Cintia sudah berada di dapur untuk melakukan aktivitas yang mulai saat ini dia sukai. Terlebih melihat bagaimana lahapnya laki-laki itu menghabiskan makanannya. Benar-benar membuat hati Cintia membuncah karena rasa bahagia. Bahkan Cintia tidak menyangka Adiyaksa akan begitu antusias dengan hal sepele yang dia lakukan.
"Heh senyum-senyum terus nih, adiknya mas." Cintia terlonjak kaget saat Bagas tiba-tiba berbicara di balik punggungnya. Pasalnya dia tidak menduga kalau Bagas akan pulang ke rumah saat siang.
Cintia masih fokus pada tumisan udangnya sambil menanggapi Bagas. "Kok pulang? Mau ngapain?" Cintia melirik curiga ke arah Bagas.
"Mau tau banget mas kesini ngapain? Pertama, karena mas lapar, yang kedua karena mas mau lihat adik mas kalau lagi kasmaran itu kaya gimana. Jadi ya … boleh dong mas pulang," jawab Bagas sambil mengisi piringnya dengan berbagai lauk pauk masakan ibunya.
Bagas sendiri sebenarnya ingin mencoba makanan buatan adik kesayangannya, tapi melihat bagaimana senyum manis adiknya saat memasak, laki-laki itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk mencoba masakan itu.
"Harum banget lagi aromanya, apalagi cake-nya, fluffy banget tuh kayanya." Bagas terus mengoceh tidak jelas hingga Cintia merasa terusik.
Beruntung masakan sudah matang saat Bagas terus mengoceh, jadilah Cintia bisa membiarkan masakannya tetap di dalam penggorengan dan menatap Bagas sengit. "Mas gak usah cerewet deh, kan ini juga saran dari mas juga."
"Ya bagus dong kalau Tia masakin mas Adi lagi, jadi mas Adi gak sama perempuan genit di luar sana," ucap Cintia tanpa sadar.
Sedangkan Bagas sudah menahan senyumnya sejak tadi, apalagi saat Cintia mengeluh secara tidak sadar. Tidak tahu saja dia kalau Bagas sebenarnya sedang menghubungi Adiyaksa, jadilah apa yang diucapkan Cintia sejak tadi didengar oleh Adiyaksa.
Sebenarnya bukan ini maksud Bagas, karena maksud dari laki-laki itu adalah ingin menggoda dua sejoli itu saja, tapi apa yang dia dapat justru membuat dua sejoli itu mengerti akan perasaan masing-masing. Lebih tepatnya, Adiyaksa yang sedang menahan teriakannya saat mendengar pengakuan Cintia.
"Mas kenapa? Senyumnya kok kaya gitu banget sih?" Cintia berusaha melihat apa yang dilakukan Bagas dengan ponselnya. Pasalnya laki-laki itu terlihat begitu konsentrasi saat menatap ponselnya, tidak lupa dengan senyum mengejek yang ditunjukan laki-laki itu.
"Udah gak usah ngurusin mas, sana urusin aja masakan kamu, sama kamu pakai baju apa waktu ketemu ibu mertua kamu nanti?"
Cintia yang akhirnya tersadar belum memilih pakaian pun segera beranjak untuk duduk di samping Bagas. Laki-laki yang tidak memiliki pasangan itu sudah menjadi penasehat Cintia secara tidak langsung. Apalagi alasannya kalau bukan karena Adiyaksa adalah sahabat Bagas.
"Kenapa gitu mukanya?" Bagas menatap cemooh ke arah Cintia. Hanya menggoda saja sebenarnya, karena dia tidak mungkin pulang begitu saja dengan tangan kosong.
"Sana ambil kotak di ruang keluarga, pake itu aja buat acara makan malam sama calon ibu mertua kamu." Cintia membulatkan matanya setelah mendengar ucapan Bagas. Bahkan Cintia dengan cepat berlari ke arah ruang keluarga demi melihat kotak apa yang dimaksud kakaknya. Tapi kalau menurut firasatnya, kotak itu pastilah kotak hadiah yang spesial.
Cintia membekap mulutnya saat melihat sebuah dress sederhana bermotif bunga. Dress berwarna putih tulang itu begitu cantik, bahkan make up seperti apa yang akan Cintia poles pun terbayang begitu saja di dalam pikirannya.
