92 Bab 92

Soully memegang pipi kanannya yang terasa kebas. Yafizan menatap marah pada Tamara yang sudah bersikap kurang ajar. "Apa yang kau lakukan?" geramnya.

"Justru apa yang kau lakukan?" balik Tamara. "Istri mana yang tak merasa kesal, suaminya memeluk wanita lain?" bentaknya membuat Yafizan mematung seketika.

"I-istri? Kau istriku?" Yafizan tergeragap.

"Ya. Siapa lagi yang istrimu? Aku istrimu!" perkataan Tamara membuat Yafizan goyah. Di sisi lain dirinya merasa Soully adalah istrinya yang sesungguhnya setelah kilas-kilas bayangan serta mimpi yang membuat kepalanya sakit. Foto pernikahan di dalam ruang kantornya juga pernak-pernik dalam kamarnya pula membuat ia merasa yakin jika Soully adalah istrinya karena ia tahu bagaimana selera Tamara. Tapi di sisi lain dirinya juga bimbang akan ucapan Tamara, mengingat Tamara adalah perempuan yang dulu ia cintai dalam kesibukannya.

Yafizan menatap Soully yang sedang menatapnya dengan tatapan mata yang sendu. Tanpa berkata apapun Soully ingin mengetahui seberapa ingat Yafizan padanya. Tadi Soully sempat bergembira karena suaminya sudah mengingatnya. Tapi melihat sikap Yafizan ia tahu jika suaminya itu belum sepenuhnya mengingatnya.

Yafizan mendekat ke hadapan Soully. Rona yang sedari tadi menyaksikan perseteruan tiga orang di hadapannya tak bisa melakukan apapun. Mengapa mulutnya seakan tak bisa berkata apapun juga. Rasanya ia ingin berteriak mengingatkan tuannya jika ucapan Tamara salah.

"Bos, jika tadi pagi kau bisa mendengar suara hatiku. Maka sekarang harusnya kau bisa mendengarnya. Soully istrimu. Istrimu yang sesungguhnya!" teriak Rona dalam hati yang entah, tuannya itu mendengarnya atau tidak.

"Katakan, jika kau memang istriku!" Yafizan sudah berdiri di hadapan Soully. Menatapnya dengan tegas menginginkan jawaban yang tegas pula.

Soully mendongakkan wajahnya. "Menurutmu, aku siapamu?"

Yafizan menatap manik mata Soully dalam-dalam. Berusaha mencoba mencari kejujuran dalam matanya. "Apa benar kau bukan istriku? Lalu, kenapa foto pernikahan itu terpajang jelas di dalam sana?" tunjuknya ke atas, di mana ruang kantornya berada.

"Baby, foto pernikahan itu hanya sebatas sesi pemotretan promo wedding dress-nya Naomi," tukas Tamara. Membuat Soully yang hendak berkata mengurungkannya.

"Foto promo wedding dress?" beo Yafizan.

"Ya, itu hanya foto wedding dress saja. Sebagai brand ambassador," ucap Tamara meyakinkan. "Kau saja yang berlebihan memajang foto-foto itu di ruang kantormu. Sedang foto pernikahan kita, kau bahkan tak ingin memajangnya karena alasan kita belum melakukan resepsi pernikahan," bohongnya.

Yafizan terdiam, rasanya ia sulit percaya. Benarkah hanya sebagai brand ambassador saja? Naomi, siapakah Naomi? Apa dia juga melupakan sosok Naomi sekarang?

Yafizan menatap Rona yang sedari tadi ada di dekatnya. Rona menggelengkan kepalanya. Entah kenapa mulutnya tiba-tiba terkunci.

"Lalu, mengapa kita melakukannya minggu lalu? Mengapa kau begitu gampangan jika aku memang bukan suamimu? Bahkan sepertinya ini bukan pertama kalinya bagimu," tatapan Yafizan berubah gelap. Mencari kejujuran dari Soully yang ingin sekali di dengarnya.

Tentu saja, karena kau yang pertama mengambil kesucianku. Karena kau suamiku! Ingin rasanya Soully berteriak seperti itu. Apakah Yafizan mendengarnya? Ia tahu jika suaminya itu berkemampuan khusus mendengar suara hati.

"Baby, dia kan memang gampangan," potong Tamara kembali. Sepertinya ia sengaja agar Soully tak bersuara.

"Bos, kenapa kau ini bodoh sekali? Apa kau tak bisa mendengar suara hati lagi?" teriak Rona dalam hati. Dirinya merasa iba Soully tak bisa melawan kata-kata Tamara.

"Apa maksudmu?" Soully tak terima akan perkataan Tamara.

"Kau memang gampangan. Baby, apa kau tahu, dia itu asisten kita sebelumnya. Makanya dia tinggal di apartement bersama kita. Aku mengusirnya karena kebaikan kita, kerap kali ia selalu menggodamu. Bahkan ia sering sekali menginap di rumah dokter pahlawannya. Dan...dia juga menjadi simpanan bosnya,"

"Nona Tamara!!" bantah Soully. Tak terima apa yang Tamara katakan.

