webnovel

KARASU

"Aku mendengar suara kepakkan sayap yang menyedihkan .. Dia yang bertengger disana. Seakan memberi isyarat .. Kematian yang dekat" Sagiri terbangun sebagai seorang Karasu makhluk tanpa ingatan. berbekal THE BOOK of JOKER dan sebuah gun ia harus menghabisi ribuan Joker, yaitu orang-orang yang harus di hentikan masa hidupnya secara paksa. demi satu harapan terbesar Sagiri semasa hidupnya. lalu pertemuan itupun terjadi. sagiri harus menghadapi salah satu jokernya yang merupakan takdirnya, Naoki pemuda malang yang selalu mengalami hal buruk dalam hidupnya. Sagiri mulai bimbang dengan dirinya. ia dihadapkan 2 pilihan. menghabisi Naoki atau Mengabulkan harapan besarnya. apa sebenarnya harapan terbesar Sagiri? lalu pilihan apa yang akan Sagiri ambil?

Shi_lunaticblue · 奇幻
分數不夠
228 Chs

HAJIME KAKERU: I'm Father

Pukul 18.15

Kakeru melangkahkan kakinya dengan gontai di halaman rumah mewahnya yang asri. bunga-bunga Daisy berbagai warna menghiasi pekarangan. Rumahnya cerah ceria bernuansa hijau turquoise, sangat kontras dengan suasana di dalamnya saat ini. Redup, suram.

Ia membuka pintu tanpa mengetuk, lampu ruangan otomatis menyala. Kakeru terperajat saat sadar bahwa istrinya sudah berdiri di depannya, wajahnya terlihat tidak senang ditambah tangannya dilipat di depan dada.

'Apa lagi ini?!' benak Kakeru menyeru. istrinya belum bicara apapun, tapi ia tahu pertanyaan apa yang akan diajukan wanita cantik di depannya ini.

Ya, Mira wanita yang cantik penuh pesona. bertolak belakang dengan Miyuki yang polos dan kalem. Mira adalah wanita energik yang penuh semangat, ia pandai berdandan dan sangat modis. wanita metroseksual yang di idamkan pria-pria dewasa di luaran sana.

Mira sangat spontan dan jarang memikirkan sebuah resiko tentang tindakannya. karena hal itulah ia terperangkap pada cinta terlarang yang berakibat menghancurkan sebuah keluarga. Ia pernah menyesalinya, pernah.. tapi ternyata Egosentrinya memenangkan hati nuraninya.

"Darimana saja kau ini?! aku menghubungimu lebih dari 50 kali!" suaranya memekakkan telinga Kakeru yang memang sedang sensitif-sensitifnya.

"Aku pergi mencari angin." jawabnya asal, dan karena hal itu emosi istrinya makin menjadi.

"Kau mencari angin?! Naomi demam dan muntah sejak pagi tadi. aku meneleponmu dengan perasaan kacau, tapi kau malah mencari angin?!" Mari tidak bisa membendung air matanya. Ia paham bahwa membentak suaminya bukan hal yang baik, ia paham perasaan suaminya saat ini. tapi emosinya tidak bisa ia kendalikan. Mari begitu marah, kalau saja suaminya menerima satu panggilan teleponnya, kalau saja ia pulang ke rumah lebih awal.

Kakeru memeluk istrinya yang menangis terduduk di hadapannya. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang" Mari melepaskan pelukan suaminya dan memandang wajah lelah itu. "Apa Naomi sudah baikkan? bagaimana dia sekarang?"

Mereka beranjak bangun "Dia sedang tidur. beberapa jam lalu dokter sudah memberikan obat pada Naomi. Dokter bilang Naomi keracunan makanan"

Wajah damai Kakeru berubah seketika, amarahnya meledak kembali "Keracunan?! bagaimana mungkin Naomi bisa sampai keracunan makanan?! memangnya apa yang kau berikan pada Naomi?!"

Mari terperajat, "Aku hanya memasak masakan biasa-"

"Lalu kenapa dia bisa sampai keracunan?!"

"Aku tidak tahu.."

"Apa kau bahkan tidak bisa mengurus anak?!" kalimat itu.. menghancurkan hati Mari. Air mata perlahan jatuh di pipinya, tidak sedikitpun bibirnya berucap "Sejak dulu, apa yang kau lakukan selalu salah!! aku yang harus terus memperbaikinya!!"

Mari masih menangis tanpa suara, bahunya bergetar. "Lalu bagaimana denganmu?"

Kakeru tersentak, suara istrinya memang pelan, tapi bagai bensin yang menyulut api amarahnya menjadi semakin menggila. "Aku?"

"Kenapa denganku?" tangan Kakeru sudah mencengkram kuat kerah baju Mari.

"KAU BAHKAN TIDAK BISA MENJADI AYAH YANG BAIK! BAGI NAOKI MAUPUN NAOMI!!" Mari menjerit, dadanya terasa sesak, nafasnya tercekat karena cengkraman kuat tangan Kakeru.

"Kau yang bahkan tidak becus dalam segala hal ini, menginginkan kesempurnaan dariku?! bahkan Miyuki saja tidak pernah menuntutku!! TIDAK PERNAH!!" Kakeru mengguncang cengkraman tangannya lalu melepaskannya, membuat tubuh Mari terjatuh dan terduduk di lantai.