"Mas Bagas ini buat aku kan," teriak Cintia sambil mencium dress yang sudah wangi itu. Entah wangi apa yang kakak laki-lakinya berikan pada dress ini, tapi Cintia sangat menyukai wanginya. Aroma buah dan bunga menjadi satu, percampuran antara bunga mawar dan buah apel.
"Mas, Cintia mau nangis, dress-nya bagus banget, Cintia suka." Cintia merengek ke arah Bags lalu memeluk kakak laki-lakinya erat.
"Makasih ya mas," ucap Cintia lirih.
Bagas hanya terkekeh melihat adiknya yang sudah tergolong dewasa tapi selalu bersikap manja jika di dalam rumah. Senang rasanya saat adiknya akan menemui laki-laki yang akan menjaganya selama hidupnya nanti. Bagi juga akan melakukan apapun asalkan adiknya bisa bahagia dengan pasangannya. Meskipun dengan cara yang Bagas dan Adiyaksa rencanakan sampai bisa dikatakan licik, tapi Bagas tidak masalah.
"Yaudah sana siap-siap, nanti kamu numpang mandi aja di kamar mandi di ruangan Adi." Bagi mengacak rambut adiknya pelan.
"Mas berharap kamu bisa bahagia dengan Adi," gumam Bagas sambil tersenyum tipis.
***
Tidak ada lagi langkah menulis namanya di buku tamu, melainkan langsung masuk ke dalam ruangan Adiyaksa. Bahkan wajah Cintia sudah mulai dikenal oleh seluruh karyawan Adiyaksa. Apalagi alasannya kalau bukan Adiyaksa yang menghubungi pihak resepsionis untuk selalu mengizinkan Cintia datang tanpa melakukan prosedur apapun.
Karena hal itu pula, gosip tentang siapa Cintia sudah menyebar ke seluruh penjuru kantor, seolah tembok ikut berbicara dan ikut menyebarkan rumor yang sedang terjadi.
'Calon istri pak bos yang waktu itu datang dan mengisi buku tamu'
Itulah yang tersebar ke seluruh penjuru kantor hingga Cintia yang baru saja memasuki lobby sudah disapa begitu ramah dengan banyak orang.
Sayangnya, Cintia yang pada dasarnya wanita cuek, tidak terlalu masalah dengan sapaan itu. Meski sedikit aneh menurutnya, tapi bukan urusannya juga untuk tahu alasan mereka menyapa. Lagi pula tujuannya hanya untuk menemui Adiyaksa, bukan yang lain.
"Hai mas," sapa Cintia setelah menutup pintu ruangan.
"Halo cantik, sini duduk." Adiyaksa sudah tersenyum lebar sejak wanita itu masuk, bahkan hidungnya sudah menikmati wangi dari parfum yang Cintia pakai.
"Kamu wangi banget, ganti parfum ya?" tanya Adiyaksa sambil menerima kotak makan yang diberikan Cintia.
"Kamu sudah makan?" tanya Adiyaksa sebelum menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.
"Gimana? Sudah siap ketemu mamanya mas kan?" Adiyaksa kembali bertanya setelah mengunyah makanan buatan pujaan hatinya lagi.
Laki-laki itu tidak bisa membayangkan bagaimana tentramnya hidupnya nanti karena setiap hari akan menikmati masakan Cintia, belum lagi setiap hari melihat wajah cantik Cintia. Tapi satu yang membuat Adiyaksa merasa sedih juga bahagia secara bersamaan, bagaimana rupa anaknya nanti bersama Cinta.
"Mungkin akan bahagia kalau kita bisa memiliki anak nanti ya," batin Adiyaksa merasa bersalah.
Tapi lagi-lagi, kenyataan yang menimpanya jauh lebih menyakitkan dibandingkan memiliki anak bersama Cintia. Rasanya dia ingin menangis kalau membayangkan bagaimana anaknya dan Cintia nanti. Belum lagi kenyataan yang disembunyikannya dari Cintia dan juga Bagas.
Adiyaksa tidak sadar menghela napas pasrah saat bayangan buruk justru mendatangi pikirannya. Bahkan helaan napas frustasi itu bisa didengar oleh Cintia yang sejak tadi sudah fokus dengan ponsel di tangannya.
"Kenapa mas? Ada yang kamu pikirkan? kok wajahnya sedih gitu sih?" tanya Cintia sambil menatap lekat Adiyaksa.