Setelah resmi menjadi istri Rojali, Wati dibuatkan rumah tak jauh dari kediaman utama Rojali, tepatnya sekitar satu kilometer di belakang rumah Rojali. Tempat yang cukup tertutup dari khalayak dan hanya bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua karena aksesnya sengaja dipersulit.
Hubungan Wati dan Ratih tak kunjung membaik, ada konflik batin yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kandungannya semakin membesar, selama berbulan-bulan Ia tinggal sendiri di rumah yang diberikan Rojali. Hanya tukang sayur keliling dan tukang tagih kas RT yang kadang sudi berkunjung ke rumahnya.
Sebagai perempuan yang harusnya masih menghabiskan masa mudanya, Wati terpaksa harus berubah secara tiba-tiba menjadi seorang ibu. Tangisnya pecah di malam-malam yang sepi saat menyadari bahwa Ia hanyalah perempuan yang dimanfaatkan oleh Rojali untuk kesenangan sesaat. Ia tak tahu apa itu kasih sayang seorang suami, yang Ia terima hanya jatah bulanan untuk memenuhi kebutuhan hariannya.
Tok tok tok
Terdengar ketukan pintu di suatu pagi.
"Iya? Ada yang bisa saya bantu?" Sapa Wati pada kedua tamunya. Menerima tamu laki-laki membuatnya teringat kembali detik-detik itu.
"Mau ngukur tanah, Mbak," ujar salah satu tamunya tak peduli pada sapaan basa-basi Wati.
"Tanah? Tanah yang mana, ya?" Wati bingung, pasalnya Ia tidak tahu menahu pasal harta suaminya.
"Tanah samping rumah ini, punya Rojali. Kami cuma mau ngasih tahu Mbaknya, biar nanti nggak dikira ngganggu, begitu saja sih," lelaki satunya yang mengenakan baju biru menjelaskan maksud kedatangannya.
Wati baru tahu kalau sawah yang membentang di samping rumahnya adalah sawah Rojali.
"Oh, ehm, kebetulan saya istrinya. Tapi kenapa suami saya nggak bilang kalau ada yang mau ngukur tanah ya?" Ujar Wati dengan gugup.
"Hah? Istri? Istri … istrinya lagi? Istri yang ke berapa, Mbak?" Kedua tamunya terlonjak.
Wati terdiam, Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sisanya, Ia merasa malu. Kedua tamunya juga diam membeku sesaat.
"Eh, maaf Mbak, maaf. Kami tidak bermaksud menyinggung apapun," ujar si baju hijau dengan wajah menyesal. Sedangkan yang baju biru mendukung maksud temannya.
"Kami hanya pesuruh, Mbak."
"Jadi, mohon lupakan saja ucapan kami tadi," keduanya memandang Wati dengan iba. Sementara Wati tidak tahu ada apa dengan kedua tamunya.
"Iya, Pak. Nggak apa-apa. Rencananya kapan pengukuran tanahnya?" Wati berusaha mengembalikan bahasan mereka.
"Hari ini."
"Sekarang," sambung satunya lagi.
Sawah dan tanah pekarangan yang sebagian dibangun menjadi rumah Wati, sudah ada sejak lima belas tahun yang lalu, sejak Wati masih harus disuapi Ibunya ketika makan. Sejak itu, tanah tersebut sudah bersertifikat atas nama Rojali.
Umur Wati dan Rojali memang sangat jauh, Wati baru menginjak delapan belas tahun sedangkan Rojali sudah hidup setengah abad lebih. Keberadaannya di rumah terus karena dilarang bepergian oleh Rojali cukup menguntungkannya, karena tidak harus mendengar cacian orang lain bahwa mereka seperti seorang ayah dan anak gadisnya.
Enam belas tahun yang lalu ….
Mobil sedan berwarna hitam mengkilap berhenti di depan kediaman Rojali muda. Hari sudah menjelang tengah malam, namun Rojali tahu perempuan itu akan datang. Daun pintu terbuka dan menampakkan perempuan bergaun merah terusan tanpa lengan. Rojali sudah menunggunya di ruang tamu. Anak muda yatim piatu yang menempati rumah peninggalan orangtuanya itu merasa sedikit grogi untuk bertemu perempuan sekelas Nirmala.
"Ekhmmm," Nirmala berdeham manja. Suaranya cukup kontras meski Ia tidak lagi bisa dikatakan gadis. "Jadi, gimana? Udah ada pandangan?" Tanya Nirmala langsung menuju topik.
