webnovel

A Feeling

Mungkin terlambat bagi Alessa menyadari perasaan yang di rasakannya entah sejak kapan itu. Sudah seminggu semenjak insiden yang terjadi pada malam di mana Alessa bermimpi aneh.

Malam di mana semuanya berubah, semuanya nampak nyata, Alessa mengerti akan perasaan aneh yang di rasakannya setiap kali bertemu Edgar.

Mungkin malam itu adalah malam terburuk sepanjang masa, karena untuk pertama kalinya Alessa merasa sangat ketakutan, beruntung Edgar datang sebagai penenang. Malam itu Alessa tidur di pelukan Edgar, rasanya sangat damai rasa takut yang dirasakannya berangsur hilang berganti dengan debaran kecil di dada.

Mungkin kata-kata rainbow after storm berlaku untuk Alessa pada malam itu. Karena setelah datangnya badai, Pelangi datang menghampirinya. Seperti ada musim semi, kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Dalam seminggu ini Alessa menjalani kehidupannya dengan normal, seringkali ia bertemu Edgar sekadar membicarakan hal-hal kecil dan yang lainnya.

Tiga hari yang lalu Ibunya pergi ke Indonesia, karena neneknya sedang sakit. Alessa ingin ikut namun ditolak oleh Alana karena alasan Alessa harus segera pergi ke Boston.

Alessa menatap bosan ke arah layar plasma yang menampilkan acara talk show. Disaat Alessa hendak meraih toples cemilan ringan yang ada di atas meja tiba-tiba bel pintu utama berbunyi.

Senyum mengembang di wajahnya, Alessa tahu pasti siapa yang datang, karena baru beberapa menit yang lalu ia bertukar pesan dengan Edgar, lelaki itu akan ke rumahnya.

Dengan setengah berlari Alessa menuju pintu dan membukanya.

Senyum yang tadi mengembang di wajahnya mendadak hilang di gantikan dengan rasa kecewa.

"Mahesa," gumam Alessa dengan tidak semangat. Mahesa tersenyum sembari mengacak rambut Alessa pelan.

"Aku tau kau pasti bosan di rumah, jadi aku memutuskan untuk membawamu jalan-jalan," ujar Mahesa dengan semangat, berbanding terbalik dengan Alessa yang kebingungan hendak menjawab apa.

"Hm, begini seb-"

"Sudah-sudah, kau cepat ganti baju aku akan menunggumu!" potong Mahesa tanpa berniat mendengar jawaban dari Alessa, lelaki itu menggiring Alessa naik ke lantai atas.

"Tap-"

"Tidak ada tapi-tapian, cepat sana!" lagi-lagi perkataan Alessa di potong Mahesa, Alessa hanya bisa pasrah dan naik ke atas.

Alessa menggigiti jari telunjuknya bingung harus berbuat apa, sebentar lagi pasti Edgar akan sampai di rumahnya. Alessa tak bisa menolak ajakan Mahesa karena lelaki itu terus memotong ucapannya.

Dengan cepat Alessa mengganti pakaian dan segera turun ke bawah, ia harus segera membawa Mahesa pergi dari rumahnya, akan sangat tidak lucu nanti, ketika Edgar datang dan Mahesa masih ada di rumahnya.

"Ayo pergi sekarang!" ajak Alessa sekarang dengan gelisah, ia sudah terlihat seperti pacar yang takut ketahuan berselingkuh.

Mahesa mengangguk dan berjalan menuju pintu bersama Alessa, namun terlambat sudah, karena ketika mereka berdua keluar rumah, Edgar lah yang pertama kali di lihat keduanya, lelaki itu berdiri santai dengan kedua tangan di masukkan kedalam saku, khas Edgar yang selalu memasukkan tangannya.

"Siapa kau?!" tanya Mahesa sarkas. Alessa membeku di tempat.

Edgar melirik Alessa sekilas, sebelum ia melenggang masuk ke rumah Alessa melewati sepasang kekasih itu. Alessa melongo tak percaya. "Siapa dia?" tanya Mahesa dengan kening mengkerut. "Beraninya dia masuk seenaknya."

Alessa masih bergeming di tempatnya. Tak dapat menemukan kosa kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mahesa. Mahesa kembali masuk ke rumah dan Alessa gelagapan bingung harus berbuat apa.

"Siapa kau, berani-beraninya kau masuk tanpa permisi, kau pencuri??"

Dengan santainya Edgar mendaratkan tubuh di atas sofa dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ya, lebih tepatnya mencuri hati orang yang ada di sampingmu," tunjuk Edgar dengan dagu ke arah Alessa.

Jika Edgar mengatakannya di tempat dan waktu yang tepat, mungkin Alessa akan sangat senang sekarang, tapi ini lain, bahkan wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.

