94 Bab 94

Keesokkan sorenya. Sehari sebelum acara pesta resepsi itu diadakan. Hari itu, Tamara berantusias datang ke aula gedung kantor di mana pesta itu akan berlangsung. Dengan sikap arogansi yang memang sangat cocok dengan gayanya, Tamara mengatur serta mengarahkan segala persiapannya dengan cukup teliti.

Besok hari bahagianya. Walaupun sebenarnya Yafizan bukan suaminya, tapi Tamara bersikeras agar kelak bisa mendapatkan Yafizan seutuhnya. Sebagai suaminya yang sah, di mata hukum, pun di mata agama.

Seharusnya ia bahagia, namun ketika menjelang harinya, tiba-tiba saja hatinya merasa tak tenang. Entah mengapa hatinya merasa kosong. Selama ini, Yafizan juga enggan menatapnya. Padahal mereka tinggal bersama dalam satu atap. Pesta ini juga ia inginkan atas keinginannya sendiri. Yafizan tak menolak maupun mengiyakan.

Tamara tak peduli. Persiapannya sudah sejauh ini. Ia tak mungkin mundur kembali. Ia hanya harus terus berusaha untuk mendapatkan hati Yafizan agar bisa mencintainya kembali.

Para karyawan berantusias segera pulang hanya untuk sekedar menyiapkan segala hal yang akan mereka kenakan besok di acara pesta. Terutama kaum hawa yang begitu antusias supaya tampil cantik padahal mereka tahu idola mereka sudah menjadi milik orang lain. Bahkan sebelum pesta esok dilaksanakan. Karena sebelumnya Yafizan sudah pernah mengumumkan perihal istri yang sangat dicintainya.

Soully berjalan dengan langkah gontai. Rasanya ia sudah tak bertenaga karena terlalu banyak mengeluarkan air mata ketika teringat esok suaminya akan melaksanakan pesta yang cukup megah untuk resepsi pernikahannya. Ingin rasanya Soully memberontak dan menentang acara besok. Rasanya ia ingin memporak-porandakan dekorasi hiasan yang sudah tertata dengan rapi dan indah saat langkah kakinya tanpa sengaja melintasi ruang aula itu.

Dekorasi hiasan yang begitu cantik dan indah bagi mata siapapun yang melihatnya. Lampu-lampu kristal yang menggantung sungguh membuat nuansa begitu megah. Soully sendiri merasa takjub. Langkah kakinya yang terhenti di ambang pintu aula membuat dirinya mematung. Ia ingat, ketika acara konferensi pers beberapa bulan lalu diadakan. Suaminya tidak menyebutkan dia adalah istrinya. Walaupun Tamara yang menyebut jika dirinya adalah asisten pribadinya.

Dan sekarang, di aula ini pula suaminya akan bersanding dengan wanita lain. Bukankah seharusnya pesta esok adalah miliknya?

Tanpa bisa di cegah, air mata itu lolos kembali dari pelupuk matanya.

"Sedang apa kau di sini?" suara seseorang membuyarkan kesedihannya.

Segera, Soully mengusap kasar air matanya. Lalu membalikkan badannya kepada seseorang yang bertanya padanya. Soully merasa terkesiap begitu tahu siapa orang itu, orang yang sangat dirindukannya.

"Sedang apa kau di sini?" tanyanya kembali.

Soully mengerjap-ngerjapkan matanya menahan supaya air matanya tak mengalir. "Maaf." dengan menundukkan pandangannya, hanya kata itu yang bisa terucap dari bibir mungilnya. "Permisi," pamitnya tanpa menatap serta melewati Yafizan begitu saja. Soully melangkahkan kakinya untuk keluar pintu aula.

Tanpa diduga, Yafizan meraih pergelangan tangan Soully untuk menahannya. "Tunggu."

Kini mereka saling berhadapan. Tanpa melepaskan cengkraman tangannya, Yafizan menatap wajah Soully lekat-lekat. Ada rasa yang begitu sendu di dalam manik matanya. Pria itu begitu merindukan sosok mungil yang ada dihadapannya saat ini. Rasanya ia ingin merengkuh dan tak melepaskan pelukannya. Ya, memeluknya saat ini tak masalah, bukan?

