webnovel

My Soully Angel (Jodoh Sang Dewa Api)

Yafizan - Diturunkan ke bumi akibat serangan fatal dari kekuatannya membuat seorang gadis meninggal karena melindungi adik calon suaminya. Dia selalu bersikap arogant dengan emosi yang meluap - luap karena sifat alami apinya. Tinggal di bumi hampir seribu tahun lamanya bersama asisten yang diperintahkan untuk menjaganya selama di bumi. 1000 tahun kemudian dia dipertemukan dengan reikarnasi gadis yang tanpa sengaja diserangnya, dan gadis itu selalu menolongnya sedari kecil - Soully. Kejadian tak terduga membuatnya keduanya terikat dalam pernikahan.

GigiKaka · 奇幻言情
分數不夠
100 Chs

Bab 93

Erick dan Soully mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang menyahut perdebatan mereka. Mereka baru disadarkan akan kehadiran Miller yang berada di ruangan yang sama.

"Soully akan tinggal bersamaku," ucap Miller sembari berjalan mendekati Soully. "Mari, kita pulang." mengulurkan tangannya meminta untuk disambut.

Sejenak Soully meragu. Kenapa atasannya ini masih berada di sini? Apakah tindakannya benar jika ia menerima uluran tangan itu dan tinggal bersamanya?

Seseorang datang membuka pintu ruang perawatan Soully dan mendobraknya dengan tergesa.

"Nona, kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang terluka? Bagian mana yang sakit?" Elly datang dan langsung membombardir dengan pertanyaan.

"Aku baik-baik saja." Soully menangkup kedua tangan dan menengkan Elly.

"Maafkan aku. Aku tadi malah benar-benar meninggalkanmu. Aku kira kau memang akan pulang bersama..." Elly melirik Miller yang ada di samping Soully. "Suami...mu," lanjutnya lirih.

Soully mengikuti lirikan mata Elly, entah harus dengan cara apa agar temannya itu tahu bahwa Miller bukan suaminya. "Tidak, aku..."

"Kau akan pulang," tukas Miller. "Bersamaku. Kita pulang,"

"Ta-tapi..."

"Nona, suamimu benar, kau memang harus pulang bersamanya. Aku memang tak tahu apa masalahmu, tapi tak baik jika kau berlama-lama meninggalkan rumahmu. Selesaikan masalah kalian." Elly menyahut membuat Soully tak bisa berkata-kata.

Pun dengan Erick yang terdiam akan fakta baru yang diketahuinya. Soully tak bersama Yafizan.

Soully melirik ke arah Erick yang memasang wajah sendu sekaligus raut kekecewaan padanya. Melalui tatapan matanya Soully meminta maaf karena tak jujur pada pria yang sudah ia anggap sebagai kakak itu.

***

"Apa ada sesuatu yang mau kau katakan, Angel?" tanya Erick memecah keheningan yang sebelumnya terbentang di antara mereka.

Ya, kini Erick dan Soully sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Setelah sempat terjadi drama perdebatan tentang Soully yang harus pulang ke mana dan ikut siapa, sekarang, di sinilah mereka berdua duduk berdampingan dengan suasana yang sedikit memanas. Yang satu menahan diri agar tak tersulut emosi, sedang yang satunya berusaha menutupi segala apapun yang terjadi padamya.

"Mau...bicara apa?" gugup Soully.

"Katakan, setelah aku mengantarmu waktu itu, minggu lalu. Apa yang terjadi setelahnya?" Erick bertanya dengan kalimat yang ditekankan.

"A-aku..."

"Jawab, Angel! Jangan membuatku kesal," geram Erick. Membuat Soully sedikit berjingkat akan geraman Erick yang terdengar membentak dirinya. Erick tersadar, perkataannya membuat Soully ketakutan, dan ia tak ingin perempuan yang disayanginya ini takut padanya.

"Maaf,"

Soully menggelengkan kepalanya. "Tidak apa, aku mengerti. Maafkan aku karena tak bisa menceritakan segalanya pada Kakak. Ya, suamiku tak bisa mengingatku. Entah mengapa, setelah lama menghilang dan pada akhirnya ia kembali, tapi dia sama sekali tak bisa mengingatku, istrinya sendiri. Sungguh ironis, bukan?"

Keheningan kembali terbentang. Erick hanya menatap wajah Soully yang terlihat sendu, matanya sudah berkaca-kaca. Walau bibirnya mengulas senyum agar terlihat baik-baik saja.

"Apa kau tau mengapa Yafi begitu?"

"Entahlah. Kak Rona bilang ini ujian cinta kami."