Mahesa menggeram marah, rahangnya mengatup keras. "Siapa kau, hah! Beraninya berkata seperti itu!"

Edgar bangkit dari duduknya dan tersenyum sinis, Mahesa menggenggam tangan Alessa seolah mengatakan bahwa, 'Alessa adalah miliknya'.

Menurut Mahesa lelaki di depannya sekarang sungguh tidak waras.

"Alessa, aku sudah menepati janjiku untuk datang ke sini. Kau ingin pergi dengannya, kan? Sebaiknya juga aku harus pulang sekarang!"

Mahesa semakin mengeratkan genggamannya di tangan Alessa, Alessa meringis kecil.

"Sebenarnya kau siapa, hah!!" bentak Mahesa. Edgar menjulurkan tangannya ke arah Mahesa.

"Edgar Volard."

Mahesa reflek menoleh ke arah Alessa meminta penjelasan, apakah lelaki yang ada di depannya adalah orang yang di maksud Alessa ketika di cafe.

"Alessa jangan katakan bahwa ia adalah Edgar yang kau maksud waktu itu!"

Kepalanya menggangguk mengiyakan, namun mulutnya berkata sebaliknya. "Eh, bukan!" sungguh pikiran dan hati nya tidak sejalan.

Mahesa mengernyit bingung, namun perkataan Edgar selanjut nya membuatnya yakin. "Ya, aku Edgar yang kau maksud, " ucap Edgar dengan santai sambil memasukkan kembali kedua tangannya kedalam saku.

Dua bogem mentah mendarat mulus di wajah Edgar, namun lelaki dengan wajah pucat itu tak bergerak sama sekali. Pukulan yang di berikan Mahesa tak berpengaruh apa-apa untuknya, tubuh tegap itu masih berdiri sempurna.

Berbeda dengan Mahesa sekarang yang tangannya terasa membeku dan kebas. Rasa dingin menjalar di buku-buku tangan Pria itu.

Jangan tanya seperti apa ekspresi Alessa sekarang, wanita itu hampir tak berkedip. Menatap secara bergantian kedua lelaki yang saling melempar pandangan secara tajam.

Alessa bingung harus apa. "Agrhh, apa yang kau lakukan pada tanganku! Tanganku terasa membeku!"

"See, aku tidak melakukan apa-apa, bahkan kau yang sudah memukulku tadi!"

"Terbuat dari apa kulitmu? Aku seperti bukan sedang memukul manusia, tetapi memukul bongkahan es?" tanya Mahesa sembari mengusap tangannya yang kini sudah membiru.

Edgar hanya tersenyum miring, "lebih baik aku pulang sekarang. " Edgar mengusap puncak kepala Alessa yang masih diam di tempat. Usapan di kepalanya kini berpengaruh besar terhadap jantungnya.

Dengan cepat Mahesa menarik Alessa dengan tangan kirinya, membuat Alessa kembali pada kenyataan bahwa masih ada Mahesa di sini.

Edgar tersenyum samar sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu.

"Terbuat dari apa wajahnya? Tanganku terasa sangat dingin sekarang?"

"Aku akan mengambilkan air hangat untukmu," Alessa berjalan menuju dapur, Mahesa duduk di sofa.

Tidak lama Alessa kembali dengan sebaskom air hangat. "Ini!" ujar Alessa sembari meletakkan baskom di atas meja. Mahesa mencelupkan kedua tangannya ke dalam air.

"Kenapa airnya tak berasa apapun. Air ini tidak terasa panas."

"Akan ku ambilkan yang lebih panas lagi." Alessa kembali ke dapur membawakan sebaskom air panas yang masih mengepul.

"Ini sangat panas, berhati-hatilah!"

Mahesa mencelupkan tangannya lagi. "Aku tidak merasakan apa-apa, ini sungguh tidak panas."

Alessa melongo tidak percaya. Dengan ragu ia mencelupkan satu jarinya di permukaan air.

"Ini sangat panas, kau mengerjaiku!" tuding Alessa, yang benar saja. Air sepanas itu dikatakan tidak panas.

"Aneh, aku tidak merasakan bahwa airnya panas, kau lihat saja tanganku ini!" tunjuk Mahesa pada tangannya yang membiru.

Alessa meringis tak bisa membayangkan betapa sakitnya tangan Mahesa. Ini sangat aneh, mengapa saat Alessa mencubit Edgar lelaki itu terlihat seperti kesakitan, sedangkan sebuah pukulan dari Mahesa tak berpengaruh apa-apa untuknya.

Alessa merasa aneh dengan Edgar, lelaki itu memang sangat aneh, tapi uniknya Alessa menyukai Edgar.

Kepada setiap perlakuan kecil yang di lakukan lelaki itu, dan di saat Edgar mengusap pucuk kepalanya.

Ya, Alessa memang sudah jatuh hati kepada seorang vampir. Edgar.