"Baby!" seru Tamara. Ia muncul tiba-tiba dan menghampiri pasangan suami istri itu. "Ada apa ini? Mengapa kau memegang tangan perempuan ini?" tanyanya sudah di dekat mereka lalu bergelayut manja pada lengan Yafizan.

Soully meronta melepaskan tangannya. "Maaf, tadi aku hanya melihat-lihat saja."

"Hei, mau ke mana?" Tamara menahan Soully.

"Hari sudah sore, Nona. Ini waktu jam pulang kerja. Memangnya kau fikir aku mau ke mana?" Soully berbalik badan lalu tersenyum yang dipaksakan dengan tegar. "Kurasa, tidak ada hal yang harus dibicarakan lagi, bukan? Kalau begitu, permisi," Pamitnya. "Oh ya, selamat untuk pesta perayaan kalian besok."

"Terima kasih. Apa kau mendapatkan undangannya? Kalau belum, aku akan mengirimkannya padamu. Berapa nomor ponselmu? Dengan tulus aku mengundangmu. Iya kan, Baby?" tutur Tamara dengan sengaja membuat Soully terluka.

Hati Soully begitu sakit saat suaminya itu hanya diam saja. "Terima kasih karena sudah mengundangku," sudah berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis.

"Tak perlu undangan, Soully akan datang bersamaku besok. Iya kan, Sayang?" Miller menyahut membuat tiga orang itu menoleh kepadanya.

Miller sudah berdiri sejajar. Dan tanpa segan ia melingkarkan tangannya pada pinggang Soully. Membuat tatapan Yafizan terfokus akan apa yang dilakukan Miller. Manik mata hazelnya menggelap. Tangan Yafizan mengepal erat, rasanya ia tak terima perempuan mungil yang berada dihadapannya itu disentuh orang lain.

Tamara mendengus kesal dalam hati ketika melihat raut muka Yafizan yang berubah kesal saat melihat kedekatan Miller dengan Soully. Terlebih ia pun tak suka akan kehadiran Miller karena hubungan masa lalu mereka. Walau bagaimanapun Miller pernah menjadi pria di hatinya. Bahkan sebenarnya, dalam hati terdalamnya, Tamara masih menyimpan rasa terhadap Miller.

Persengkongkolannya hanya untuk mendapatkan orang-orang yang mereka incar tetap saja kebersamaan serta masa-masa indah yang mereka jalani dulu selama tiga tahun tak membuat momen itu hilang begitu saja. Walaupun ternyata semuanya penuh tipu muslihat hanya karena ingin melancarkan aksi balas dendam yang Miller pupuk dalam hatinya.

Sampai suatu ketika Tamara menyesali karena meninggalkan Yafizan yang mencintai dirinya, dan hari ini, kesempatannya untuk mendapatkan kembali. Tak apa jika cintanya saat ini tak terbalas. yang penting apa yang ingin ia miliki harus ia dapatkan.

"Baby, sebaiknya kita melihat-lihat bagaimana persiapan acara kita besok. Kami permisi dulu. Dan kami tunggu kehadiran Anda, tuan Miller," pamit Tamara mengalihkan Yafizan dari pandangan kecemburuannya. Sudah menarik lengannya, namun Yafizan tetap bergeming pada tempatnya.

"Baby..." menarik kembali lengannya untuk mengajaknya segera pergi.

"Apa hubungan kalian?" mengabaikan Tamara, Yafizan malah bertanya dengan sinis kepada Miller.

"Hubungan kami? Kau lihatnya bagaimana?" Miller tak kalah sinisnya.

"Apa hubunganmu dengannya?" giliran ia bertanya pada Soully.

"A-aku..."

"Hah, aku sudah tau sekarang, kau ternyata memang bukan istriku," pungkas Yafizan. "Pantas saja kau tak ingin ketika kuajak pulang. Selama ini ternyata prediksiku salah. Bayangan dan sekilas ingatan sialan yang menyakiti kepalaku itu ternyata hanya tipuan semata," sambungnya dengan nada sarkasme.

Soully membeliakkan matanya, "Apa maksudmu?"

"Apa maksudku? Kenapa masih bertanya? Bukankah sudah jelas?"

