webnovel

Secret Friendzone

Perjalanan hidup selalu mengajarkan seseorang untuk tidak egois dalam keadaan apa pun, entah bahagia atau pun sedih. Bahkan ketika mengalami fase terpuruk pun. Sullivan sadar benar bahwa hidup, seperti berjalan diatas roller coaster. Naik, turun, memutar dijalanan terjal, penuh kejutan. Pertemuan tak sengaja dengan Shireen, sang kupu-kupu malam yang ia selamatkan. Kisah yang berawal dari teman tapi mesra, malah berbalik seperti bumerang yang menghancurkan hidupnya. Rasa cinta, dendam, dan rindu, ia rasakan sama mendalamnya pada wanita yang pernah hadir di dalam hidupnya. Ketika ia berusaha melupakan Shireen selama bertahun-tahun. Wanita itu kembali muncul, di saat hidupnya akan bahagia. Akankah Sullivan menerima Shireen kembali? Atau tetap pada motto hidupnya. Take it or leave it! Apa jadinya ketika identitas yang selama ini ia sembunyikan, justru terguncang akibat kehadiran seseorang dari masa lalunya.

Umma_Saliha95 · Realistic
Not enough ratings
302 Chs

Pertarungan Tangsel vs AJ

Shireen dan Sullivan tengah merebahkan tubuhnya di kasur yang sama. Di perjalanan dari Kanada ke Jakarta, Shireen mengatakan pada Sullivan bahwa ia kehilangan pekerjaan. Setelah kembali dari sana, ia kebingungan bagaimana melanjutkan hidup.

Perjalanan pulang cukup melelahkan dan membuat badan mereka penat. Terutama Shireen yang belum terbiasa naik pesawat. Beruntung, kepulangannya tidak disertai mabuk seperti saat berangkat.

"Lo, nggak ada ijazah kan?" tanya Sullivan, ia memiringkan badannya menghadap Shireen.

"Ya, Om, cuma hmmm, SD," jawab Shireen, malas.

"Bingung gua masukin lo kerja apa. Maaf, palingan ngebabu lagi."

"Apa masalahnya woy, gue seneng aja kerja begitu. Seriusan," sahut Shireen, ia pun menghadap Sullivan.

"Nggak malu sama teman nanti?"

"Buat apa malu, yang penting hmm. Ya, halal aja lah kerjaannya, daripada layanin Om Om hidung belang. Yaz tau juga gue itu dosa." Wajah Shireen mendadak murung.

"Gak usah bacot dosa sama gua. Manusia nggak ada yang suci, inget itu Shireen." Sullivan bangkit lalu duduk di pinggir ranjang.

"Yah, mau gimana lagi, Om. Kadang, gue suka apa yah, ketemu orang tub malu. Seolah gue manusia paling kotor di dunia. Karena ngambil kerjaan kupu-kupu malam."

"Tidak ada yang mulus di dunia ini apapun itu. Semua orang juga mau hidupnya mulus, Shireen. Tapi kadang, takdir selalu berkata lain. Hmm, ada yang lebih parah loh, nggak semua orang mau untuk hidup lebih baik."

"Wait!" potong Shireen.

"Apa?" Sullivan menoleh ke belakang.

"Lo percaya takdir? Tuhan?" tanya Shireen harap-harap cemas.

"Gua percaya takdir dan adanya Tuhan, tapi gua nggak percaya agama."

"Kenapa?" tanya Shireen keheranan.

"Something, udahlah skip aja. Obrolan macam apa sih." Sullivan berjalan ke dekat jendela, pandangannya ia tujuan pada jalanan ibukota yang nampak lengang.

Bicara tentang kehidupan, pikirannya selalu flashback pada masa kecil yang tidak menyenangkan. Ia sempat berontak pada takdir, tapi hanya lelah yang ia dapatkan. Sullivan memutuskan untuk bisa bahagia dengan caranya.

Saat tengah terdiam, Sullivan mendapat pesan. Matanya terbelalak saat membaca pesan dan siapa pengirimnya. Ia pun bergegas meninggalkan Shireen, hingga gadis itu merutuk kesal.

"Apa-apaan sih orang tua itu. Selalu aja ninggalin gue sendirian," gerutu Shireen.

Shireen membuka ponsel, lalu kamera yang dipakai untuk mengambil semua foto selama ia di Kanada. Satu persatu ia menjelajahi galeri, di sana ia nampak senyum bahagia. Berbeda dengan Sullivan yang menampakkan wajah dinginnya.

"Dia manis, tapi ngeselin banget. Gue merasakan sih, dia itu orang baik. Tapi juga nggak mudah ditebak," gumam Shireen, wajahnya terus tersenyum saat melihat foto di mana Sullivan merangkulnya erat.

***

[Ok, gua ke sana sekarang.] Jawab Sullivan, setelah mendapat pesan dan mengambil sepeda motornya.

Sullivan membawa motornya dengan sangat cepat, di atas rata-rata normal kecepatan sepeda motor. Ia takut jika salah perkiraan waktu, karena pesan yang ia terima sangat meresahkan. Mendadak ia lupa pada penatnya badan yang tengah dirasakannya tadi.

