webnovel

Kecelakaan

Bel tanda istirahat pertama baru saja berbunyi dengan nyaring di SMA Merpati. Jovanca dan Jessica baru saja menyelesaikan tugas bahasa Inggris mereka. Jessica mengembuskan napasnya secara kasar, kedua manik matanya menatap tempat duduk Rachel yang saat ini sudah kosong. Biasanya mereka bertiga akan selalu bersama di saat istirahat seperti ini, rasanya berbeda.

Jujur saja, Jessica kecewa saat tahu sikap kasar Rachel kepada Jovanca beberapa saat lalu. Padahal setahu dia Rachel itu adalah tipe gadis yang lembut, penyabar dan pendiam. Ternyata benar apa kata orang, jika seorang pendiam itu lebih mudah menyimpan banyak dendam daripada orang yang pemarah. Ingin sekali Jessica mengajak Rachel kembali bersahabat dengannya, tapi sulit.

Perut Jessica mulai berbunyi, menandakan cacing-cacing yang ada di perutnya sudah mendemo meminta untuk diisi. Jessica segera mengajak Jovanca untuk memasuki kantin. Tumben sekali hari ini kantin tidak penuh, sehingga Jessica dan Jovanca masih kebagian tempat duduk, meski berada di pojok kantin itu tidak masalah.

"Vanca, kamu yakin gak mau pesen makanan? Aku traktir deh ya?" tawar Jessica.

Jovanca menggelengkan kepalanya. "Nanti aja deh, perasaan aku tuh gak enak banget tahu gak sih? Ada apa ya?" tanyanya dengan wajah cemas.

Sejak pelajaran bahasa Inggris berlangsung, Jovanca memang merasa tidak tenang. Di kepalanya seperti terputar kejadian buruk yang menimpa salah satu orang tersayangnya. Hal itu membuat nafsu makan Jovanca berkurang, karena memikirkan Arya, Gavin, Sarah dan Rivaldi.

Jessica tersenyum melihat kecemasan Jovanca, dia membawa Jovanca ke dalam pelukan hangatnya. Terkadang, apa yang ada dalam feeling seseorang bisa benar-benar terjadi, atau juga tidak. Maka hanya satu jalan saja yang bisa kita lakukan agar itu tidak benar-benar terjadi, yaitu berdoa. Kecuali memang sudah takdir dari Sang Pencipta itu beda lagi.

"Tenang, Vanca. Aku yakin gak ada apa-apa kok. Itu cuma perasaan kamu doang," nasihat Jessica.

"Tapi kalau memang benar, gimana?" Perlahan, Jovanca melepaskan tubuhnya dari dekapan Jessica.

Jessica menepuk pundak kiri Jovanca, lalu menjawab, "Berdoa aja sih, udah aku minta kamu jangan banyak pikiran. Tunggu ya aku mau pesen makanan dulu, jangan kemana-mana!"

Sembari menunggu Jessica selesai memesan makanan, Jovanca memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya. Melihat-lihat akun sosial media, tapi tidak ada yang istimewa seperti orang lain. Tidak ada yang menanyakan kabarnya, atau pesan lainnya.

Tidak lama kemudian, datanglah kembali Jessica dengan membawa nampan berisi dua buah mangkuk soto ayam beserta teh manis hangat sebagai minumannya. Mereka berdua memakan makanan tersebut dalam diam dan menghabiskannya dalam waktu cukup singkat, mungkin hanya lima belas menit saja. Setelah selesai makan, Jovanca dan Jessica kembali melanjutkan aktivitas berbincang-bincang mereka.

"Vanca, kamu ngerasa gak sih kalau Rachel itu berubah banget tanpa sebab?" Kening Jessica mengernyit, menatap Jovanca intens.

Jovanca menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Iya, aneh banget tahu. Dia bilang iri sama aku, padahal kita udah temenan lama banget 'kan? Kira-kira kenapa, ya?" tanyanya balik.

Jessica menggelengkan kepalanya, sebagai jawaban bahwa dirinya tidak tahu. Jessica hendak bertanya kembali kepada Jovanca, tapi sayangnya tiba-tiba saja kantin dibuat heboh saat mereka mendapat kabar dari salah satu murid yang mengatakan terjadi kecelakaan hebat di depan SMA Merpati.

Degup jantung Jovanca mendadak berdegup tak karuan, gadis itu menarik lengan Jessica secara cepat sampai tepat di depan gerbang SMA Merpati. Di sana sudah terdapat banyak siswa-siswi juga para guru SMA Merpati yang melihat seorang lelaki yang menjadi korban tabrakan itu.

Air mata mulai berjatuhan satu-persatu membasahi kedua pipi Jovanca, kemudian dengan sepenuh keberanian Jovanca memasuki kerumunan orang-orang. Dunianya seakan berhenti berputar saat melihat siapa korban dari peristiwa tabrakan itu, Rivaldi.