"Baby, ayo kita pergi dari sini. Mengapa kau masih saja meladeni mereka?" ajak Tamara.

Yafizan masih bergeming. "Ternyata kau benar, foto pernikahan itu hanyalah sebuah sesi foto pemotretan saja. Aku fikir dia memang istriku."

"Ternyata semudah itu hatimu goyah. Soully, apa ini pria yang kau tangisi setiap hari? Lelaki ini yang pantas kau puja?" Miller menginterupsi. "Kau," menunjuk dada Yafizan. "Memang tak pantas menjadi suaminya," mendorong Yafizan dengan telunjuknya, lalu menarik Soully pergi.

Yafizan mengepalkan kedua tangannya. Cahaya jingga mulai melingkupi pergelangan tangannya. Bahkan ketika dia bisa mendengar suara hati, tak ada yang bisa ia dengarkan satupun dalam hatinya.

"Dasar murahan," desis Yafizan membuat langkah Soully dan Miller berhenti.

Soully mencengkram erat tangan Miller menahan kesakitan sekaligus amarah dalam hatinya saat Yafizan mengucapkan kata-kata itu padanya. Miller melepaskan pegangan tangannya yang ditahan oleh Soully untuk tidak meladeni suaminya itu. Namun, amarah dalam hati Miller tak bisa dibendung lagi. Dengan paksa ia melepasakan cengkraman Soully padanya lalu sekejap kedipan mata ia sudah mencengkram krah jas yang Yafizan kenakan.

"Jangan pernah mengucapkan kata-kata itu dari mulut kotormu!" geram Miller

Yafizan dengan santainya menepis tangan Miller dari tubuhnya. Lalu ia tertawa sarkasme. "Memang benar apa yang aku katakan, bukan? Dia perempuan murahan yang dengan begitu gampangnya mau diajak pria lain."

"Tutup mulutmu!" bentak Miller.

Yafizan hendak menyanggah ketika Soully menarik Miller supaya tidak mendebat suaminya yang berkata kasar padanya. Sungguh kata-katanya menyakitkan. Tapi Soully tak ingin meladeninya.

"Tidak, Soully. Suamimu ini sungguh keterlaluan. Ini suami yang kau cinta dan kau puja selama ini? Sedang aku yang tulus mencintaimu, tak kau hiraukan!" geram Miller.

Manik mata Soully sudah berkaca-kaca. Ia sungguh tak ingin perdebatan ini terjadi. Jika suaminya memang lupa padanya, biarkanlah. Mungkin ini ujian untuk cinta mereka. Kelak suaminya juga akan ingat padanya, bukan?

Tak apa jika saat ini begitu menyakitkan hatinya. Yang penting suaminya baik-baik saja.

"Kakak, ayo kita pulang." Soully bergetar menahan tangisnya. Telapak tangannya yang dingin menarik lengan Miller untuk segera pergi dari situasi yang menurutnya tak benar.

Miller terperangah ketika Soully memanggilnya 'Kakak'. Sekian lama, ia baru mendengar Soully memanggilnya seperti itu lagi. Suara itu, panggilan yang mendayu-dayu itu, lirih terdengar mengingatkan akan sosok yang sangat ia rindukan.

"Kakak..." tatapan memelas Soully untuk mengajak Miller segera keluar dari aula membuat hati Miller terkoyak.

Yafizan mengepalkan tangannya tatkala ia melihat tatapan Soully pada Miller. Dirinya memang tak tahu apa yang dikatakan Tamara jika Soully bukan istrinya apakah benar adanya. Tapi hatinya selalu berkata lain jika menyangkut tentang Soully. Perasaan rindu, amarah, kesal jadi satu. Seperti sekarang, ia begitu marah ketika Soully lebih memilih Miller dari pada dirinya. Marah? Padahal ia tahu jika besok acaranya bersama Tamara.

"Cepat kau bawa perempuan itu dari sini," perintah Tamara yang merasa kesal ketika dua pria yang ada dihadapannya itu memperebutkan perempuan mungil yang menurutnya tak se-level dengannya.

Dengan tatapan dingin Miller merengkuh tubuh Soully untuk segera menjauh dari gedung aula.

avataravatar
Next chapter