webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Urban
Not enough ratings
125 Chs

Tenang dalam kesunyian.

Aku baru saja selesai menjemur pakaian yang baru dicuci. Untungnya Tuhan berbaik hati menghentikan hujan dan memberikan suhu panas hari ini. Rumah sudah bersih dari air bekas banjir dan sudah dipel. Kain-kain lap bekas perasan air banjir masih teronggok di dalam ember. Nanti saja dicuci selepas salat Isha.

Sekarang aku mau istirahat sebentar sebelum lanjut membereskan barang-barang tersisa. Sebagian sudah dibenahi oleh bapakku. Aku bersyukur pada Allah sampai detik ini beliau masih sehat dan bugar. Bahkan berkendara jauh matanya masih bisa melihat jelas, kecuali malam hari.

Mungkin karena beliau tulus ikhlas membantu orang lain dan juga jujur. Walaupun selama bekerja sebagai sopir di perusahan consumer goods tidak ada perubahan berarti dari segi materi. Rumah kami masih sama sejak aku di bangku SD. Tuhan Maha Adil itu benar. Kesehatan adalah rezeki juga benar. Dan, aku sudah membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri. Usia bapakku hampir tujuh puluh tahun.

Emosiku jauh lebih baik sekarang setelah duduk menikmati waktu santai selepas bekerja seharian. Di kantor dengan segala drama yang terjadi, di rumah dengan segala toxic yang mengitari, rasanya nikmat sekali hidup sendiri tanpa diganggu orang lain. Hanya sendiri di rumah, meski di luar tetap membangun interaksi sosial dengan orang lain. Saat pulang ke rumah dengan perasaan tersakiti oleh lidah beracun, maka rumah yang hanya dihuni oleh diri sendiri adalah tempat rehabilitasi yang terbaik.

Tenang.

Raga ringan dan jiwa plong. Tidak ada suara-suara yang menghakimi. Menangis sendiri melepas sakit. Bicara sendiri meluapkan emosi. Berbaring lama menyembuhkan diri. Dan, itu yang sering kulakukan. Bersembunyi dari orang-orang.

Suara tivi dari sinetron yang ditonton ibuku di ruang tamu, komedi yang ditonton ayahku di dapur, sedikit mengganggu telinga. Tapi, sejak aku pulang hampir Maghrib tadi, tidak ada ocehan menyudutkan yang keluar dari lidah ibuku. Itu saja sudah cukup bagiku.

"Kain yang kemarin masih ada yang belum kering?"

"Ada, cuma selimut ama celana jeans aja," jawabku membalikkan novel terjemahan yang baru kubeli di toko ensiklopedia. Sebetulnya sudah tiba dua hari lalu. Tapi, baru diantar siang tadi karena terbentur hari libur.

"Muat jemuran di samping? Kalau nggak muat, singkirin aja baju-baju kalian yang bergantung-gantung di situ. Yang ada bikin nyamuk tambah banyak," cerocosnya lagi.

Nah, kan, yang berbuat siapa, yang tidak berbuat pun ikut kena imbas. BAJU KALIAN. Salah satu tabiat buruk ibuku yang 'doyan' menyamakan atau membandingkan si A dan si B untuk hal yang tidak sesuai keinginannnya. Padahal beliau pun banyak menggantung pakaian di jemuran bawah loteng dekat sumur. Belum di rak bulat tiga tingkat yang tingginya setengah lemari.  

Kuharap ibuku tidak ceramah sekarang ini. Aku tidak sanggup mendengarnya.

Beberapa hari belakangan sangat kusyukuri, sebab ibuku tidak mengoceh tajam dan panjang untuk sesuatu yang membuatnya kesal. Walaupun aku masih terseret amarah dan kebencian setiap kali ucapannya berdelan di telinga.

Jangan dekat-dekat dengan orang toxic.

Yah, kalimat yang sangat mudah diucapkan, tetapi tidak dengan implemetasinya. Kalimat apa pun sebetulnya, karena lidah sangat mudah untuk berkata bohong atau jujur, dan berucap menyenangkan atau menyakiti orang lain.

Anak-anak korban bully, toxic, pressure, sangat tidak mudah mengeluarkan dirinya dari lingkungan tersebut, jika mereka hidup satu rumah dengan orang egois, beracun, atau bermulut pedas melebihi cabe rawit dan merica. Sosialisasi melalui media sosial pun mulai banyak yang lakukan, sebagian dari mereka adalah penderita, korban, atau bahkan survivor.