Suara tangis Naomi memecah keributan mereka. Kakeru dan Mari menoleh bersamaan menatap sumber suara. Naomi, sejak tadi melihat dan mendengar rentetan kejadian dan ledakan-ledakan amarah orang tuanya. Gadis kecil berusia 2 tahun, yang tidak mengerti apa-apa. tapi penalarannya mencerna.. orangtuanya sedang tidak baik-baik saja.

Mari menangis lalu berlari memeluk Naomi. Kakeru? membeku.

Tadi, jika saja Naomi tidak menangis.. Kakeru mungkin saja akan menyakiti istri tercintanya dengan tangannya sendiri.

Tadi, jika saja..

Kakeru berhambur ikut memeluk Naomi dan istrinya. Mereka menangis .. Kakeru dengan penyesalan dan rasa bersalahnya, Mari dengan rasa kecewanya, dan Naomi dengan ketakutannya.

"Maafkan aku.. tolong maafkan aku" suara Kakeru terbata, ini kali keduanya ia menangis hingga dadanya terasa begitu sesak.

***

Wanita berambut ombak kecoklatan meletakkan sebuah gelas keramik dengan sesuatu yang mengepul di dalamnya. matanya masih terlihat merah dan bengkak. begitu juga pria di hadapannya.

"Aku tidak bisa membuat moccha lebih enak darimu," wanita itu, Mari. suaranya pelan tapi cukup untuk memecah keheningan di antara mereka.

"Aku pernah membuatkan secangkir moccha untuk Naoki. saat mencobanya, matanya berbinar-binar. dia bilang 'ini enak sekali papa' dengan suara yang menggemaskan, setelah saat itu. aku suka membuatkan moccha untukknya" Kakeru tersedu, sambil terus menerawang ke arah minumannya.

Mari meraih tangan Kakeru dan meremas dengan pelan. mencoba membuat suaminya sadar dari dunia lamunan yang saat ini ia singgahi. "Belum terlambat untuk memperbaiki semua kan?"

Rasa bersalah yang Mari rasakan sama besarnya dengan milik Kakeru tapi apa gunanya bicara 'aku menyesal' sekarang?

Satu kalimat penyesalan tidak akan membuatmu kembali pada hari kemarin. yang harus mereka lakukan adalah berubah dan memperbaiki yang sudah mereka rusak.

"Naomi sudah tidur?"

Mari menjawab dengan anggukan, ia tahu suaminya mencoba merubah arah pembicaraan. Mari tahu betul suaminya adalah seorang yang penakut.

Kakeru Hajime.. adalah anak pengecut yang terkurung dalam tubuh pria dewasa. Dan ironisnya.. dia adalah seorang ayah.

"Kakeru, aku serius ingin membawa Naoki kemari" Mari bicara tanpa melihat raut wajah Kakeru. yang makin terlihat frustasi.

"Aku tahu"

"Aku benar-benar tulus.. "

"Aku tahu"

Mereka terdiam.. hanya suara seruput pelan dari bibir Kakeru yang terdengar. benar.. rasa moccha yang dibuatkan istrinya terasa hambar, berbeda dengan Miyuki yang selalu terlalu manis.

"Mari.. kau berjanji tidak akan marah jika aku mengatakan apa yang ada di dalam hatiku?" Kakeru meraih tangan istrinya. mata coklat terangnya berkerlip tertimpa cahaya sore yang menembus jendela dapur.

"Katakan saja"

"Sejujurnya, aku sangat merindukan Miyuki. Hampir setiap malam aku memikirkannya.. aku benar-benar minta maaf padamu Mari"

Mata mari membulat. kini ia tahu.. rasa cinta yang dimiliki Kakeru untuk Miyuki sebenarnya lebih besar dibandingkan untuknya. hanya .. Kakeru, tidak pandai mengartikannya.

"Kakeru.. Miyuki telah tiada" Mari mengeratkan genggamannya. "Maka.. jadilah ayah yang baik untuk anaknya" air matanya menitik kembali.

"Kau tidak keberatan?" Kakeru mengusap air mata Mari, "Terimakasih Mari"

Mari mengangguk lalu tersenyum.. harapannya kembali terbentuk. Naoki masuk dalam lingkaran hidupnya, mungkin memang tidak mudah, tapi iya yakin dengan hatinya. Bahwa ia tidak sedikitpun membenci Naoki.

Dan.. Naomi mungkin bisa jadi obat terbaik bagi duka Naoki yang menenggelamkannya kini. Kakeru juga berharap hal yang sama. bahwa mereka bisa menjadi keluarga yang lebih baik. ia bertekad untuk merubah segala keburukannya selama ini, ia bertekad untuk membahagiakan putranya yang sejak dulu jauh dari jangkauannya.

Kakeru menggeleng pelan.. Naoki tidak berada jauh dari jangkauannya, melainkan ia sendiri yang menjauh dari Naoki. Itu adalah kebodohnnya. Tapi, ia pastikan tidak akan ada lagi jarak diantara mereka.

Mereka berdua sudah terlanjur bahagia dengan hanya tumbuhnya harapan itu, mereka sudah bertekad. Yang tidak mereka yakini adalah betapa naif harapan mereka.

***