"Beraninya kau berteriak padaku?" emosi Tamara kembali mencuat. Hendak melayangkan kembali tangannya. Namun sebelum tangan lentik itu mendarat di pipi mulus Soully kembali, sebuah tangan menahannya. Lalu dengan kasar mencengkram bahkan menghempaskannya dengan kasar.

"Jangan pernah kau melayangkan tangan kotormu itu pada tunanganku!" geramnya dengan dingin dan datar.

Soully menatap ke arah sumber suara itu. Miller, bosnya itu datang menginterupsi sekaligus menolongnya. Tapi situasinya tidak tepat. Dan, apa-apaan tadi? Tunangan? Oh, ini benar-benar situasi yang tidak menguntungkan. Kepala Soully tiba-tiba berputar, pandangannya gelap hingga ia tak sadarkan diri. Hampir saja tubuhnya menyentuh lantai berpaving block sebelum tangan kekar Miller menahannya.

"Soully! Soully bangun!" cemas Miller menepuk pipi Soully yang tak sadarkan diri dalam dekapannya.

Yafizan sama cemasnya. Ia tak mengira Soully akan pingsan, bahkan ia sendiri tak bisa menyangganya. Ia merasa kesal.

"Jangan pernah kau menyentuhnya! Lelaki macam apa yang tak peka bahkan tak percaya pada dirinya sendiri! Jika kau tak menginginkannya, maka biarkan aku untuk melindunginya!"

Yafizan merasa marah karena Miller yang lebih sigap menolongnya. Tangannya terkepal ketika Miller menahan dirinya untuk mendekati Soully dan dengan segera mengangkat lalu membawanya masuk ke dalam mobilnya setelah Bimo datang dan membukakan pintu mobilnya.

"Baby..." Yafizan mengabaikan Tamara. Ia berlalu meninggalkan pengawal serta mantan kekasihnya itu dengan hati yang kacau balau.

***

"Apa yang terjadi?" Erick bertanya dengan cemas ketika ia mengetahui Soully dilarikan ke rumah sakit tempat dirinya bekerja.

"Hanya kelelahan saja, Dok. Dan tolong jangan buat Nona Soully shock ataupun stres karena tak baik untuk janin dalam kandungannya," jelas dokter Anne.

"Ha-hamil?" beo Erick.

Dokter cantik yang pernah menangani Soully ketika sakit tersenyum sumringah memberitahukan berita kehamilan pasiennya itu. "Benar, dokter Erick. Selamat ya Tuan, Anda akan menjadi seorang ayah."

Tatapan Erick teralihkan ketika dokter Anne menyelamati seseorang yang sempat ia abaikan kehadirannya. Miller berdiri tepat di sebelah dokter Anne yang sama tegangnya mendengar berita kehamilan Soully.

Dokter Anne menggaruk tengkukknya yang tak gatal. Sebenarnya dokter Anne merasa bingung, siapa yang sebenarnya suami Soully?

"A-ku hamil?" lirih Soully yang ternyata sudah sadar dari pingsannya.

Dokter Anne kembali mengalihkan pandangannya kepada Soully lalu tersenyum bahagia dengan riangnya ia menyampaikan kehamilan Soully. "Ya, Nona. Anda sedang mengandung."

"Be-benarkah?" Soully tak percaya.

"Benar, Nona. Selamat ya. Hindari stres dan jangan terlalu capek. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit dokter Anne.

Soully mengelus perutnya yang masih rata, ia terlalu bahagia karena ada kehidupan kecil yang sedang bertumbuh dalam rahimnya. Seketika air matanya mengalir di kedua sudut matanya, mengingat apakah Yafizan akan mengakuinya?

Dengan terisak Soully tak bisa menutupi kebahagian sekaligus kesedihannya.

"Angel, jangan bersedih. Kau harus ingat ada janin yang sedang bertumbuh dalam rahimmu. Seharusnya kau gembira, bukan? Jika kau bahagia, maka janinmu akan ikut merasakannya." Erick mengelus sayang rambut kepala Soully.

Soully tak merespon yang Erick katakan. Dirinya terlalu lemah untuk hanya sekedar menguatkan diri sendiri sekarang. Soully hanya bisa menangis, ia menutup wajahnya dengan tangan kanannya yang bebas. Sedang tangan kirinya yang sedang terpasang infus ia taruh di atas perutnya.

Erick dan Miller hanya terdiam. Mereka ikut merasakan apa yang Soully rasakan. Miller mengepalkan tangannya. Dia begitu marah karena Yafizan berhasil menanamkan keturunannya. Sehingga ia tak bisa mendapatkan Soully kembali. Tapi, ia takkan diam saja. Setelah mendengar ucapan dokter Anne yang mengira dirinya adalah suaminya Soully membuat ia percaya diri akan mendapatkan Soully kembali. Tak apa jika ada Yafizan junior yang sedang bertumbuh dalam rahimnya, ia mungkin akan menganggapnya sebagai anaknya sendiri.

