17 Hilang Ingatan

Sudah kurang lebih empat minggu Rivaldi tidak kunjung membuka matanya. Hal itu membuat sahabat dan kerabat dekatnya yang lain merasa sedih. Apa lagi dokter tidak dapat memprediksi kapan kira-kira Rivaldi bisa membuka matanya kembali. Hanya Arina dan Veronika yang bergantian menjaga Rivaldi siang dan malam. Mereka berdua berharap ada keajaiban.

Malam ini, kebetulan Veronika ingin menjaga Rivaldi bersama Arina. Di dalam ruangan berbau obat-obatan hanya terdengar suara jarum jam saja yang berputar. Arina menatap Anak lelaki semata wayangnya yang sedang terbaring lemah, dengan sebuah perban yang berada di kepalanya dan oksigen sebagai alat bantunya untuk bernapas, sesak rasanya Arina melihat kondisi Rivaldi seperti itu.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi rasa kantuk tak kunjung Arina rasakan. Dia ingin hari-harinya kembali seperti dahulu, ada Anaknya yang bisa selalu menemani. Tidak seperti sekarang ini, kesepian menunggu keajaiban datang. Selama empat minggu ini, hari-hari Arina rasanya sangat hampa.

"Sayang, bangun dong. Mamah kangen sama kamu ..." lirih Arina.

Tidak ada respon sama sekali dari Rivaldi, membuat Arina tidak dapat lagi menahan tangisannya agar tidak pecah. Mendengar Arina kembali menangis, tidur Veronika terganggu. Kedua matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk, kemudian menghampiri Arina yang sedang duduk tepat di samping brankar Rivaldi.

"Mah, jangan nangis ya. Aku yakin kok pasti Valdi akan cepat sadar," nasihat Veronika.

Arina menatap Veronika. "Tapi, kapan Valdi akan sadar? Mamah kangen sama dia yang selalu kasih mamah perhatian," jawabnya dengan suara serak khas orang menangis.

Jika dokter tidak bisa memprediksi kapan Rivaldi akan sadar, Veronika pun sama. Yang bisa dia lakukan hanya berdoa dan terus menguatkan Arina dengan menepuk-nepuk pundaknya, juga sesekali memijat pundak Arina agar wanita itu merasa lebih tenang.

Veronika menggenggam jemari Rivaldi kuat, apa yang Arina rasakan turut dia rasakan. Cairan bening mulai menumpuk di kedua pelupuk mata Veronika, lalu tidak lama kemudian cairan bening itu mulai jatuh satu-persatu membasahi kedua pipi mulusnya.

Tiba-tiba saja Veronika merasakan jemari Rivaldi bergerak, lima menit setelah itu mulai terbukalah kedua mata Rivaldi. Hal itu tentu membuat Veronika maupun Arina kaget bukan main. Setelah menunggu selama empat minggu, akhirnya Rivaldi kembali sadar.

"Valdi! Sayang, akhirnya kamu sadar juga! Mamah kangen banget sama kamu!" Arina memeluk tubuh Rivaldi.

Wajah Rivaldi tampak seperti orang kebingungan, kedua manik matanya bergerak ke sana ke mari seolah-olah mencari keberadaan orang yang dirinya kenali. Melihat ekspresi wajah Rivaldi tidak seperti biasanya, Veronika memutuskan untuk memanggil dokter.

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya dokter yang dipanggil oleh Veronika memasuki ruang rawat diikuti oleh dua orang suster di belakangnya. Dokter memeriksa kondisi Rivaldi dengan serius, setelah itu dokter yang diketahui bernama Amanda mengajak Arina ke ruangannya.

"Silahkan duduk bu," titah dokter Amanda.

Arina mengangguk. "Baik dok, jadi bagaimana kondisi anak saya?" tanyanya tak sabaran.

"Anak ibu mengalami amnesia akibat benturan yang cukup keras di kepalanya. Tapi ibu tenang aja, ingatan anak ibu bisa pulih asalkan sering melakukan terapi," jelas dokter Amanda.

Dada Arina terasa sesak saat dokter memberikan penjelasan tersebut. Tapi Arina akan berusaha untuk tetap kuat, demi Rivaldi. Agar Rivaldi juga dapat turut kuat dan bisa cepat sembuh dari amnesianya.

"Terima kasih dok, kalau begitu saya permisi." Lalu, Arina keluar dari ruangan dokter.

Arina menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah lemas, semua ini terjadi karena ulah Jovanca. Coba saja kalau Rivaldi tidak berniat pergi untuk menemui Jovanca, maka kejadian buruk seperti ini tidak akan menimpa Rivaldi. Dalam hati Arina berjanji, akan membuat rasa sakit yang Rivaldi alami, terjadi pada orang tersayang Jovanca.