Dua puluh halaman novel sudah kubaca dalam tempo dua puluh menit. Aku melihat jam dinding yang berdentang satu kali. Adzan Isha berkumandang di pukul 20.30 malam. Membaca novel merupakan salah satu caraku menyelamatkan mental dari ocehannya, sebab aku lalai ketika membaca sesuatu. Pikiranku fokus pada apa yang tengah kubaca. Aku masih bergeming dengan novel yang ceritanya menghanyutkan. Membawa diriku berpetualang, merangsang otak ikut memecahkan misteri.

Tidak baik mengakhiri panggilan salat. Tapi, saat tubuh dan pikiran butuh lebih banyak istirahat dan ketenangan, justru kewajiban itu menjadi terabaikan. Cukup sering aku mengalaminya. Tuhan tidak butuh makhluk-Nya, justru manusia yang membutuhkan-Nya, itu benar. Tidak ada alasan apa pun untuk itu.

Sesekali insiden siang tadi melintas di kepala, meski konsentrasiku membaca cerita novel tidak pecah.

(karena itu kamu harus bersuami, apalagi umur kamu tidak muda lagi).

Lagi-lagi kalimat racun itu berputar-putar di kepala. Entah bagaimana otakku kali ini mampu menyingkirkannya. Hingga pukul 22.05 aku beranjak ke kamar ingin tidur. Tetapi, aku belum perawatan malam dan salat. Ugh, harusnya tadi disegerakan. Padahal hanya lima menit untuk menunaikan salat. Mataku mulai melemah.  

"Kain lap di ember udah dicuci?"

Ah, ibuku sempat-sempatnya menanyakan kain lap yang bisa dibuang ke plastik sampah. Lagi pula bisa dicuci besok pagi, kan? Biar lebih bersih karena terendam lama. Lagian juga tidak ada jemuran kosong.  

"Besok aja, ngantuk banget nih. Jemuran juga penuh, Mak," jawabku dari tempat tidur.

Kupikir aku mengambil jatah tidur dulu sebentar, daripada salat dengan mata mengantuk. Toh, Islam tidak menyulitkan umatnya dalam beribadah. Kalau lapar atau mengantuk, maka lakukan itu dulu baru salat daripada tidak khusyuk. Meskipun begitu, masih juga tidak khusyuk.

Biasanya kalau aku tidur sebelum salat Isha, pasti terbangun di antara jam satu sampai tiga pagi dini hari. Allah memang Maha Baik. Tidak mau hamba-Nya yang sudah banyak dosa semakin banyak dosa. Allah Maha Pengasih Maha Penyayang itu benar. Itu buktinya.

Di tempat tidur, aku melihat ponsel sekejap. Ada banyak chat yang masuk. Grup ini dan grup itu tidak berhenti saling membalas chat. Tidak lupa chat si duren masing berada di undakan teratas sebagai pengirim chat terbanyak. Dua puluh chat masuk kurang dari satu jam. Bahkan, kini dia sedang mengetik.

Kututup aplikasi pesan, namun pesannya terpampang di layar.

[Kamu baik-baik saja?]

Oh, Tuhan. Apa aku harus membalasnya? Atau mematikan data ponsel lalu tidur malam? Kalau tidak kujawab, besok dia akan menanyakan hal itu. Kalau kujawab sekarang, kantukku akan hilang lalu aku akan melek sampai pagi. Penyakit insomniaku cukup untuk membuat tekanan darahku turun dalam tiga hari berturut-turut jika tidak cukup tidur.

Kuputuskan meninggalkan pesan tidak penting itu beserta pengirimnya. Kesehatanku seribu kali lebih penting meski pekerjaanku memberikan tunjangan kesehatan. Belum sepuluh menit aku menutup mata setelah menepuk bantal dan mengibas tempat tidur, ponselku yang lain berdering.

Duren is calling.

'Aduh! Kenapa aku lupa matikan si codet ini?'

Aku hanya menatap layar ponsel yang masih menyala, namun suara sudah kusenyapkan.

'Mau apa sih dia nelpon malam-malam begini? Nelpon urusan kantor pun jam segini juga nggak etis.'

Kumatikan hp codet.