24 EGOIZM

Sebulan berlalu sejak kejadian itu. Tapi, Naoki masih bersikap seperti mayat hidup. Diam seribu bahasa, hanya memakan apapun yang disuapkan padanya, tidak berekspresi apapun dan tak menjawab pertanyaan apapun.

Bagi Makoto ini mungkin waktu yang dibutuhkan Naoki untuk menata hatinya, Makoto sangat memahaminya seberapa lamanya waktu yang Naoki butuhkan untuk kembali bangkit, dengan hati se-RUSAK ini? Makoto tidak akan menyerah, karena keegoisannya ia sampai pada tahap ini.

Hampir setiap hari pula ayah Naoki datang dan hanya menatap putranya dari balik pintu. Makoto tidak mengusiknya sedikitpun, bahkan bertanya padanya pun tidak. Makoto memahami, Kakeru belum cukup berani untuk menemui Naoki, yang mungkin saja dalam keadaannya saat ini tidak mengenalinya.

Hal yang mengusiknya justru.. Naoki sendiri.

Kemarin sang ayah Naoki, Kakeru menemuinya. Ia ingin jika Naoki kembali padanya. Kakeru berjanji akan menjaga Naoki dengan baik, dan menebus semua perbuatannya pada Naoki selama ini.

Makoto mendengarkannya.. hanya mendengarkan. Tidak bicara, tidak menjawab. Hatinya berisik. bertanya banyak hal pada otaknya yang agung.. 'bagaimana jika ternyata Naoki tidak kembali seperti semula? terus seperti itu?' ia menggeleng pelan.. 'lalu bagaimana jika Naoki mengetahui faktanya, bahwa karena ayahnya adalah alasan sang ibu memutuskan untuk bunuh diri?'

Akan sehancur apa Naoki?

Tepat setelah Kakeru pergi, sang nenek datang berkunjung. Frustasi seakan menumpuk pada ekspresi tuanya yang semakin terlihat oleh kerut-kerut lelah wajahnya.

"Aku tidak sanggup lagi sensei. Jiwaku tidak cukup kuat melihat cucuku seperti itu," ia menangis, menutup wajahnya sambil menggeleng pelan. "Esok aku akan pulang ke Kumamoto" katanya pasrah, tepatnya ia sudah menyerah. Ia sudah lelah.

'Kau akhirnya ingin meninggalkannya juga?' benak Makoto mengejek, ia tahu Yamada-san bukanlah orang yang sabar. Seorang nyonya besar sepertinya, apapun yang ia inginkan akan langsung ada di tangannya. Dari kehidupannya hingga usia tua, sayangnya tak memberi cukup banyak pengalaman dan pemahaman tentang sebuah kesabaran.

"Aku titip Naoki padamu sensei. Apapun kebutuhan Naoki akan aku berikan, dan apapun yang kau-"

"Aku minta maaf Yamada-san," Makoto mendelik. jika Makoto tidak menyela kalimat yang akan di ucapkan Yamada-san kepadanya, mungkin saja Makoto malah akan membenci nenek dari Naoki ini. Yamada-san menyadari kelancangannya dan menunduk dalam. "Apakah jika nanti Naoki sudah kembali seperti semula, anda akan membawanya?"

Sang nenek mengangguk mantap. senyum sinis Makoto tersungging. "Baiklah kalau begitu. tapi dengan satu syarat"

kepala Yamada-san berputar cepat. melihat lawan bicaranya dengan tatapan tak menyangka. "Kau pikir kita sedang berbisnis?!"

"Saya hanya mengajukan syarat. Anda telah menitipkan cucu berharga anda pada saya. tidak bolehkah saya memiliki sedikit penghargaan atas itu?" mata kelam Makoto berkilat

"Apa syaratnya?"

"Jika Naoki mengetahui fakta tentang rekaman cctv itu dan alasan Miyuki-san bunuh diri. saya akan membawa Naoki bersama saya, dan saya tidak akan membiarkan Naoki kembali pada anda"

Neneknya tercengang.. benaknya memaki, siapa Makoto yang lancang ini? "Aku neneknya sensei! kenapa kau begitu terobsesi dengan Naoki?! anda tidak waras?!" suara bentakkan itu cukup keras, hingga membuat cucu perempuannya masuk dengan panik. Wajah penuh tanya ia lemparkan pada Makoto.

"Saya hanya ingin memastikan Naoki.. tidak berkubang pada tempat yang salah," Makoto bicara dengan sangat tenang. tidak sedikitpun terusik dengan amarah lawan bicaranya.

"Kau pikir rumahku yang aman adalah tempat yang salah bagi Naoki?!"

"Anda terima syarat yang saya ajukan?" pertanyaan sang nenek tidak ia hiraukan.

"Aku bersumpah Naoki akan tinggal denganku seperti yang Miyuki inginkan!" Yamada-san berbalik dengan kasar dan pergi begitu saja. cucu perempuannya membungkuk pada Makoto sebelum pergi dengan wajah panik penuh tanda tanya.

Makoto terdiam.. ia bahkan tidak bisa mempercayai apa yang telah ia katakan tadi.

Naoki? dia masih mematung.. tapi telinganya terus mendengarkan.

