webnovel

Weird Feeling

Hari ini Alessa terpaksa harus berbohong lagi kepada sang Ibu. Alana sedari tadi terus menanyakan di mana Alessa menitipkan mobilnya, karena Alana tahu bahwa Alessa pulang tidak menggunakan mobil sendiri. Alessa sendiri tidak tahu ada dimana mobilnya, ia akan bertanya kepada Edgar nanti.

"Aku meninggalkannya di Boston, Bu. Kebetulan sewaktu di Boston aku bertemu Mahesa dan memutuskan pulang dengannya," setelah mengatakan sederetan kalimat karangan tersebut, Alessa kembali menyantap nasi goreng di atas meja. Makanan yang tentunya tidak asing lagi di lidah masyarakat Indonesia.

"Kapan kau kembali ke Boston?" Alessa tersedak mendengar pertanyaan dari sang Ibu, dengan cepat ia meneguk air putih yang sudah tersedia.

"Eh tidak, Ibu tidak bermaksud mengusirmu, Ibu hanya bertanya saja," timpal Alana dengan cepat, takut-takut Anaknya ini akan salah paham dengannya.

"Hm, beberapa hari lagi sepertinya aku akan pergi, Bu." Ucap Alessa ragu-ragu.

"Ibu sebenarnya merasa kesepian disini, Ayahmu hanya pulang sebulan sekali."

Sekarang Alessa merasa sangat bersalah kepada ibunya, yang Alana tahu bahwa Alessa memang benar-benar pergi kuliah, nyatanya tidak.

"Mengapa ibu tidak ikut Ayah saja?" usul Alessa.

"Tidak bisa Alessa, Ayahmu di sana untuk bekerja, Ibu hanya akan merepotkan Ayahmu saja nanti. "

"Aku jadi merasa bersalah karena sudah meninggalkan Ibu."

"Bukan salahmu. Nanti, juga Ibu akan terbiasa. Cepat habiskan sarapanmu! Ibu mau mencuci piring dulu."

Alessa kembali memakan sarapannya. Alessa bukan anak dari seorang konglomerat yang memiliki banyak saham perusahaan, yang hartanya tidak akan habis, walaupun di pakai tujuh turunan sekalipun. Ayahnya hanya pegawai biasa yang bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang property. Namun Ayahnya selalu berusaha untuk yang terbaik bagi Alessa, demi mewujudkan cita-cita Anaknya.

Dan Alessa sendiri secara perlahan mematikan mimpinya.

Setelah selesai menghabiskan sarapan. Alessa memutuskan untuk mencari Edgar ke rumahnya, Alessa berharap Edgar masih tinggal di rumah yang sama.

Rumah itu masih sama seperti yang terakhir kali dilihatnya. Alessa juga sempat melirik ke rumah Miranda, rumahnya nampak tak terawat, dan lebih mengejutkannya lagi Alessa melihat sebuah tulisan yang tertempel di pagar rumah Miranda yang bertuliskan 'RUMAH DIJUAL'.

Alessa mengira bahwa Miranda sekarang tinggal bersama Orangtuanya. Namun dugaannya salah besar, karena nyatanya sekarang Alessa tengah melihat kedua orang yang sangat di kenalinya itu, kedua orang itu yang tak lain adalah Edgar dan Miranda yang berdiri sangat dekat bahkan terlihat seperti berciuman.

Alessa mematung di tempatnya. Sepertinya Alessa datang di waktu yang tidak tepat. Ketika masuk ke rumah Edgar tadi Alessa sempat bertanya kepada salah satu pelayan di bawah yang mengatakan bahwa Edgar ada di kamarnya. Di kamar yang pernah Alessa tiduri.

Selain rasa terkejut yang luar biasa, Alessa juga merasakan gejolak aneh dalam dirinya. Hatinya terasa sakit melihat pemandangan di depannya. Harusnya Alessa tidak merasakan perasaan aneh ini, bukan? di saat dirinya masih berstatus menjadi pacar seseorang.

***

Miranda menggantung sebuah kertas yang bertuliskan 'RUMAH DIJUAL' di pagar rumahnya. Wanita berambut pirang itu sudah memutuskan semuanya, bahwa ia akan menjual rumah Orangtuanya itu. Tinggal di sana hanya akan mengingatkan kenangan-kenangan bersama kedua Orangtuanya. Yang membuatnya akan semakin terpuruk.

Beberapa hari yang lalu Miranda mendapatkan kabar bahwa kedua Orangtuanya telah tiada, akibat kecelakaan tunggal yang dialami Orangtuanya. Tentu Miranda sangat terpukul akan hal itu, ia bahkan tidak sempat melihat wajah terakhir mereka. Sekarang ia benar-benar tidak memiliki siapapun.

