Setelah berbasa-basi, Mbah Argo mengajak Rojali untuk masuk ke ruang khusus. Yoyon mendesah frustasi ketika harus ditinggal di ruang tamu yang suram itu sendirian. Mbah Argo dan Rojali duduk bersila dengan saling berhadapan.
"Apa kamu siap memenuhi syarat-syaratnya, Jali?" Ujar Mbah Argo serius.
"Siap, Mbah," jawab Rojali mantap.
"Baik, ini syarat-syaratnya," Mbah Argo menyodorkan gulungan daun pisang kering. Di daun itu nampak guratan-guratan yang masih bisa terbaca. Entah mengapa harus ditulis di daun pisang, hanya Mbah Argo yang tahu.
"Selain harus memenuhi persyaratan itu, ada juga pantangan yang tidak boleh kamu langgar," ujar Mbah Argo. Lagi-lagi Ia mengambil benda lain yang tak kalah anehnya, kini kulit binatang yang sudah diawetkan. Daftar pantangan itu juga ditulis di permukaan kulit binatang. Rojali membacanya dengan saksama.
Setelah selesai mengurus perjanjian dengan Mbah Argo, Rojali mengajak Yoyon kembali pulang. Di perjalanan pulang, Rojali tampak diam tidak seceria saat berangkat. Saat Yoyon menagih janjinya mentraktir bakso, Ia malah memberi Yoyon sejumlah uang dan memintanya untuk membeli sendiri dengan uang tersebut.
"Maaf, Yon. Kamu beli sendiri saja, ya. Aku agak tidak enak badan ini," ujar Rojali sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang telah usang.
"Wah, mungkin Pak Dhe masuk angin," tanggap Yoyon menerima uang itu. Wajahnya tidak dialihkan dari pandangan Rojali.
Itulah mengapa Yoyon tahu rahasia Rojali secara detail walau Rojali tak pernah mengatakannya. Yoyon memang masih lima belas tahun waktu itu, tapi pikirannya jenius. Rojali memiliki perjanjian rahasia. Hampir apapun yang terjadi, maupun apa yang Rojali lakukan di masa kini berhubungan dengan perjanjian itu.
"Kamu tahu Yon, saya akan jadi orang kaya sebentar lagi," ujar Rojali di suatu hari kalap.
"Lho, Pak Dhe kan nggak bekerja. Paling cuma kuli bangunan atau buruh tani, mana bisa jadi orang kaya? Jangan mimpi, Pak Dhe," Yoyon menjawab dengan sewot pura-pura lugu.
Rojali hanya tersenyum simpul dan tidak jadi melanjutkan ucapannya. Tadi Ia hanya keceplosan dan untung saja Yoyon tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yoyon menghela nafas, Ia bimbang untuk menyikapi perubahan tabiat lelaki di depannya. Sekarang lelaki itu berubah menjadi tamak dan keji, akan ada banyak korban di masa yang akan datang.
Waktu demi waktu berlalu dan Yoyon menghindari Rojali dengan pelan tapi pasti. Ia akan pura-pura sibuk lembur atau ada tontonan kesukaannya yang tak bisa Ia tinggalkan. Rojali pun kian lama kian disibukkan oleh urusan bisnisnya. Mereka semakin jarang bertemu, bahkan bisa dihitung dengan jari per bulannya.
Satu tahun kemudian, berita yang menggemparkan seluruh sudut negara membuat bayang-bayang spekulasi Yoyon semakin nyata. Ibu negara wafat. Jalan api Rojali akan semakin mulus.
Entah berhubungan dengan kebijakan pemerintah atau tidak, wafatnya Ibu negara membuat perekonomian gonjang ganjing, bentrokan kecil hingga besar terjadi di tempat-tempat yang biasanya aman tenteram, dan terjadinya kematian-kematian misterius, termasuk di tempat yang tak jauh dari Yoyon hidup.
Rojali berkunjung kembali ke kediaman Mbah Argo, kini Ia berangkat sendiri dengan sepeda motornya. "Weh, pilihanmu kok bagus, Jali," ujar Mbah Argo yang langsung keluar rumah saat mendengar deru motor dari kejauhan.
"Vespa keluaran terbaru, Mbah," tanggap Rojali sembari menyunggingkan senyum.
"Sini masuk dulu, Jali. Gimana rejekimu, lancar?" Mbah Argo bercengkerama dengan akrab.
"Alkhamdulillah, Mbah," sahut Rojali.
"Ada apa lagi, Jali? Saya rasa tidak ada apa-apa dengan bisnismu, tidak ada firasat apapun," ucap Mbah Argo. Padahal sebenarnya Ia sudah tahu maksud kedatangan Rojali, tapi Ia akan lebih senang jika mendengar langsung dari mulutnya.
"Mbah bisa muluskan lagi, enggak?" Ujar Rojali sekenanya.
"Apa yang ingin kamu lakukan?" Mbah Argo belum puas dengan ucapan Rojali. Apanya lagi yang perlu dimuluskan?
