webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · 现代言情
分數不夠
125 Chs

Berantem di pinggir jalan (2)

Sekarang aku terjebak dalam ruang dan waktu. Ruang tepat untuk menjauh dari seorang Rais karena sebentar lagi taksiku tiba, tapi waktu tidak tepat karena jam kantor sudah lewat hampir tiga puluh menit.

"Ayo!" teriaknya lagi melihatku bergeming.

Dia berdiri di samping pintu menungguku masuk ke mobil, sementara aku bersyukur taksi pesananku ternyata tiba lebih cepat. Dia berhenti di depan mobil si Duren.

"Kamu pulang sama saya! Kenapa kamu naik taksi?"

"Saya mau pulang sendiri, Pak," ujarku membuka pintu mobil. Tangannya sigap menahan pintu bahkan menutupnya kembali.

"Kamu kenapa? Marah sama saya? Urusan pribadi jangan dicampur dengan urusan kantor!"

Aku tahu itu, Rais Darmawan. Aku pun selalu profesional memisahkan antara keduanya. Tapi, lidahmu itu sudah menyinggung perasaanku. Bukan urusanmu aku menikah cepat, telat, atau bahkan menjadi perawan tua. Tidak ada yang berhak mengatur hidupku apa pun itu. Tidak juga orang tuaku.

"Pak, saya mau izin sebentar. Karena itu saya pesan taksi. Masa iya Bapak mau nganterin saya? Bapak, kan, bukan sopir saya."

"Kamu nggak bisa izin-izinan tanpa izin dari saya. Saya nggak izinin kamu pergi di jam kantor."

Aku paham peraturan itu, tapi benakku yang sudah blank harus dipulihkan kembali. Aku butuh beberapa waktu untuk menenangkan diri. Tipikal introvert sepertiku tidak bisa berpikir ketika kalut, marah, panik, stres, apalagi harus mendengar nasehat-nasehat, yang di telingaku hanya menjadi ceramah masuk telinga kanan, lalu keluar telinga kiri alias sampah.

"Saya ingin sendiri, Pak. Saya ingin menen –"

"Kamu karyawan saya, dan sekarang masih jam kerja kantor. Jadi, kamu tanggung jawab saya. Jangan bikin saya repot bikinin kamu surat pencairan asuransi gara-gara kamu celaka di taksi online."

(Whatttt????)

'Rais sialan!'

Aku melirik taksi yang menunggu dan berharap si sopir tidak berpikir, bahwa dua anak manusia yang dilihatnya tengah bertengkar adalah pasangan kasmaran. Sikap dan tindakan si Duren tidak menunjukkan sepenuhnya perilaku seorang atasan di sini.

Dia memutar ke sebelah sopir, lalu mobil taksi perlahan bergerak. Sekarang dia benar-benar membuatku semakin berang. Seenaknya membatalkan taksi yang sudah menjauh meninggalkanku di sini bersamanya. Kami saling menatap tajam di jarak yang tidak jauh.

"Saya harap nggak ada lagi kejadian kayak gini ke depannya," ujarnya berjalan mendekat.

"Kamu sudah membuang banyak jam kerja," lanjutnya melihat arloji.

Dia melihat ke sekitar yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Hari semakin siang hingga sinar matahari semakin terik dan menyengat. Keringat mengucur di balik bajuku. Punggung dan wajahku sudah berkeringat. Untung aku menyemprot sedikit cologne setelah salat Zuhur.

"Kita bicarakan di dalam mobil," ucapnya sambil merentangkan tangan kiri.

'Loe salah, Ree … Loe salah …'

Dada ini rasanya sesak sekali harus mengakui posisi diri tidak menguntungkan. Aku berjalan ke mobilnya sambil menarik napas dalam-dalam mengosongkan ruang yang penuh amarah. Hati panas berpikir dengan kepala dingin kalau ada caranya, aku ingin praktik sekarang juga. Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang, memberi banyak waktu yang tersedia untukku mendinginkan amarah.

"Saya minta maaf kalau saya menyinggung perasaan kamu."

"Saya juga minta maaf. Nggak seharusnya saya begini sampe bikin Bapak merugi."