Fikiran ini memang salah, sudah menjadi tradisi alamnya jika seorang janin tumbuh dari bangsanya, maka takkan diragukan lagi jika hubungan suami istri itu sangat kuat dan saling terikat. Bahkan, celakalah bagi seseorang yang dengan sengaja memisahkan ikatan mereka.

Miller tak peduli, ini alam manusia. Bukan negeri atas langit! Konsekuensi apapun akan ia terima, yang penting Soully kembali padanya. Malika tetaplah miliknya!

***

Yafizan termenung dalam kegelapan kamarnya. Entah mengapa pria itu lebih senang berdiam diri dalam gelap seperti sekarang ini. Setelah pulang dari kantornya tadi, seperti biasa ia mengurung diri dalam kamarnya. Dia tak membiarkan siapapun masuk ke dalam kamarnya, termasuk Tamara yang terus berteriak dan menggedor pintunya.

Yafizan menulikan pendengarannya. Ia sungguh tak ingin orang-orang mengganggunya. Fikirannya saat ini tertuju pasa perempuan mungil yang pingsan di hadapannya tadi. Tanpa bisa menolongnya, bahkan hanya sekedar mencari tahu bagaimana keadaan dirinya saja, ia kesulitan.

Entah kenapa dengan dirinya. Sesaat tadi pagi ia begitu yakin jika Soully istrinya, bahkan hatinya begitu bahagia ketika Soully ada didekatnya. Dan kekuatan bisa mendengar suara hati juga sempat ia dapatkan kembali. Namun, mengapa hilang kembali ketika hatinya tergoyahkan?

Yafizan mengacak rambutnya. Rasanya ia begitu frustasi. Begitu pun dengan hatinya yang entah mengapa terasa sakit, seolah ada belati tumpul yang sedang mengorek hatinya. Terasa sesak dan begitu ngilu. Sakit, sebagian tubuhnya terasa sakit.

***

"Kenapa kau terburu-buru ingin pulang? Kau harus istirahat." Erick menahan Soully yang ingin segera pulang dari rumah sakit.

"Aku sudah merasa lebih baik, Kak." Soully tersenyum, tak ingin Erick merasa khawatir padanya.

"Lalu, mengapa suamimu sampai sekarang belum ke sini? Apa kau sudah menghubunginya?" pertanyaan Erick membuat Soully terdiam.

"Biar aku saja yang mengantarnya," tukas Miller. Membuat Erick merasa jengah, mengapa teman dari negeri langitnya ini tidak pergi juga?

"Apa kau suaminya?" sinis Erick.

"Apa kau juga suaminya?" balas Miller.

Soully merasa pusing ketika melihat dua orang pria yang saling berseteru di hadapannya. Tanpa banyak bicara ia turun dari tempat tidurnya.

"Angel, tunggu! Tahan sebentar. Aku akan menghubungi suamimu," tahan Erick.

Soully segera berhambur kepada Erick ketika tangannya memegang ponselnya untuk menghubungi Rona. Ya, karena nomor Rona yang ia punya.

"Jangan," mohon Soully menggelengkan kepalanya. Membuat gerakan Erick terhenti.

"Kenapa? Bukankah bagus suamimu mendapatkan kabar yang membahagiakan ini?" Erick terheran.

"Kumohon, jangan beritahu dia kalau aku mengandung," pinta Soully lagi dengan mata yang berkaca-kaca.

Ada yang aneh dengan hubungan mereka. Erick sudah merasakan hal yang mengganjal tersebut.

"Oke, lalu di mana kau tinggal?...selama ini," tanya Erick terjeda.

"Dia akan tinggal bersamaku," tukas Miller yang sedari tadi masih tinggal dan memperhatikan obrolan Erick dan Soully.

Bersambung...

***

Hai hai aku kembaliiii

Maafkan sudah terlalu lama meninggalkan cerita ini.

Sungguh ini diluar dugaan karena ada satu & lain hal yang terjadi di RL.

Bagi kalian yang masih nunggu cerita ini, aku ucapkan banyak banyak terima kasih, walopun aku tau, cerita ini mungkin gak se-seru atopun se-Menarik & terkenal novel lain. Tapi aku udah seneng banged ada yang mau baca cerita ini yg apalah apalah... :)

Klo kalian agak lupa dengan alur ceritanya bisa di flashback ulang dari awal ato episode sebelumnya. InsyaAllah Miss mau beresin cerita ini secepatnya.

Smoga kalian gak lupa ya sama ceritanya.

Tetap dukung terus Otor yang hanya ingin mencari semangkok berlian ini...wkwk

Sayang kaliann 🤗❤

avataravatar
Next chapter