***

Suap demi suap makanan dari tangan Makoto masuk ke dalam mulut Naoki yang patuh tapi tetap tak bersuara. Meski begitu Makoto tetap mengajaknya bicara. Lalu pembicaraan itu berhenti ketika seorang Dokter yang merawat Sagiri memanggilnya. "Aku pergi sebentar ya Naoki, kalau bisa kau habiskan makananmu ya." kata Makoto sambil berlalu.

Tidak menjawab. Mata Naoki terus mengikuti sosok Makoto yang kini hilang di balik pintu.

Sang Dokter berjalan pelan menuju ruangan Sagiri dirawat. Ruang Hydrangea. Wajah Dokter tampak muram, seperti biasa Makoto selalu menarik nafas saat akan membuka pintu kamar itu. Tapi seperti biasa pula harapan-harapan dalam hatinya utuh sebagai harapan semata.

"Kau tahu Makoto-kun" Dokter memulai pembicaraan sembari mengatur beberapa selang yang menempel pada tubuh Sagiri. "Kemarin saat kau tak menjenguknya denyut jantungnya tiba-tiba menurun"

Makoto terperajat.

"Bukan masalah besar, karena alat-alat ini menyokongnya untuk tetap hidup," sang Dokter menghela nafas "Hanya bernafas dan memompa jantungnya." katanya pelan.

"Apa maksud Dokter?" Makoto mulai resah.

"Menyerah saja Makoto-kun. Otak Sagiri sudah tidak lagi merespon. Jika alat-alat ini kita cabut dia akan langsung meninggal," sang dokter menggenggam tangan dingin sagiri, ia tahu betul kalimat itu akan sangat menyakiti Makoto "Makoto-kun, relakan Sagiri pergi."

"Jika Dokter khawatir akan biaya Rumah Sakit-"

"Ini bukan soal uang Makoto-kun!!"

Makoto terduduk di sisi ranjang, lututnya mendadak lemas, telinganya seakan tak mau mendengar kalimat selanjutnya dari sang Dokter.

"Apa yang membuatmu begitu keras kepala?! Kau menahan Sagiri sekuat tenaga disini dan lagi bocah laki-laki itu? Dia masih punya keluarga kan?! Kau pikir mereka apa? Robot mainan rusak yang sedang kau coba reparasi?! Sadarlah Makoto! Sagiri tidak memiliki lagi harapan hidup, kau tahu pasti hal itu, tapi kenapa kau masih menutup mata?!"

"Masih!! Sagiri masih hidup!! Dia akan terus hidup!!" air mata Makoto mengalir deras "Tolong dia! Dia pasti akan bangun suatu hari nanti! Kumohon tunggulah sebentar lagi!" entah apa yang membuatnya begitu yakin adik perempuannya akan sadar kembali, selain rasa egois. Kini ia menenggelamkan wajahnya disisi ranjang Sagiri berbaring.

"Sadarlah Makoto-kun" Dokter mengusap kepala Makoto dengan lembut. Sudah bertahun-tahun ia merawat dua kakak beradik malang itu. Sejak biaya rumah sakit ini ditanggung oleh kedua orang tua mereka hingga kini Makoto yang membayarnya. "Egosentrimu itu akan menyakiti dirimu sendiri"

Makoto menggeleng. 'Sagiri akan bangun, dia akan bangun.'

"Bocah laki-laki itu masih memiliki harapan hidup dan mungkin saja harapanmu ada padanya," lalu Dokter berlalu meninggalkan Makoto yang masih menangis sendirian.

***

"Nii-chan egois!!" suara mungil Sagiri saat masih kecil terngiang ditelinganya.

'Yaa aku memang egois'

"Kenapa kau tak pernah dengarkan mama sedikit saja? Mama juga ingin yang terbaik untuk kalian!"

'Suara mama yang ku dengar terakhir kalinya. Terdengar begitu sedih.'

'Aku tidak pernah bertanya apa sebenarnya keinginan Sagiri, apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orangtua kami. Aku hanya langsung menyimpulkan, egois sekali ternyata.

Aku tidak perduli yang lain.. selama aku dan hal yang aku jaga baik-baik saja.'

Makoto perlahan bangkit dan mengusap wajahnya, memakai lagi kacamatanya yang tergeletak seadanya, melihat wajah Sagiri lamat-lamat, mengelus pipinya kemudian pergi.

Jalannya menunduk, beberapakali ia menabrak orang yang jalan berlawanan dengannya. Lalu saat ia sudah berdiri di depan pintu kamar Naoki, ia kembali mengharapkan sesuatu dari balik kamar ini. Seperti orang yang putus asa.

Dengan pelan ia membuka pintu itu. Disana ada Naoki yang duduk diatas ranjangnya, menghadap pintu, melihatnya, matanya tak lagi kosong... rebootnya sudah berakhir? Apakah hatinya sudah sedikit tertata?

Harapan tadi.. nyata.

"Kau habiskan makananmu?" Makoto tersenyum lembut

"Rasanya hambar" jawab Naoki parau

'Karena aku egois, aku akan terus menjaga mereka sendirian. Memiliki mereka sendirian, berusaha mempercayai mereka sendirian. Karena aku egois, mereka tidak boleh putus asa.'

***

avataravatar
Next chapter