Tatapannya berpaling padaku yang memandang keluar jendela. Emosiku masih berkecamuk. Aku tidak minum kopi, bukan berarti tidak suka kopi. Tapi, perasaanku teraduk-aduk seperti kopi hitam pahit yang diberi gula, namun tidak kunjung manis. Sulit memang mengakui kesalahan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain, tapi sebagai orang yang bertanggung jawab aku harus melakukannya.

Selama aku menjadi sekretarisnya, ini kali pertama aku mendengarnya meminta maaf sebagai seorang laki-laki, bukan sebagai atasan. Jantan sekali dia.

"Jujur sama saya, bagian mana dari kalimat saya yang menyinggung kamu?"

Saat-saat seperti ini yang diinginkan seorang introvert adalah hening dengan dirinya sendiri, walaupun tengah berada di keramaian. Itu pun tidak lama, karena setelah itu menjauh dari keramaian adalah obat paling mujarab untuk pemulihan. Sunyi dari kebisingan sekitar, dan sunyi dengan tubuh serta pikirannya sendiri. Hanya itu. Biarkan aku sendiri.

Pikiranku menerawang melihat setiap objek yang dilewati. Di saat bersamaan mataku terasa panas, berair, dan sebentar lagi akan tumpah. Tidak, aku tidak boleh menangis di sini. Biasanya aku menangis sendiri di rumah, di kamar, di tempat tidur, bantal yang menjadi tempat tumpahan air mata dan ingusku.

"Laduree …."

Aku tersadar setelah dia menepuk pelan lenganku. Mobil berhenti di pinggir trotoar di depan bengkel motor. Deru suara knalpot, alat-alat mesin, meramaikan telinga dengan kebisingan suara mesin kendaraan yang lewat. Lantainya kotor dan hitam. Dia melihat air mataku yang sempat jatuh setetes. Semakin sadar akan kondisiku ketika aku menyeka mata dan pipi yang basah, terlihat olehnya.

"Kamu … nangis?"

"Nggak, nggak apa-apa. Bentar lagi juga baikan, kok."

"Don't make me fool for –"

"Boleh kita lanjut perjalanannya, Pak? Saya nggak mau Bapak semakin rugi gara-gara saya. Saya nggak punya uang buat ganti rugi, Pak."

"Laduree ...."

Suaraku bergetar mengatakan apa yang tidak terencan oleh otakku. Semuanya mengalir keluar begitu saja tanpa filter semudah mematikan saklar lampu. Bisa kudengar helaan napasnya yang ditarik dalam-dalam. Dia menahan amarah yang mulai menggerogoti dirinya.

Mobil kembali melaju sementara pipiku basah lagi oleh air di mata. Entah bagaimana aku bisa mengendalikan rasa sakit ini, bagaimana aku menghentikan air mata ini, bagaimana aku menenangkan diri ini sekarang, bagaimana aku … bagaimana aku … bagaimana aku ….

"I'm sorry to hurt you," sesalnya sambil fokus menyetir, sesekali melirikku.

Penyesalannya terdengar tulus di telingaku, tapi apa pun yang terjadi belum bisa memperbaiki situasi.

"Maaf, kalau tadi saya menyinggung status kamu. Saya nggak bermaksud menyakiti hati kamu. Tapi, sebetulnya kalau boleh jujur, hidup kamu lebih beruntung dari saya –"

Kata-katanya berhenti ketika seorang pengguna jalan akan menyeberang. Ibu tua membawa dua kantong belanjaan. Dia menarik napas sambil berpikir akan meneruskan atau membiarkannya menggantung. Sesaat aku juga merasa dia semacam sedang memilih kosakata untuk merangkai kata menjadi kalimat, bagaimana dan dari mana memulainya.   

Atmosfer di dalam mobil ini sangat tidak enak. Kuputuskan mendengar saja tanpa bertanya atau memintanya melanjutkan. Saat-saat seperti ini tidak ada minat untuk mengetahui urusan orang lain. Lagi pula kantor kami tidak jauh lagi, sekitar tiga menit akan tiba.

"Kamu nggak mengalami apa yang saya alami."

Suaranya memecah kesunyian setelah sekian menit dikuasai situasi. Pengakuan Rais Darmawan membuatku spontan tertegun. Benakku juga spontan dibawa melayang-layang menerka arah pembicaraan. Ada penyesalan, sakit, luka, sedih dan kecewa di nada suaranya.

Apakah maksudnya perceraian?