Kedua tangan Arina terkepal kuat, menatap lurus ke arah depan lalu bergumam, "Lihat aja, aku gak akan membiarkan orang yang sudah membuat anakku terluka hidup damai."

***

Hari ini adalah hari Minggu, sesuai kabar yang telah Jovanca dapat dari Gavin, bahwa pagi ini Rivaldi sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Jovanca sudah bersiap-siap sejak pagi hari, karena dia ingin menjemput Rivaldi. Tentu saja akan diantar oleh Gavin, takut terjadi sesuatu yang buruk.

Jovanca menuruni anak tangga satu-persatu, sebelum berangkat gadis yang memiliki tubuh langsing itu memilih untuk sarapan terlebih dahulu bersama keluarga kecilnya. Di meja makan sudah ada Sarah, Arya dan Gavin. Sedikit informasi, Sarah dan Arya sudah menikah sejak dua minggu yang lalu.

Raut wajah Jovanca tampak tidak seperti biasanya, dia bahagia hari ini. Karena doa yang sudah dipanjatkannya setiap pagi terkabulkan juga. Yaitu Rivaldi bisa berjuang dari masa kritisnya. Hanya itu informasi yang Jovanca dapatkan, dia masih belum tahu bahwa Rivaldi mengalami amnesia atau dengan kata lain lupa ingatan.

Jovanca duduk di samping Sarah, lalu memeluk wanita yang saat ini sudah berstatus sebagai Ibu sambungnya. Melihat Anak dan Istri barunya sangat akrab, Arya bersyukur sekali. Dia berjanji dalam dirinya akan selalu menjaga keutuhan keluarga kecilnya, Arya tidak ingin gagal menjadi seorang Suami seperti dulu.

"Tumben banget kamu bahagia kayak gini, ada apa sih?" tanya Sarah penasaran.

"Iya, bagi cerita dong sama kita," bujuk Arya.

Secara perlahan, Jovanca melepaskan pelukannya dari tubuh Sarah, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jawaban apa yang seharusnya Jovanca berikan kepada Arya dan Sarah? Karena tidak mungkin jika dia harus berkata jujur bahwa hari ini akan menemui Rivaldi. Bisa-bisa dia membuat kedua orang tuanya kecewa.

Gavin tersenyum tipis, lalu menjawab, "Jadi, Vanca itu senang karena mau ketemu sama temennya."

"Nah, hehe. Iya itu, aku mau ketemu sama temen aku yang baru aja keluar dari rumah sakit. Boleh kan yah? Bun?" Kedua manik mata Jovanca menatap Arya dan Sarah bergantian.

Tentu saja Arya dan Sarah sama-sama menganggukkan kepala mereka, pertanda memberi ijin untuk Jovanca bertemu dengan temannya. Untuk sementara, mungkin Jovanca akan menutupi terlebih dahulu bahwa dia masih menjalin hubungan dengan Rivaldi. Tapi seiring berjalannya waktu, Jovanca akan berkata jujur kepada semuanya.

Agar semua orang tahu, dan tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Mau bagaimanapun respon orang-orang nanti, Jovanca tidak peduli. Yang terpenting bebannya tidak akan mengusik ketenangan hidupnya lagi.

"Ya udah, kalau gitu aku pergi sekarang ya ayah, bunda." Lalu, Jovanca bangkit dari posisi duduknya dan mengalami punggung tangan Arya dan Sarah bergantian diikuti oleh Gavin.

Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Jovanca dan Gavin mulai meninggalkan ruang makan. Jovanca tidak sabar ingin segera bertemu dengan Rivaldi, karena selama lelaki itu dirawat, Arina selalu melarang Jovanca untuk menjenguk Rivaldi.

Namun, langkah Jovanca dan Gavin harus terhenti saat tiba-tiba saja terdengar notifikasi dari ponsel Jovanca berbunyi. Gadis berusia delapan belas tahun itu memilih untuk melihat terlebih dahulu, siapa yang mengirimnya pesan.

Jovanca kaget, saat melihat siapa yang mengirimnya pesan dan pesan apa yang dikirim. Tapi, Jovanca tidak akan percaya begitu saja dengan perkataan Veronika, dia tetap memilih untuk mengajak Gavin ke rumah sakit dan merahasiakan terlebih dahulu pesan apa yang dikirimkan Veronika.

"Kenapa, Vanca? Siapa yang kirim kamu pesan?" tanya Gavin dengan keningnya yang berkerut.

Jovanca menggelengkan kepalanya pelan, kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeansnya. "Gapapa kok, santai. Ayo berangkat!" jawabnya seperti orang yang tidak memiliki masalah.

avataravatar
Next chapter