"Kau merindukanku, kan?" tebak Edgar saat mereka sudah ada di kamar sebelah.
Alessa memberengut merasa kesal dengan godaan Edgar, melihat kedekatan Edgar dan Miranda tadi saja sudah cukup membuatnya kesal. Di tambah lagi dengan ini.
"Aku hanya ingin menanyakan di mana kau menaruh mobi ku?"
"Mobil yang mana?"
"Mobilku, yang kau tinggalkan di super market."
Edgar menggaruk keningnya, "Mobil itu ada di mansionku, " jawabnya polos.
"Bisa kah kau membawanya ke sini?"
"Ya, nanti akan ku suruh Mike."
"Ada lagi yang mau kau tanyakan?"
"Tidak ... Aku pulang sekarang." Edgar menahan lengan Alessa, Alessa berdecak.
"Apa lagi?!"
"Mulai sekarang Miranda tinggal di sini."
"Itu terserah kalian, sekarang lepaskan tanganku!"
"Kalian berteman, kan? kau tidak berniat menyapanya?"
"Aku ? Aku tidak akan menyapanya terlebih dulu," ketus Alessa.
"Alessa sebaiknya kalian berdua harus bicara, karena Miranda ..."
Suara dering telepon menginterupsi perkataan Edgar, Alessa merogoh ponselnya dan melihat nama pemanggil. "Dari Mahesa, aku harus menjawabnya," setelah itu Alessa melenggang pergi keluar kamar sembari menjawab telepon dari Mahesa.
"Kau di mana?"
"Aku ada di... Di jalan... Ya di jalan, " jawab Alessa linglung.
"Aku tidak mendengar suara mobil, katakan cepat kau dimana?"
Alessa menghela napasnya. "Tunggu sebentar!"
"Kau sedang dimana Alessa?!"
Setelah berada di luar rumah Alessa baru menjawab. "Aku memang ada di jalanan sekarang."
"Aku akan menjemput mu ..."
"Tidak perlu aku akan naik taksi!"
"Aku ingin bertemu denganmu, ada sesuatu yang harus ku sampaikan!"
Alessa menghela napas panjangnya, dengan pasrah ia mengiyakan perintah Mahesa, tak lupa ia juga mengatakan tempat ia berada sekarang.
Alessa berjalan sedikit sembari menunggu Mahesa menjemputnya. Tak lama sebuah mobil berhenti di sampingnya, Alessa menoleh ke samping. Mahesa turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang untuk Alessa.
Dengan berat hati Alessa masuk ke dalam mobil dengan wajah yang ditekuk. Mahesa sudah melajukan mobilnya, tidak ada percakapan antara Mahesa dan Alessa, sampai mobil itu berhenti di sebuah taman kota.
"Kau marah padaku?" dengan pandangan yang masih lurus kedepan Alessa menjawab.
"Tidak, " Alessa tak sepenuhnya kesal dengan Mahesa, alasan sebenarnya adalah ketidak terimaan Alessa atas kedekatan diantara Edgar dan Miranda.
Terdengar helaan napas berat dari Mahesa. "Ayo turun!" ajak Mahesa yang sudah membuka pintu mobil bersiap untuk turun.
Alessa juga melakukan hal serupa dan turun dari mobil. Mahesa duduk di salah satu bangku taman, Alessa duduk di sampingnya.
"Kau percaya vampir?" dari banyaknya pertanyaan entah mengapa Mahesa malah menanyakan tentang makhluk berdarah dingin itu.
"Kenapa kau bertanya tentang itu?" alih-alih menjawab, Alessa malah melemparkan pertanyaan juga.
"Ya, hanya ingin tahu saja. Kau ingat tentang seorang polisi yang tewas karena gigitan aneh itu?"
"Ya, ingat. Ada apa?" jawab Alessa matanya terus memperhatikan dua anak kecil yang sedang berlarian di depannya.
"Kejadian serupa terjadi lagi, seorang wanita tewas dengan luka gigitan yang sama dengan polisi itu. Dugaan yang kuat mengatakan bahwa seorang vampirlah yang sudah menggigitnya," terang Mahesa panjang lebar.