Dengan membawa sebuah kardus berisi barang-barang berharganya Miranda memasuki rumah di samping rumahnya. Yang tak lain ialah rumah Edgar. Ia sudah memutuskan untuk tinggal bersama pria itu.

Ketika memasuki rumah Edgar, Miranda sempat melemparkan senyuman kepada para pelayan yang berkeluyuran. Edgar memang menyewa beberapa pelayan dan beberapa bodyguard untuk sekedar keamanan, dan membuat rumah besarnya tidak terlalu sepi.

Miranda terus berjalan menuju kamar Edgar yang ada di lantai teratas. "Kamar ini menjadi milikmu sekarang," ujar Edgar ketika melihat Miranda berada di depan pintu kamar. Miranda mendekat dan meletakkan kardusnya di atas tempat tidur.

"Kau sendiri tidur dimana?"

"Di rumah ini ada empat kamar. Aku bisa menggunakan salah satunya, aku bisa tidur dimana saja. " Edgar melirik ke dalam isi kardus. "Apa yang kau bawa?"

"Hanya sedikit barang-barang kesayanganku, tidak apa kan jika aku memembawanya ke sini?"

"Tentu saja, mulai sekarang kau tinggal di sini, yang artinya rumah ini juga rumahmu. " Miranda tersenyum. Sedikit merasa beruntung bahwa ia masih memiliki Edgar yang membuat Miranda merasa masih memiliki keluarga.

Miranda meraih sebuah miniatur antik dari dalam kardus. Miniatur berbentuk castle itu adalah pemberian Orangtuanya hadiah terakhir yang ia dapatkan. Sewaktu kecil Miranda sering bermimpi menjadi seorang Putri Raja yang tinggal di istana, Miranda kecil sangat menyukai princess dan disney, itu sebab mengapa Orangtuanya membelikan hadiah tersebut.

Miniatur itu nampak berdebu, Miranda meniup-niup debu yang menempel. Sebagian debu tersebut masuk ke dalam matanya yang membuat matanya kelilipan.

"Ada apa?" tanya Edgar ketika melihat Miranda yang mengerjap-ngerjap beberapa kali.

"Mataku kemasukan debu."

Edgar mengambil alih miniatur dari tangan Miranda dan meletakkannya di atas kasur. "Apa yang harus ku lakukan?" tanya Edgar sedikit ke bingungan.

"Bisakah kau meniup mataku sebentar?"

Edgar yang kurang mengerti sedikit kebingungan. Dengan perlahan ia menangkup wajah Miranda. Dan meniup matanya dengan pelan.

Edgar berdiri sangat dekat dengan Miranda saat itu. "Apa masih sakit?"

"Sekarang tidak lagi, terimakasih. " Edgar mengangguk sekilas dan melepaskan tangannya yang menempel di wajah Miranda. Tepat saat itu juga ia melihat seorang wanita berdiri di dekat pintu.

Edgar sangat terkejut, Miranda sendiri merasa bingung dengan ekspresi Edgar dan Miranda berbalik mengikuti arah pandangan Edgar. Saat itu juga Miranda menampilkan ekspresi yang sama dengan Edgar mereka berdua sama-sama terkejut.

"Alessa!" gumam Edgar.

"Maaf sudah mengganggu kalian. " Alessa tersenyum kaku, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang, ia harus bisa bersikap biasa saja.

"Alessa apa yang kau lakukan di sini?" tanya Edgar sembari berjalan menuju Alessa yang masih setia berdiri di dekat pintu.

"Aku ... Hanya ingin menanyakan sesuatu, tapi sepertinya aku sudah mengganggu kalian. " Edgar mengernyit.

"Aku tahu kau pasti merindukanku, kan?" tebak Edgar yang sekarang sudah memasang senyum jahilnya.

"Ti-Tidak. Memang ada sesuatu yang harus ku tanyakan."

"Kalian berdua bicaralah di sini, aku akan keluar," timpal Miranda yang sudah berjalan keluar, namun segera di tahan Edgar.

"Kau di sini saja. Bereskan barang-barangmu. Kami akan bicara di tempat lain. " Miranda mengangguk. Alessa merasa tidak mengenali Miranda lagi, sahabatnya itu tidak menyapanya, hanya melirik Alessa sekilas. Padahal mereka berteman hampir tiga tahun lamanya.

Miranda kembali membereskan barang-barang miliknya dengan sikap acuh tak acuh, sementara Edgar membawa Alessa ke kamar sebelah.