Jovanca berjongkok tepat di samping Rivaldi, lalu berteriak, "Valdi! Bangun! Jangan tinggalin aku!"

"Vanca, tenang. Kita ke kelas dulu ya, soalnya Rivaldi mau dibawa ke rumah sakit," ajak Jessica.

Mau tak mau Jovanca menerima ajakan Jessica, sepulang sekolah nanti dia akan langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat bagaimana kondisi Rivaldi, Jovanca tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika Rivaldi sampai kenapa-kenapa.

***

Akhirnya bel pulang yang sudah dinanti-nantikan oleh Jovanca kini sudah berbunyi dengan nyaring. Gadis yang memiliki bulu mata lentik itu segera keluar dari kelas setelah guru yang mengajar keluar terlebih dahulu dari kelas. Melihat Jovanca terburu-buru keluar dari kelas, Jessica memutuskan untuk mengejar sahabatnya itu.

Sesuai perjanjian pagi tadi, Gavin sore ini menjemput Jovanca ke sekolah. Karena sudah sangat khawatir dengan kondisi Rivaldi, maka Jovanca cepat-cepat memasuki mobil Gavin. Mobil tersebut segera melaju meninggalkan area sekolah, sehingga Jessica kehilangan jejak Jovanca.

Mobil Gavin melaju membelah jalanan Kota Jakarta dengan kecepatan di atas rata-rata. Lelaki itu panik akibat Jovanca menangis tanpa henti mulai saat memasuki mobil, sampai sekarang telah sampai di tempat tujuan. Tentu saja Gavin heran, tidak biasanya Jovanca seperti ini.

"Vanca, jangan nangis terus dong. Kita udah sampe nih, turun yuk!" ajak Gavin.

Jovanca menganggukkan kepalanya pelan, kemudian turun dari mobil. Lalu bertanya kepada Gavin, "Kamu tahu di mana ruangan Rivaldi?"

Nama itu, sudah sangat Gavin kenali. Tapi apa benar Rivaldi yang akan Jovanca jenguk adalah orang yang sama dengan orang yang sangat dirinya benci? Jika iya, maka Gavin berjanji tidak akan membiarkan Jovanca berlama-lama di rumah sakit itu.

Rasa penasaran sudah sangat menguasai diri Gavin, maka dari itu dia segera membawa Jovanca masuk ke rumah sakit besar tersebut. Sebelumnya, Gavin menanyakan terlebih dahulu di mana ruang rawat Rivaldi saat ini.

Setelah tahu di mana ruang rawat Rivaldi, cepat-cepat Jovanca menarik pergelangan tangan Gavin menuju ruangan yang disebut salah seorang suster tadi. Tapi sayangnya, ada hal yang membuat Jovanca panik. Dia melihat Arina sedang menangis di depan ruang rawat Rivaldi.

"T-tante, ada apa ini? Kenapa tante nangis?" Lalu, Jovanca duduk tepat di sebelah Arina.

Arina menolehkan kepalanya ke samping, menatap Jovanca tajam. "Ini semua gara-gara kamu, sialan! Coba aja kalau anak saya gak ngotot mau temuin kamu ke sekolah, pasti dia gak akan kayak gini!" bentaknya.

Kedua tangan Gavin terkepal kuat, melihat sepupunya dibentak seperti itu. Tapi untung saja dia sadar, bahwa saat ini dia masih berada di rumah sakit. Sehingga Gavin berusaha untuk meredam emosinya agar tidak meledak saat ini juga.

"Tante, maaf ya. Bukannya saya sok tahu, tapi kecelakaan yang dialami anak tante itu murni karena takdir. Jadi, jangan asal nuduh anak orang ya," peringat Gavin.

"Jangan ikut campur, kamu! Lebih baik sekarang kalian berdua pergi dari sini! Saya tidak mau kondisi anak saya lebih parah lagi karena kehadiran kalian!" usir Arina.

Emosi Gavin benar-benar tak tertahankan lagi, lelaki itu secara perlahan membantu Jovanca untuk berdiri dari posisi duduknya. Lebih baik keduanya pergi dari rumah sakit ini, daripada masalah yang lebih besar terjadi.

Dengan berat hati, Jovanca mengikuti Gavin untuk meninggalkan rumah sakit tersebut. Isakan tangisnya terdengar begitu menyayat hati Gavin. Mau bagaimana lagi, hanya inilah cara satu-satunya yang bisa dia lakukan agar tidak melihat Jovanca tersakiti.

"Vin, nanti malam kamu temenin aku lagi ya ke sini ..." lirih Jovanca.

"I-iya, nanti kita ke sini lagi ya," jawabnya lembut.