webnovel

Semoga Bahagia

Setelah selama dua hari tidak masuk kampus, akhirnya hari Rabu ini Rivaldi kembali berangkat ke kampusnya. Seperti biasa, Rivaldi melaksanakan sarapan pagi di kantin kampus ditemani kedua sahabatnya. Siapa lagi jika bukan Bevan dan Lukman. Mereka bersahabat baru kurang lebih satu tahun, tapi persahabatan mereka seperti sudah terjalin cukup lama.

Aneh sekali, sedari tadi Rivaldi hanya terdiam saja, melamun dan menatap lurus ke arah depannya. Entah apa yang ada di otaknya, sampai-sampai lelaki itu tidak mendengarkan candaan yang sudah dilontarkan beberapa kali oleh kedua sahabatnya. Mata Rivaldi juga tampak sayu, seperti orang tidak tidur selama beberapa hari, tubuhnya pun lemas.

Lukman dan Bevan menatap Rivaldi dengan tatapan serius, seolah-olah meminta lelaki itu agar membuka suaranya. Tapi hasilnya tidak ada sama sekali, Rivaldi masih menjelajahi lamunannya. Sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di kepala Lukman, lelaki itu mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Rivaldi, lalu berteriak cukup kencang dan hal tersebut berhasil membuat Rivaldi kaget.

"Anjir! Jangan teriak di kuping gue, dong!" protes Rivaldi.

Cengiran khas tampak di wajah Lukman, kemudian lelaki itu menepuk pundak kanan Rivaldi. "Lo ada masalah apa sih bre? Cerita dong sama kita, jangan dipikirin sendiri," bujuknya.

Kedua bola mata Rivaldi terputar malas, tidak mungkin dia harus menceritakan tentang pernikahan paksa yang dialaminya. Jika seperti itu, kedua sahabatnya bisa heboh. Bahkan bisa jadi kabar tentang pernikahan Rivaldi menyebar ke segala penjuru kampus. Karena Rivaldi bisa dikatakan cukup terkenal di kampusnya.

"Santai elah, gue gak ada masalah apa-apa kok. Semalam cuma karena begadang aja jadi lemes gini," alibi Rivaldi.

Bevan menatap Rivaldi tajam. "Bohong, gue tahu lo lagi bohong!" ucapnya tegas.

Mati-matian Lukman menahan tawanya agar tidak pecah saat ini juga, Bevan memang jago dalam hal akting. Lihatlah, baru saja Bevan mengatakan bahwa dirinya tahu bahwa Rivaldi sedang berbohong, padahal sebenarnya lelaki yang saat ini sudah menginjak usia dua puluh dua tahun itu tidak tahu sama sekali apakah Rivaldi sedang berbohong atau tidak.

"Apaan sih, lo? Jangan sok tahu," ucap Rivaldi ketus, wajahnya kelihatan menampilkan raut ketegangan.

Melihat raut wajah tegang Rivaldi, tawa Lukman tak tertahankan lagi. Lukman tertawa cukup keras di kantin, bersama Bevan. Membuat Rivaldi merasa jengkel memiliki kedua sahabat yang tidak bisa diajak serius. Memang bercanda itu boleh, tapi harus tahu waktu, tempat juga situasi.

Rivaldi mengembuskan napasnya secara kasar, kemudian meninggalkan kantin dan berniat memasuki kelas Gavin yang lokasinya tidak jauh dari kantin. Sejak dahulu, Rivaldi dan Gavin tidak pernah akur. Selalu saja ada hal yang membuat mereka berdua bertengkar hebat, padahal mereka berdua dulunya adalah sahabat baik.

"Woy, Valdi! Jangan sampai salah masuk kelas lo, ahaha!" peringat Bevan, diakhiri tawa ngakaknya.

Rivaldi tak peduli dengan teriakan Bevan, justru lelaki itu malah semakin mempercepat langkahnya agar segera sampai di kelas tujuannya. Setelah kurang lebih satu menit berjalan menuju kelas Gavin, akhirnya Rivaldi sampai tepat di tempat tujuannya. Tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, Rivaldi langsung memasuki kelas jurusan manajemen tersebut.

Kedua manik mata Rivaldi menatap nyalang Gavin yang sedang duduk bangkunya, kemudian langsung memberikan satu tonjokan di pipi kiri Gavin. Sontak saja hal itu membuat kedua sahabat Gavin yaitu Gio dan Arga merasa kaget, pasalnya selama ini Gavin tidak pernah bercerita jika dirinya sedang ada masalah.

"Woy, tenang dong. Jangan asal tonjok orang!" protes Arga.

"Tahu tuh, kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik. Jangan kayak gini caranya!" tegur Gio.