Alessa kini memusatkan perhatiannya penuh kepada Mahesa, ia memutar tubuhnya menyamping. Tidak lagi memperhatikan dua anak kecil di depannya.
"Dimana kau mendapatkan berita ini? Aku sama sekali belum mendenga nya?"
"Pihak kepolisian menyembunyikan kasusnya, karena takutnya para warga akan resah tentang adanya vampir. " Alessa memicing curiga.
"Kalau berita ini di rahasiakan. Mengapa kau bisa tahu?"
"Paman ku seorang polisi, ia yang sudah mengatakan informasi ini. Sebagian masyarakat tentu tidak percaya dengan berita tersebut, itu juga menjadi salah satu penyebab mengapa berita ini dirahasiakan. Paman menyuruhku lebih berhati-hati, dan yang terpenting jangan keluar sendiri di malam hari, aku menghawatirkanmu Alessa. Kau tidak boleh keluar sendiri lagi!" Mahesa menempelkan tangannya di bahu Alessa. Wanita itu melepaskannya secara perlahan, jujur saja tidak ada perasaan atau getaran menyenangkan lagi saat bersama Mahesa, bahkan Alessa sangat ingin pulang ke rumah sekarang.
"Pokoknya kau tidak boleh pergi tanpaku!" tambahnya lagi bersikukuh.
Alessa hanya mendesah mendengarkan penuturan Mahesa. Dari mata pria itu, terlihat sekali bahwa ia sangat khawatir. Namun Alessa bersikap biasa saja.
Alessa tentu tidak takut, karena ia tahu siapa vampir itu. Edgar tidak mungkin membunuhnya, kan? jika ia ingin membunuh Alessa, mungkin itu sudah terjadi di jauh-jauh hari, mengingat kedekatannya selama ini.
Kecuali Miranda, sahabatnya yang sudah menjelma menjadi orang asing. Tidak, Alessa tidak boleh berpikir buruk tentang Miranda.
***
Malam ini Edgar akan menyelinap lagi ke kamar Alessa, ia harus memuaskan rasa hausnya. Edgar bisa saja mencari orang lain sebagai pengganti, namun obsesinya terhadap Alessa begitu tinggi. Terlebih lagi ia sudah tidak pernah memangsa manusia. Ya, Alessa pengecualian.
Sekarang lelaki itu sudah siap dengan mantel hitamnya dan tak lupa sarung tangan yang menutupi telapak tangannya yang putih pucat itu.
"Mau kemana?" suara seseorang menginterupsi langkahnya.
"Menemui Alessa?" tanya orang itu, yang tak lain adalah Miranda.
"Iya, aku merasa haus. Kau ingin keluar juga?"
"Tidak, aku tidak haus. Malam tadi aku sudah banyak meminum darah."
"Kau membunuh seseorang lagi?"
"Ya, Sudah sebulan aku tidak minum, dan kebetulan ada seorang wanita yang sedang sendiri di jalan, jadi aku mengisap darahnya sebanyak mungkin."
"Kata sebulan sangat tidak cocok untukmu. Karena yang ku tahu kau baru membunuh anjing kecilmu dua hari yang lalu."
"Apa lagi yang harus ku lakukan, aku sangat haus saat itu. Persetan dengan anjing itu, aku sangat haus dari pada aku mati lebih baik anjing itu saja yang mati. " Menjadi vampir sudah merenggut sisi kemanusian dari Miranda.
Edgar tersenyum. "Kau memang sudah berubah, dulu kau rela masuk hutan mencari anjing itu dan berakhir bertemu denganku. Dan sekarang anjing itu sudah tiada."
"Aku memang sudah berubah, entah sejak kapan. Tapi menjadi seorang vampir tidak buruk juga, aku sudah mulai menerima kehidupanku yang sekarang."
"Tapi kau juga harus bisa mengontrol emosimu, jangan sampai kau bertindak jauh yang akan membuatmu menyesalinya nanti. ' Nasihat Edgar.
"Akan ku usahakan."
"Baiklah, aku pergi sekarang."