"Melenyapkan utusan dari atas, si Nirmala itu. Apa Dia punya tameng, Mbah?" Ujar Rojali dengan gamblang.
Seringai Mbah Argo muncul, "Akan saya ikhtiarkan, Jal. Mana fotonya?"
Rojali mengeluarkan secarik kertas agak tebal dari dompetnya. Mbah Argo mengangguk-angguk memandangi foto perempuan itu. "Sebenarnya, semua utusan dari atas itu punya tameng dan senjata. Tapi, bisa kita atasi dengan mencari kelemahannya dan pantangannya. Kau ingat waktu kita membahas pasal pantangan?"
"Iya, Mbah," jawab Rojali.
"Nah, itu jangan sampai orang lain tahu apa pantanganmu. Karena mereka akan tahu kelemahanmu," peringat Mbah Argo. Rojali mengangguk-angguk.
"Mbah, saya sudah transfer. Tolong dicek ya, Mbah," Rojali mengingatkan Mbah Argo.
"Ya, nanti Marni yang ngecek. Emangnya kamu transfer berapa Jal?" Mbah Argo mengangkat wajahnya dari kertas 4x6 itu.
"Sepuluh juta, Mbah," jawab Rojali.
"Busyet, jangan-jangan duitmu kamu transfer ke rekening saya semua ya, Jal?" Mbah Argo terlonjak.
Rojali hanya tersenyum, jawaban singkat yang tak perlu Ia ucapkan.
"Tapi kamu cerdas, Jal. Setelah usahamu kali ini, pasti uangmu akan berlipat ganda," Mbah Argo mencium kelicikan Rojali, tapi Ia tak melarang.
Bagi Rojali, hanya Nirmala lah satu-satunya manusia yang harus dilenyapkan. Itu harus Ia lakukan dengan segera. Dengan begitu, tanah-tanah yang dibeli Nyonya Besar dan disertipikat atas nama dirinya akan benar-benar menjadi miliknya. Rahasia ini hanya Nirmala yang tahu, dan Nirmala pula ancaman terbesarnya karena kemungkinan besar Ia akan menyita sertipikat-sertipikat tanah tersebut dari tangan Rojali.
'Nirmala harus mati!' Geram Rojali.
Sesuai penerawangan Mbah Argo, sedan mewah hitam mengkilap itu datang lagi ke rumah Rojali. Rojali sudah tahu bahwa Nirmala akan menyita sertipikat-sertipikat tanah itu. Namun Ia telah membuat rencana, dengan hati yang berdebar antara tak sabar dan grogi, Rojali membukakan pintu untuk perempuan itu.
"Mari, Nyonya," ujar Rojali sopan seperti biasa.
"Mengapa Nyonya tidak mengabari dulu kalau mau datang, untung saya belum tidur," Rojali berbasa-basi dengan ramah.
"Itu kehendakku untuk datang ke rumahmu kapan saja," sahut Nirmala ketus.
"Owh, ada kepentingan apa, Nya?"
"Aku ingin melihat sertipikat-sertipikat itu, Rojali," jawab Nirmala lugas.
'Inilah saatnya,' batin Rojali.
"Mmm, sertipikatnya saya simpan di gubuk rahasia di belakang rumah saya, Nyonya," jawab Rojali.
"Gubuk rahasia?" Nirmala mengerutkan dahi. Mengapa harus di sana?
"Iya, Nyonya," jawab Rojali masih dengan wajah lugu.
"Tunjukkan di mana tempatnya," ucap Nirmala dengan datar. Kesabarannya mulai hilang menghadapi kebodohan Rojali di depannya. Bagaimana bisa sertipikat-sertipikat itu disimpan di tempat yang terpisah dari rumahnya.
Ia mengikuti langkah Rojali di depannya. Mereka berjalan melewati pekarangan, arahnya menuju pinggiran sungai. Memang di depan sana tampak gubuk kecil. Tapi, Nirmala tidak tahu bahwa bukan itu tujuan Rojali membawanya ke tempat ini.
Aroma jahe menyeruak. Rojali mengelabuhinya! Belum sempat Ia mengambil ancang-ancang, tiba-tiba Rojali menghantamkan balok kayu ke pundaknya. Nirmala baru sadar bahwa tubuhnya tak lagi kebal. Kekuatannya telah pudar.
"Rojali, apa yang Kau lakukan!" Serunya sambil menahan sakit sementara tubuhnya sudah terjerembab ke belakang.
"Mampus, Kau. Nirmala!"
Lagi-lagi Rojali menghantamkan balok besar itu, kini tepat di kepala bagian belakang Nirmala.
"Aghhh," erang Nirmala.
"Rojali, kua … lat … ka … muh." Nirmala jatuh tersungkur dan tidak mengeluarkan suara lagi.
Rojali menyeret mayat naas itu dan membuangnya ke sungai. Lalu membereskan darah yang sedikit tercecer dengan cepat.
***