Dinginnya udara malam yang menusuk kulit, menyalip kendaraan besar, tak lagi ia pedulikan dan ingin segera sampai di lokasi. Man, seorang anak jalanan yang ia sayangi, menginformasikan bahwa sedang ada tawuran di bawah jembatan daerah Tangsel.

Man mengatakan dalam kerumunan itu ia melihat anggota Geng Bedog. Hal tersebutlah yang membuat Sullivan sangat khawatir. Ia tahu bagaimana sadisnya Geng itu ketika beraksi.

"Om Sullivan!" Man berseru dengan keras, saat melihat motor Sullivan datang.

Dari kejauhan asap hitam membumbung tinggi. Bau roda kendaraan dibakar, sangat jelas menusuk hidung. Suara teriakan dan senjata tajam dari dua kelompok ramai menggema, memecahkan kesunyian malam.

"Seraang!"

"Habisi mereka!"

"Mati atau hidup dengan harga diri!"

Teriakan-teriakan tersebut sangat Sullivan hafal berasal dari siapa. Kelompok anak jalanan kalah jumlah dibandingkan dengan pemuda kampung Tangsel yang menyerang. Anak jalanan semakin tersudut, sebagian sudah ada yang terkapar bersimbah darah.

Akibat sabetan senjata tajam rakitan, berupa gear motor yang dililit rantai, parang, rantai bekas motor, dan berbagai senjata rakitan lainnya. Kelompok pemuda kampung Tangsel kian ganas menyerang. Melihat hal tersebut Sullivan geram, ia membunyikan gas sepeda motornya berkali-kali.

Bruumm.

Brummm.

Dua kali petikan gas masih pelan sebagai peringatan. Para anak jalanan mulai mundur menyadari kehadiran Sullivan. Namun, pemuda kelompok Tangsel masih ngotot semakin membabi buta melakukan serangan.

"Mereka mundur! Sebentar lagi kita menang, hahaha," kata pemimpin kelompok pemuda Tangsel.

"Awassss!" Sullivan berteriak keras, dengan cekatan ia menarik gas sepeda motornya. Lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dan sepeda motor pun melayang ke arah para pemuda Tangsel.

Brrukk!

Sepeda motor menyeruduk kelompok pemuda Tangsel dan berhasil melumpuhkan banyak orang. Termasuk pemimpin mereka yang terlebih dulu terseret sepeda motor. Sullivan berjalan tegak menghampiri orang tersebut, yang kini tengah meringis kesakitan memegang kakinya.

"Siapa nama lo?" tanya Sullivan, ia menyalakan rokok di tangannya.

Pemuda itu menoleh, menatap Sullivan yang tengah berdiri di depannya. Bukannya menjawab, pemuda itu malah meludahi kaki Sullivan.

"Cih! Siapa lo! Jangan ikut campur!" balas si pemuda.

Beberapa orang bangkit melakukan serangan. Gear yang melayang dilemparkan kembali olehnya, hingga mengenai kaki si pelempar. Seorang pemuda menyerangnya dari belakang membawa parang, dengan kejeliannya Sullivan berhasil menangkap tangan si pemuda dan mematahkannya.

Kraakkk.

"Aaaaaaa."

Suara retak tulang seiring jeritan pemilik tangan membuat siapapun yang mendengarnya ngeri. Sang pemimpin yang semula angkuh, kini mulai ciut dan bertanya-tanya. Siapa pria tua yang ada di depannya.

Para pemuda berusia tanggung itu masih berusaha menyerang. Namun , semuanya berhasil ditepis oleh Sullivan dengan sangat mudah. Dalam beberapa menit, puluhan pemuda Tangsel terkapar di jalanan dengan luka masing-masing.

"Lo siapa!" teriak sang pemimpin.

"Jawab dulu pertanyaan gua," balas Sullivan, dengan santai menikmati rokoknya.

"Bukan urusan lo!"

" Tapi jadi urusan gua! Karena lo berani ngusik anak-anak gua." Sullivan mengambil rokok dari mulutnya.

Ia menginjak jemari pemimpin Tangsel, lalu menaruh puntung rokok di jidatnya.

"aaahh, setan! Sakit anjeeng!" Pemuda itu meronta.

"Siapa nama lo."

"Ken-- Kendra--, aahhh."

"Kenapa lo serang anak-anak gua?" Sullivan masih menginjak jemari pemuda yang menyebutkan namanya Kendra.

"Dia, dia--, dia main ke daerah kelompok Tangsel," jawab Kendra.

"Hanya itu?" tanya Sullivan, menyelidik curiga.

"Mereka kumuh dan bau!"

"Apa lo bilang?" Injakan pada tangan Kendra semakin kencang.

"Aaahhh sakit! Lepasin!"

"Coba ngomong sekali lagi, apa barusan lo bilang, mereka apa?"

"Kumuh! Bau!" jawab Kendra ketus.

Plakkk!

Plakkk!

Plakkk!

Sullivan melayangkan tamparan tiga kali, darah segar mengalir dari mulut Kendra. Puntung rokok yang semula di jidat, kini Sullivan nyalakan kembali dan menaruhnya di mulut Kendra. Pemuda itu berteriak kesakitan.

"Jaga mulut lo," kata Sullivan lalu menepuk-nepuk pipi Kendra. "Cabut lo semua sekarang, jangan pernah datang lagi ke sini."