"Apa mungkin ini karena Ayahanda Baginda Raja?" bathin Erick.

"Nona, apa kau sudah selesai? Hari sudah semakin malam, kau juga harus beristirahat," sahut Elly menginterupsi obrolan Erick dan Soully.

Ya, setelah tadi terjadi drama yang memperdebatkan harus di mana Soully tinggal, pada akhirnya Soully memutuskan untuk ikut bersama Elly. Miller pun mengalah dan tak memeksa. Dan sekarang, sedari tadi, Elly menunggu untuk mempersilahkan dua orang yang sedang duduk berdua di taman ini untuk mengobrol.

"Kurasa, obrolan kita sampai di sini. Aku pulang dulu ya, Kak," pamit Soully.

"Baiklah." sambil beranjak dari tempat duduknya. "Karena dia memilih untuk tinggal bersamamu, aku titip Soully padamu. Terima kasih sudah menjaga Soully selama ini," ucapnya bersyukur karena ia melihat ketulusan dalam diri Elly.

Dan Elly pun hanya mengangguk dan tersenyum sampai akhirnya ia membopong Soully untuk pamit.

***

Dua minggu berlalu, hari-hari mereka dipenuhi dengan menjalankan aktivitas yang seperti biasanya. Selama dua minggu ini Elly tak pernah membahas masalah tentang ketidakpulangan Soully. Fikirnya, mungkin waktu yang bisa menjawab semuanya.

Pun dengan Yafizan yang tidak bisa dihindari karena mereka bekerja di gedung yang sama.

Selalu ada rasa yang bergejolak dan tatapan sendu dari mata mereka jika keduanya saling bertemu dan bersitatap.

Sampai kapan suaminya akan mengingatkan kembali?

Dan seperti biasanya pula, setiap pagi rasa mual selalu menyerang diri Soully. Namun, baginya itu adalah hal luar biasa yang ia alami sekarang. Apalagi titipan tuhan dalam rahimnya adalah anugerah yang paling berharga untuknya saat ini. Mengingat bagaimana dulu suaminya sangat menginginkan Yafizan junior segera hadir dalam kehidupan mereka. Apapun masalah yang sedang ia hadapi, Soully selalu bersyukur dan menjalani harinya dengan bahagia. Demi anak yang sedang bertumbuh dalam rahimnya.

Ada hal yang begitu mengejutkan bagi seluruh karyawan yang bekerja di dalam gedung perusahaan tempat dirinya bekerja. Suara bisik-bisik dan hebohnya karyawan wanita membuat Soully menghentikan makan siangnya.

"Kenapa ribut sekali?" gumam Soully merasa kesal, ia meletakkan sendok makannya.

Entah mengapa selama fase kehamilan ini membuatnya selalu saja perfectionist. Bahkan saat makan saja, biasanya ia yang selalu heboh, kini paling tidak suka ada orang yang mengganggu makannya. Bila difikir-fikir, dulu Yafizan selalu bersikap seperti ini bila sedang makan.

"Kenapa tidak kau habiskan makananmu?" Miller yang sedang menemaninya memperhatikan jika Soully sedang tak berselera.

"Berisik sekali, aku jadi malas," cebik Soully.

Miller tergelak, "Yakin tidak menghabiskan makananmu?"

"Kenapa Anda sepertinya meledekku?" menghunuskan tatapan sinis.

"Kau sungguh menggemaskan, Sayang," tawa Miller pecah.

"Oh, my god!" pekik Elly tiba-tiba ketika ia melihat notifikasi dalam grup chat-nya.

"Ada apa?" tanya Soully.

"Lihat ini!" tunjuk Elly mengangkat ponselnya untuk diperlihatkan kepada temannya itu.

Soully menerima benda pipih itu dari tangan Elly, lalu ia melihat isi dari pesan yang Elly terima. Mata Soully membulat penuh, ia merasa terkesiap akan apa yang sudah ia lihat dan baca sehingga membuat ia menjatuhkan ponsel Elly di atas meja. Hatinya seketika hancur setelah tahu mengapa orang-orang di kantin begitu heboh dan mengganggu makan siangnya.

"Ada apa?" Miller yang melihat perubahan ekspresi Soully langsung mengambil ponsel Elly yang ia jatuhkan.

Tanpa bisa dicegah air mata itu lolos begitu saja. Entah karena hormon kehamilannya atau karena memang hatinya yang begitu sakit ketika mengetahui akhir pekan ini suaminya itu akan melaksanakan pesta resepsi pernikahan bersama Tamara.

