, kayanya lebih indah ya Om."
"Tentu, lebih tenang juga duduk di sini lama-lama."
"Fotoin gue dong, biar ada kenang-kenangan," pinta Shireen.
Sullivan tersenyum lalu bergerak mundur, mengambil posisi untuk memotret Shireen dengan kamera Canon di tangannya. Ia juga mencintai dunia fotografi, memilah objek yang cantik sudah jadi keahliannya. Sullivan mengacungkan jempolnya pada Shireen.
Gadis itu langsung bergaya dengan lincah, ia mengangkat dua jarinya, lalu tegap berdiri, menjulurkan lidah, dan terakhir meminta Sullivan memotretnya dari belakang. Tingkah lucu Shireen berhasil membuat Sullivan tertawa terbahak-bahak.
"Gokil lo, nggak ada malunya foto begitu di depan umum," teriak Sullivan.
"Bodo amat! Penting mah pernah ke negeri orang," balas Shireen berteriak.
Sullivan melihat foto Shireen satu persatu. Walau wajah gadis itu tidak memiliki fotogenik, gaya Shireen patut diacungi jempol. Ia pun berjalan menghampiri Shireen dan memperlihatkan hasilnya.
"Astaga, cantiknya gue," kata Shireen memuji dirinya sendiri.
"Berkat kamera," sahut Sullivan pendek.
"Isyh, gengsi amat ngakuin gue cantik." Shireen mencebik kesal, mencubit perut Sullivan.
"Emang berkat kamera, coba foto dari ponsel. Mana bisa secantik ini."
"Serah ah!" Shireen berbalik menatap indahnya Niagara falls.
Gemuruh air yang mengalir deras, asap tebal keluar dari bongkahan es yang terlihat runcing di bagian bawah hingga sisi sungai. Pepohonan, jembatan, semua yang ada di sekitar ikut membeku. Shireen menghembuskan nafas dari hidungnya yang juga mengeluarkan asap tipis.
Shireen semakin keras mengenduskan hidungnya dan mengatakan pada Sullivan, melihat pemandangan di depan matanya, ia seperti teringat pada film Ice age, film kartun kesukaannya, Sullivan terkekeh pelan.
"Kuasa Allah ya, benar-benar luar biasa," komentar Shireen, tak sengaja ia menabrak seorang pria saat mundur.
"Permisi, anda seorang muslim yang bodoh? Bisakah anda berjalan menggunakan mata yang terbuka?" cecar pria tersebut menggunakan bahasa Inggris.
Shireen hanya menatapnya saja, karena tidak mengerti apa yang pria itu ucapkan. Sullivan maju ke depan, memasang badan di depan Shireen. Shireen semakin meleleh dengan kesigapan Sullivan melindunginya.
"Maaf, dia tidak sengaja tuan." Sullivan mengatupkan kedua tangannya.
"Kenapa anda yang bicara, kenapa gadis muslim bodoh itu diam saja!" seru si pria.
"Dia tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Sekali lagi, maafkan gadis bodoh itu." Sullivan mengulangi perkataannya.
Pria bule itu pergi dengan perasaan kesal, Sullivan tersenyum lebar mendengar gerutuan pria tersebut. Shireen bertanya kenapa orang tadi seperti menyebut nama muslim? Sullivan menjawab bahwa mereka saat ini berada diantara dua negara.
Yaitu Kanada dan Amerika Serikat, Sullivan menunjuk bagian-bagian negara yang terpisah oleh aliran sungai. Ia juga mengatakan bahwa ada beberapa orang yang merasa sensitif dengan kaum muslim di sana. Terlebih tadi, Shireen mengucapkan Allah.
Shireen bertanya lagi, apakah muslim di sana tidak boleh hidup berdampingan? Sullivan menjawab setiap tempat memiliki peraturan dan prinsip sendiri. Negara orang tidak bisa disamakan dengan Indonesia yang menerima lima agama dalam kehidupan sehari-hari.
"Jadi gitu ya Om, hmm, kirain hidup di sini aman-aman aja," kata Shireen, mereka berjalan pulang ke hotel, karena mendadak hujan salju turun.
"Makanya, jangan suka nyama-nyamain tempat. Ibarat kata lo biasa makan ikan asin, orang juga makan ikan asin di Kanada. Beda, Neng," seloroh Sullivan.
"Nggak gitu juga Om ngeselin!" Shireen merapatkan tubuhnya pada Sullivan.
Sullivan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Shireen semakin merasa spesial, karena berhasil membuat Sullivan baik padanya. Padahal, ia belum tahu bagaimana pria itu nanti, akan membawa hidupnya seperti dalam putaran roller coaster.
Karena masih ada waktu empat hari, Sullivan ingin menghabiskan banyak momen bersama Shireen. Ia terus memanjakan gadis itu, sampai Shireen merasa sangat disayangi olehnya. Di sisi lain, ia juga simpatik dengan kisah hidup Shireen yang gadis itu ceritakan padanya.
Hidup dengan didikan kolot, pemikiran yang tidak terbuka, terkekang, jadi beban mental bagi Shireen untuk percaya diri. Shireen sangat suka menulis, ia sering menumpahkan kisahnya dalam sebuah status di Facebook.
Sullivan berpikir jika ia bisa membawa Shireen jadi lebih baik. Itu akan memberikan kebahagiaan tersendiri baginya. Tapi, karakter keras kepala dan ngeyel gadis itu, terkadang membuat kepalanya sangat pusing.
Hari terakhir di Kanada, mereka hanya berdiam di hotel. Saling berbagi cerita tanpa rasa canggung. Meski sudah banyak menceritakan kisah hidupnya, Sullivan merasa masih ada hal yang Shireen sembunyikan.
"Om, apa kita bisa jalan-jalan lagi?" tanya Shireen saat mereka di dalam mobil.
"Kalau lo masih sama gua sih," jawab Sullivan.
"Kok, begitu?"
"Gua suatu hari nanti akan pergi ninggalin lo."
"Kenapa?" Shireen terkejut, baru saja ia merasa tenang bersama Sullivan, pria itu sudah memberikannya kejutan.
"Udahlah, gua nggak mau kasih janji manis. Gua memang begini orangnya," sahut Sullivan datar.
Shireen menatap lekat pria di sampingnya, yang tidak menampakkan ekspresi apapun. Hatinya sedih mendengar perkataan Sullivan. Ia melihat ke luar jendela, bongkahan salju yang membeku seakan ikut mendinginkan hatinya.
"Tapi, gue janji nggak akan ninggalin lu, Om Sullivan." Shireen membatin.