"Saya sudah mencatat tanah-tanah mana saja yang tak bertuan, Nyonya," jawab Rojali.
"Bagus! Semoga seperti apa yang Nyonya Besar inginkan," tanggap Nirmala.
"Lalu, apa yang harus saya lakukan lagi, Nyonya?"
"Ya disertipikat lah, begitu saja nggak tahu," ketus Nirmala sembari menyilangkan tangan di dada.
"Tapi, tanah itu tidak bertuan. Bagaimana bisa disertipikat, Nyonya?"
"Hei, tanah tak bertuan itu justru sangat mudah disertipikat. Kamu tinggal ajukan surat pernyataan untuk membayar pajak tanah. Lalu, secara otomatis hak atas tanah itu ada padamu. Kalau sudah begitu, tinggal disertipikat" papar Nirmala panjang lebar.
"Atas nama Nyonya besar?"
"Atas nama kamu lah, mana bisa atas nama Nyonya Besar," Nirmala memutar bola matanya, bicara dengan anak seperti Rojali memang harus sabar.
Rojali mengangguk-angguk.
"Heh, jangan senang dulu. Atas nama kamu itu bukan berarti jadi milikmu. Artinya justru nyawamu yang jadi taruhan. Ngerti?" Nirmala memberi peringatan.
Rojali pun menjalankan misinya seperti apa yang dikatakan Nirmala. Semuanya berjalan lancar. Tanah-tanah tak bertuan sekarang sudah memiliki tuan yang tak punya kuasa, tuan yang hanya mengorbankan namanya untuk dicantumkan di sebuah sertipikat orang lain, Sang Nyonya Besar.
Akhirnya Rojali dapat rebahan dengan tenang setelah seminggu penuh kesana kemari tanpa henti. Ia cukup cerdik meski hanya mengenyam pendidikan sampai kelas tiga Sekolah Dasar. Pada masanya, Ia termasuk orang yang berpendidikan dan beruntung karena bisa baca tulis.
Pikirannya menerawang kejadian siang tadi.
"Yon, ayolah," tukas Rojali.
"Malas lah, Pak Dhe. Mumpung terang saya mau menerbangkan layang-layang," jawab Yoyon. Rojali tak putus asa merayu bocah tiga belas itu untuk menemaninya.
"Yon, nanti saya traktir bakso, lah," ujar Rojali.
"Serius, Pak Dhe?" Yoyon seperti mendapat emas satu ranjang. Makan saja tak tentu bisa setiap hari, ini Rojali malah mau mentraktirnya bakso?
"Iya," Rojali lega.
"Ayo. Emangnya Pak Dhe mau ditemani ke mana?" Ujar Yoyon polos.
"Mau ke rumah saudara," jawab Rojali berbohong.
"Kenapa nggak minta antar sepupu atau paman?" Tanya Yoyon lagi.
"Saya itu orangnya nggak enakan. Yon, asal kamu tahu. Pikiran orang dewasa itu nggak sesimpel anak-anak sepertimu," cerocos Rojali.
Keduanya berjalan menuju jalan besar lalu menaiki andong. Setelah sampai di persimpangan, Rojali meminta kusir untuk berhenti lalu Ia turun di situ.
"Kita udah sampai, Pak Dhe?"
"Belum, kita nyeberang sawah itu, nanti tembus jalan raya lagi, nah baru naik andong lagi. Itu namanya nerobos, Yon," ujar Rojali.
"Oh, biar cepat. Mantap, Pak Dhe," Yoyon mengacungkan jempolnya.
Setelah tiga jam lebih menempuh perjalanan dengan berganti-ganti kendaraan, akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan joglo tua. Kayu jati berukir yang dicat coklat gelap menjadi interior utama bangunan tersebut. Terkesan antik dan sakral.
Rojali mengetuk pintunya. Sang empunya rumah membukakan pintu dan menyilakan kedua tamunya masuk. Lelaki beruban dengan blangko yang terlihat usang sudah tahu maksud kedatangan Rojali sejak Ia memandang mata lelaki itu.
"Kenapa Kau bawa bocah ini, Jali?" Ucap Lelaki itu tak suka.
"Lho, memangnya pantangan, Mbah?" Rojali menjawab dengan pertanyaan.
"Enggak. Tapi dia masih anak-anak, takutnya dia belum bisa menjaga rahasia. Saya pun nggak punya hak untuk menutup mulutnya kecuali orangtuanya mengizinkan," jawab Mbah Argo, nama Orang Tua itu.
***