Ucapan Gio dan Arga barusan bagaikan angin lalu di pendengaran Rivaldi. Tatapan nyalang terus Rivaldi layangkan kepada Gavin yang saat ini sedang berusaha untuk berdiri dibantu kedua sahabatnya.

Rivaldi menunjuk wajah Gavin menggunakan jari telunjuknya. "Jadi cowok jangan brengsek! Deket sama dua cewek sekaligus. Kalau lo mau hidup lo aman, tanggung jawab!" ucapnya dengan suara pelan.

Setelah itu Rivaldi keluar dari kelas Gavin dengan emosi yang masih menguasai dirinya. Sementara Gavin, terus mencerna setiap perkataan Rivaldi barusan. Gavin berjanji, akan membuat hidup Rivaldi tidak tenang, karena dia sudah membuat dirinya malu saat ini.

***

Sesampainya di sekolah Jovanca segera memasuki kelasnya dengan langkah tergesa. Hari ini dia diantar ke sekolah oleh Gavin, menggunakan mobil yang difasilitasi oleh Arya. Wajah Jovanca tampak tidak memancarkan raut kebahagiaan sedikit pun, setelah tahu bahwa Rivaldi sudah menikah dengan gadis yang akan berstatus sebagai Kakak tirinya.

Bahkan, sudah hampir dua hari Jovanca tidak menemui Rivaldi. Yang paling membuatnya kesal adalah tidak ada sedikit pun pesan yang dikirimkan Rivaldi kepadanya, padahal Jovanca membutuhkan perhatian dari kekasihnya itu.

Dengan kaki yang sedikit dihentak-hentakkan, Jovanca memasuki kelasnya. Tapi langkahnya harus terhenti saat tiba-tiba Rachel mencekal tangannya, sehingga mau tak mau Jovanca harus berhenti terlebih dahulu.

"Apa?" Salah satu alis Jovanca terangkat.

Rachel melipat kedua tangannya di depan dada. "Aduh, gue miris deh sama hidup lo! Punya pacar tapi menikah sama cewek lain, saran dari gue lebih baik lo jauhin Valdi aja deh. Karena ya percuma aja, yang ada nantinya lo bakal dicap sebagai pelakor, mau?" ucapnya dengan nada mengejek.

Sejak tahu bahwa Rivaldi sudah menikah, memang Jovanca berniat ingin mengakhiri hubungannya dengan Rivaldi. Akan tetapi, dalam dirinya seperti ada lem perekat yang menahan agar tidak menyudahi hubungannya. Tapi, Jovanca akan berusaha untuk tetap mempertahankan hubungannya terlebih dahulu.

Senyuman palsu mengembang di wajah Jovanca, di saat suasana hatinya sedang tidak baik dia masih selalu bisa menampilkan senyumannya, walau sebenarnya itu hanyalah senyuman palsu. Tapi hanya cara itulah yang dapat Jovanca berikan untuk menutupi semua rasa sedih.

"Terserah lo deh, Chel. Mau lo ngomong apapun gue gak akan peduli. Mau gue disebut pelakor kek, apa kek. Gue gak akan pernah peduli!" Lalu, Jovanca kembali melanjutkan langkahnya dan memasuki kelas.

Baru saja Jovanca terduduk di bangkunya, tiba-tiba Jessica langsung memeluknya erat. Jessica menangis sejadi-jadinya sampai beberapa kalo terbatuk. Semalam, kedua orang tua Jessica ditangkap polisi karena terkena kasus korupsi.

Jovanca membalas pelukan Jessica, kemudian bertanya, "Kamu kenapa?"

"Mamah sama papah aku ditangkap polisi ... Aku minta sama kamu, jangan sampai ada yang tahu hal ini, ya?" pinta Jessica dengan suara lirihnya.

Jovanca menganggukkan kepalanya pelan lalu lagi dan lagi menampilkan fake smilenya, tak lama kemudian dia melepas pelukannya dari tubuh Jessica begitupun sebaliknya. Jovanca menghapus jejak-jejak air mata Jessica, di kelas hanya ada mereka saja karena hari masih cukup pagi. Sehingga dapat dipastikan rahasia Jessica bisa aman.

Namun sayangnya, Rachel ternyata diam-diam mendengarkan semua rahasia yang diucapkan Jessica. Sebuah ide jahat terlintas di otaknya, untuk membuat hubungan persahabatan Jessica dan Jovanca retak. Ide yang dapat dikatakan dapat membuat Jessica malu.

Senyuman licik tampak dengan jelas di wajah Rachel. "Lihat aja, Jes, Vanca. Gue bisa buat hubungan persahabatan kalian berdua hancur," gumamnya.

Next chapter