"Soully, kau kenapa?" Elly yang begitu terkesiap akan sikap Soully seketika merasakan apa yang Soully rasakan.

Elly mengalihkan pandangannya kepada Miller yang sedang mencengkram ponselnya seakan ingin meremukan benda pipih itu.

"A-aku baik-baik saja." Soully mengusap cepat air mata yang mengalir dari pipinya, seutas senyum yang nyaris tak terlihat Soully tunjukkan. "Aku sudah kenyang, aku pamit duluan ya."

Soully beranjak dari tempat duduknya, disusul Miller kemudian. Elly tampak bingung. Memangnya apa yang salah dengan kabar resepsi pernikahan itu? Bukankah sangat menyenangkan akan ada pesta besar-besaran yang diselenggarakan di aula gedung perusahaan ini? Apalagi pesta itu mengundang seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan ini tanpa kecuali.

***

Yafizan duduk di kursi kebesarannya. Ia menatap foto-foto pernikahannya dengan Soully yang berada di atas meja kerjanya. Lalu ia menatap sendu foto besar pernikahannya yang terpajang di dinding kantornya. Ia tak ingin melepaskan foto yang terpajang di dinding dan meja kantornya, sekalipun Tamara memaksa. Ia sungguh tidak rela, bahkan amarah langsung menggerogoti dirinya ketika Tamara terus menghardik dirinya akan foto-foto itu.

Sesi foto pernikahan itu begitu nyata. Benarkah itu hanya sesi pemotretan saja seperti apa yang Tamara bilang? Lalu mengapa hatinya begitu sakit jika memang foto itu tak artinya?

"Kau merasa sakit?" tiba-tiba Rona menyahut. Membuyarkan lamunan Yafizan seketika.

"Apa maksudmu?" Yafizan tak mengerti.

"Foto itu." Rona menunjuk dengan dagunya. "Hatimu sakit, bukan?" tanya kembali.

"Kenapa dengan foto itu? Itu hanya sesi pemotretan saja," jawab Yafizan mengelak.

"Hanya foto pemotretan?" Rona tergelak. "Tidakkah hatimu tersentuh saat melihatnya?"

"Entahlah, aku tak mengerti dengan perasaanku." Yafizan merebahkan tubuhnya pada kursi kebesarannya, menghela nafasnya lalu mengusap wajahnya dengan gusar.

"Apa kau yakin akan melaksanakan resepsi pernikahanmu akhir pekan ini? Bersama...Tamara."

"Apa menurutmu ini sebuah kesalahan?"

"Sejujurnya...iya."

"Benar-benar suatu kesalahan?" sudah bangkit dari senderan kursinya.

"Sudahlah, aku bicara juga takkan membantumu. Mungkin aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya karena aku memang dilarang mengatakan segalanya padamu. Lagi pula ketika aku bertekad akan bicara, mulutku ini rasanya terkunci. Tapi mungkin ini bisa membantumu mengingat segalanya." Rona menyerahkan kotak kayu berukuran sedang. Meletakkannya di atas meja. "Jika kau sudah siap, bukalah segera sebelum terlambat. Maaf jika tidak dari awal aku memberikannya. Aku fikir dengan ketulusan hatimu, kau akan mengingatnya semua,"

"Ingatanku memang sudah kembali. Ya...sedikit, dan itu sangat menggangguku. Karena aku tak cukup yakin akan ingatanku. Dalam ingatanku, perempuan yang ada di foto itu adalah istriku. Bahkan ada rasa yang membuncah bahagia di dalam sini." memegang dadanya. "Dan di dalam sini juga terasa sangat menyakitkan ketika perempuan yang sebelumnya kuyakini adalah istriku malah memilih pergi dan mengacuhkanku," sedihnya.

Rona melihat tatapan sendu tuan mudanya itu. Tatapan kerinduan sekaligus kehampaan.

"Lalu, mengapa Anda tidak mengejarnya? Atau mencarinya? Anda bahkan bisa menariknya untuk pergi bersama Anda," cecar Rona.

"Aku ingin! Aku ingin sekali. Tapi, dia lebih memilih untuk berlindung di balik lelaki yang menjadi bosnya," ucapnya bersungut-sungut. "Jadi kurasa dia bukan istriku."

"Dan kau fikir Tamara yang adalah istrimu?" tukas Rona. Yafizan hanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Dan kau percaya?" Rona tergelak, beranjak kembali dari tempat duduknya. Merasa kesal. "Kau memang bodoh, Tuan Muda." sambil lalu meninggalkan tuan mudanya yang tercenung sendirian.

***

Bersambung...