Perjodohan keluarga. Penyakit keturunan yang diturunkan oleh keluarga konglomerat kepada anak-anaknya. Sebuah ikatan yang kata mereka, tali silaturahmi untuk menjaga hubungan baik antara dua buah keluarga. Bodohnya, penyakit itu selalu dipelihara dan diterapkan bahkan di era milenial seperti sekarang. Para konglomerat berlomba-lomba mencari calon mantu idaman untuk putra-putri semata wayang mereka. Dengan mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot yang tidak bisa dikatakan sembarangan. Harus yang berkualitas, latar belakang jelas dan juga sederajat, baik itu dari materiel dan non materiel.
Pernah mendengar bukan, naskah klasik yang seperti ini, entah dalam novel, film atau bahkan serial TV. Kumpulan scene dengan konsep yang selalu sama, dimana dua tokoh utama terpaksa menikah, saling membenci karena perjodohan mengikat mereka, lalu pada akhirnya saling jatuh cinta karena sudah terbiasa bersama. Cerita klasik yang sangat disukai para penikmat melodrama.
Salah satu adegan dalam drama itu adalah pertemuan pertama seperti saat ini. Dua orang dewasa yang berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap tajam serta ekspresi yang sulit ditebak. Lalu kemudian adegannya berubah dimana mereka akan saling men-scanning penampilan masing-masing. Dua orang ini saling mengamati secara terang-terangan tanpa merasa tidak enak pada yang ditatap. Mereka saling mensortir, apakah orang di hadapannya layak atau tidak menjadi pasangan hidupnya.
Si pria selesai terlebih dahulu, pria itu melirik kursi kayu tanpa penghuni di sebelahnya. "Bisa kita pindah ke adegan berikutnya, Nona Briena?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja, Tuan Vian." Perempuan gaun hitam itu menjawab dengan anggun. Mereka kemudian duduk saling berhadapan.
Setelah menilai penampilan dari masing-masing pasangan, mereka akan mulai membicarakan tentang visi dan prinsip masing-masing mengenai perjodohan ini, juga mengenai pandangan pernikahan kedepannya. Setelahnya meeka baru bisa melakukan tandatangan kontrak perjodohan. Membahas apakah mereka memutuskan untuk lanjut atau tidak. Memilih bertahan pada skenario klasik ini atau tidak. Menerima tawaran orangtua mereka atau tidak.
"Well, aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi, tokoh klasik dalam novel atau cerita non-fiksi. Aku tidak suka di cap sebagai anak durhaka dan juga pengecut karena lari dari perjodohan ini. Aku tidak percaya dengan istilah cinta datang karena terbiasa dan terakhir... aku tidak suka penolakan," terang pria itu dengan nada datar, tegas dan penuh keyakinan. Pria bernama Vian itu baru saja mengutarakan visi dan prinsipnya mengenai perjodohan ini dan kesimpulannya, ia menyetujui perjodohan ini.
Briena tersenyum separo mendengar penuturan pria itu, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dengan tatapan yang mengarah tepat pada 2 retina milik pria itu. "Kalau begitu kita sama," ucapnya memulai. "Aku mempercayai bahwa pernikahan itu hanya sekali seumur hidup. Tidak ada istilah marriage contract atau perjanjian apapun dalam hidupku dan aku juga tidak menerima penolakan," lanjutnya dengan suara yang tidak kalah tegasnya. Semakin memperlihatkan bawah perempuan itu bukan perempuan sembarangan. Briena juga menyetujui perjodohan ini.
"Aku setuju."
Adegan selesai.
Kontrak telah disepakati.
Dua orang ini memutuskan untuk menerima perjodohan yang ditawarkan orangtua masing-masing. Saling menyetuji bahwa perjodohan ini adalah takdir yang harus mereka jalani. Perjodohan adalah cara Tuhan untuk mempersatukan mereka dalam ikatan bernama pernikahan. Berprinsip bahwa pernikahan haruslah sekali dalam seumur hidup. Mereka tidak ingin bermain-main dengan ikatan suci ini, menodainya dengan sesuatu yang tidak berguna dan terdengar konyol seperti kontrak pernikahan.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar kekasihmu? Kalau kau ingin tahu, dia adalah salah satu klienku dalam bidang kuliner."
Pria itu berujar santai, punggungnya dia sandarkan ke belakang kursi, tersenyum ke arah Briena yang terlihat seperti sebuah ledekan untuk perempuan itu. Ekspresi yang ada di wajah cantik Briena sedikit berubah saat Vian menyebutkan perihal 'kekasih'. Namun dengan cepat Briena mengembalikan ekspresinya senormal mungkin, berusaha agar terlihat tidak terganggu dengan kalimat pria itu.