***
Tolong...
"Jangan bawa aku pergi!"
Wanita itu terus meronta-meronta di gendongan seorang lelaki bertubuh besar.
"Kau akan membawaku kemana?"
Namun lagi-lagi tak ada jawaban yang keluar dari mulut lelaki yang sudah membawanya, wanita itu menatap ke sekeliling tempat ia berada, tempatnya sangat gelap dan banyak pohon besar.
Lelaki itu terus berlari membawanya semakin jauh memasuki hutan, tempat itu berangsur-angsur menjadi semakin gelap tak ada lagi pepohonan, hanya ada kegelapan.
Wanita itu semakin takut dan memejamkan mata, samar-samar ia mendengar suara tawa seseorang yang tak lain ialah suara tawa lelaki yang sedang membawanya berlari.
Wanita itu tak berani membuka mata, bahkan di saat pria itu sudah berhenti berlari dan menghentikan langkah, sedetik kemudian yang di rasakan wanita itu hanyalah rasa sakit di sekujur tubuhnya, karena lelaki itu menjatuhkannya tiba-tiba.
Wanita itu memekik kesakitan, dan perlahan membuka matanya. Yang pertama kali dilihat adalah seorang lelaki yang menyeramkan dengan dua gigi taring yang siap menggigit seseorang. Mata yang semerah darah nampak melotot dengan lebar.
Wanita itu berteriak sekencang-kencangnya.
Aaaaaaaa... Tolong....
Alessa terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin yang membasahi tubuh wanita itu, rambut dan wajahnya basah karena keringatnya sendiri. Mimpi yang dialaminya terasa aneh, namun nampak nyata.
Namun Alessa masih merasa bersyukur karena itu hanya mimpi. Tangannya masih gemetar bayangan seorang lelaki dengan gigi taringnya membuat Alessa bergidig.
Jika lelaki itu setampan Edgar, mungkin Alessa tidak akan setakut ini.
Tiba-tiba terdengar suara decitan dari arah balkon. Tubuh Alessa kembali menegang kala mendengar suara itu, Alessa menarik selimut hingga ke batas leher, menggigiti ujung selimut karena merasa gugup.
Bunyinya semakin keras terdengar. Membuat Alessa semakin mengeratkan genggamannya pada selimut putih yang hampir menutupi seluruh bagian tubuh Alessa.
Namun suara seseorang yang memanggil namanya membuat Alessa bernapas lega. Dengan sisa tenaga yang tersisa Alessa menyeret kakinya menuju pintu balkon dan membuka pintu tersebut.
Seorang pria tampan berdiri di depannya dengan salah satu tangan yang di masukkan kedalam saku.
"Haii?" sapa Edgar dengan riang. Sedangkan Alessa merasa sangat senang dengan kedatangan Edgar, setidaknya rasa takutnya tadi berkurang setelah melihat Pria tampan itu.
"Kau menakutiku! Mengapa kau membuat suara-suara aneh seperti tadi, " nada suaranya bergetar di akhir kalimat.
"Pintunya terkunci, jadi terpaksa aku membuat suara aneh agar kau terbangun."
"Aku sudah terbangun sejak tadi."
"Ada apa? Mengapa kau terlihat sangat ketakutan?"
Edgar maju mendekat, tangan pucatnya bergerak menyingkirkan sebagian anak rambut yang menutupi wajah wanita itu dan membawanya ke belakang daun telinga. Mengusap pipinya pelan berharap Alessa bisa sedikit tenang.
Karena yang Edgar lihat bahwa Alessa nampak seperti orang ketakutan, semua itu terlihat sangat jelas dari manik matanya yang indah.
Tanpa aba-aba Alessa langsung memeluk Edgar dengan erat seolah meminta perlindungan. Edgar membalas pelukannya tak kalah erat membelai rambut panjang Alessa dengan sayang.
Ada kesamaan antara mimpinya dan yang terjadi di kehidupan nyata, keduanya sama-sama mimpi buruk, tapi untuk Edgar, dia adalah mimpi buruk yang paling menyenangkan bagi Alessa.