Briena tersenyum tipis. "Kau terlihat tidak perduli dengan perjodohan ini, tapi ternyata sudah mencari tahu semua hal tentang calon istrimu, bahkan rahasia yang tidak diketahui oleh publik."
"Tidak peduli bukan berarti tidak waspada. Aku hanya sedikit penasaran dengan kehidupan calon istriku saat ini." Briena bergerak gelisah di tempat duduknya dan pria itu mengetahuinya. "Aku tidak menyangka perempuan independent sepertimu memiliki pasangan tetap, aku kira kau akan mencari pasangan sekali ganti atau memutuskan untuk sendiri sampai pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Kau menunjukan bahwa manusia itu makhluk sosial," celoteh pria bermarga Adhyasta tersebut semakin membuat Briena geram. Harga diri perempuan itu sedang di remehkan oleh seorang pria yang sial-nya sebentar lagi akan menjadi suaminya.
Briena mengeratkan rahangnya sebelum kemudian tersenyum penuh arti. "Sepertinya aku harus berterimakasih karena kebaikanmu mencari tahu tentangku, aku jadi tidak perlu mengkonfirmasi dongeng dari informanmu tentangku," ucapnya dengan tenang. "Ehm, bagaimana kalau pertemuan selanjutnya, kau saja yang bercerita? Misalnya, tentang hubunganmu dengan 'kekasihmu' yang menjadi model di Paris." Kali ini kalimat pedas dari mulut Briena berhasil membuat pria yang selalu tenang itu sedikit terusik.
1 : 1 untuk skor mereka.
"Hahahahaha," tawa pria itu langsung meledak, ternyata bukan dia saja yang mencari tahu latar belakang calon istrinya, tapi perempuan di hadapannya juga. Cukup pintar dan pria itu menyukainya. "Aku cukup terkesan dengan langkah yang kau ambil. Aku kira kau orang yang man͢͢͢--"
"Manja, cengeng, lemah lembut, mudah terpengaruh. Sayangnya semua sifat baik seorang putri tunggal kebanyakan tidak ada padaku. Aku orang yang cukup ambisius, jenius, tidak mudah terpengaruh dan aku tidak manja apalagi cengeng," ujar Briena sangat percaya diri tanpa berusaha menutup-nutupi.
"Baiklah." Pria itu mengangguk. "Karena kita berdua bukan tipe orang yang suka memperumit masalah, jadi aku rasa 3 bulan lagi kita bisa langsung bertunangan dan pernikahan akan dilakukan 6 bulan setelah kita tunangan. Kau tidak berniat untuk beradu argumen dengan keluargamu, bukan?"
"Sama sekali tidak. Aku tidak suka berusaha merubah sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa diubah," ujar Briena tenang dan jawaban dari mulutnya membuat pria itu tersenyum tak kentara.
"Aku setuju."
"Aku rasa pertemuan kita cukup sampai di sini saja. Kau pasti sudah tahu semua tentangku dari informanmu, tidak perlu membuang waktu lebih lama lagi, ujar Briena berdiri.
"Baiklah, sampai jumpa."
Awal kisah ini telah dimulai. Perjodohan antara dua pewaris perusahaan raksasa di Indonesia telah di sepakati. Untungnya dua pihak yang terlibat perjodohan ini mengikuti aturan tanpa ada niatan untuk membangkangnya dan membuat kisah perjodohan mereka menjadi memuakkan layaknya drama sinetron.
Seperti yang mereka sepakati tadi, pernikahan hanya sekali seumur hidup. Tanpa kontrak di atas kertas dengan tandatangan serta aturan dari masing-masing pihak. Tanpa drama memuakkan seperti balas dendam, benci jadi cinta dan sejenisnya, well, meski begitu, mereka tak memungkiri bahwa hubungan mereka nanti tak lepas dari yang namanya lust dan juga perdebatan.
Wajar kalau mereka membutuhkan kenikmatan dari sebuah pernikahan, toh mereka sudah sah.
Mereka juga menghindari skandal memuakkan yang terkait dengan perselingkuhan. Akan sangat merepotkan kalau sampai ada berita yang melibatkan kata memalukan seperti 'perselingkuhan' pada nama mereka berdua. Hidup mereka sudah cukup repot dengan berita-berita tak jelas yang terkadang kebenarannya belum terkonfirmasi oleh pihak terkait. Para pencari berita terlihat berlebihan sekali saat menulis kisah yang terjadi pada mereka berdua.