webnovel

Girls Like YOU!

Kata orang-orang, Hanna Choo pemalu, tidak cantik...tak dipedulikan... Sampai Mama hendak menjodohkannya. Akhirnya Hanna sadar, ia benci hidupnya! Seorang gadis pendiam bermetamorfosa menjadi seseorang yang tak pernah dikira orang-orang...

ellenlevina22 · 青春言情
分數不夠
7 Chs

Bab 6 Membentaki Katie Leung

Aku terbangun lebih awal dari biasanya. Dan di hari-hari lamaku,mungkin aku akan memilih berbaring sebentar lagi sementara aku hanya akan menghabiskan 10 menit untuk mandi dan berganti baju. Tapi semenjak aku memutuskan untuk membuang baju-baju kuno itu dan membeli pakaian yang betul-betul ingin kukenakan secara fisik dan jiwa, aku bisa memikirkan matang-matang pakaian seperti apa yang ingin kukenakan hari ini.

Aku duduk di depan kaca dengan wajah segar, kemudian memakai foundation, menggambar alis, maskara dan jangan pernah lupa-- lipstik. Aku punya lipstik yang telah lama terlupakan, mungkin berbulan-bulan di bagian terbawah laci meja tanpa pernah disentuh. Selama ini, tak ada alasan yang cukup untukku berdandan. Dan sekarang aku tahu, ketika kau punya pakaian yang betul-betul kau inginkan, tak mungkin kau akan memakainya begitu saja tanpa sedikit riasan di wajah.

Dan aku menikmati setiap detik seperti ini. Hidup tak lagi terasa datar dan membosankan, seawktu-waktu kau perlu meluangkan waktu untuk dirimu sendiri. Lalu kupoleskan lipstik merah bata Perfect Diary di bibir, dan aku tahu hari ini aku akan mengenakan gaun kuning itu.

Pertama, hari ini saking cerahnya sehingga langit benar-benar biru bersih sejauh ribuan kilometer, dan aku selalu suka pada hari-hari seperti ini. Langit biru hari ini akan cocok dengan gaun kuning cerah itu. Kedua, aku telah mengganti selera pakaianku beberapa hari sebelumnya dan ternyata respons orang-orang di kampus tak terlalu buruk . Tak ada yang menertawakanku, atau membicarakan di belakang (oh ya, mungkin saja ada, tapi aku tak tahu dan lebih baik tak tahu), jadi percobaan beberapa hari terakhir memberikan dorongan besar.

Bahkan untuk kelas hari Senin pagi, aku tergolong awal. Ini pertama kalinya aku punya kesempatan memilih tempat duduk di kelas besar Profesor Zhong. Satu dan dua baris terdepan sudah terisi orang-orang yang tak kukenal dan tengah menikmati sarapan mereka, tapi aku bisa duduk di barisan ketiga, dan hampir berupa VVIP (atau begitu menurutku). Selama satu tahun penuh di kelas Profesor Zhong, ini pertama kalinya aku tak duduk di belakang.

Kelas dimulai pukul 08.20, dan dari sekarang masih ada dua puluh menit tersisa sebelum Profesor datang. Dua puluh menit memberi perbedaan yang begitu berarti.

Lima menit kemudian, setengah kelas sudah terisi, dan 10 menit terakhir, kelas sudah hampir penuh, dan hanya tersisa bangku di pojok-pojok belakang yang kosong. Pantas saja aku tak pernah mendapatkan tempat bagus.

Kedua gadis yang duduk di sebelah kanak-kiriku keduanya asing. Gadis yang di sebelah kiriku berkacamata dan dengan potongan rambut bob sebahunya, ia tampak cerdas. Gadis cerdas yang serius dengan pelajaran, buktinya ia sudah menggenggam bolpoin di atas catatan. Sedangkan sebelah kananku, adalah tipe orang yang selalu membuatku merasa berasal dari kasta berbeda. Ia punya tinggi minimal diatas 170, dan aku hanya mencapai telinganya bahkan ketika duduk. Dengan jaket kulit hitam dan boots kulit, segala sesuatu yang menempel di badannya terlihat mahal. Bahkan potongan rambut cepaknya. Ia tak mengeluarkan buku catatan, namun iPad sebagai gantinya.

Keduanya tak terlihat seperti orang yang mudah diajak bicara. Dan si jaket kulit menjatuhkan bolpoin di tangannya, dan bolpoin itu berguling ke bawah kakiku. Mau tak mau, aku menunduk dan memungutnya.

"Thanks," gumamnya pelan, dan suaranya ringan dan lembut, "Apa itu Zara?"

"Apa?"

"Rokmu," tunjuknya, "Aku melihat Zara dan Charles&Keith memajang kemeja dan topi kuning terang minggu lalu, tapi tak melihat mereka memajang gaun yang kau pakai."

"Em, bukan. aku tak tahu soal Zara atau Charles&Keith, tapi aku tak membeli barang disana. Ini kudapat di toko cuci gudang ujung lorong Beijing Road."

Ia menatapku dengan aneh namun tak mengatakan apapun, namun bisa kurasakan ketertarikannya hilang.

"Oh, begitu," ucapnya sebelum kembali tenggelam pada dunianya dengan iPad.

Sebelum ada yang berinisiatif berbicara, Profesor Zhong muncul di depan pintu, dan berjalan ke depan kelas dengan tergesa-gesa. Ia datang dengan selembar kertas di tangan kanannya, tak ada tas, tak ada buku paket tebal nan besar, tak ada buderan sumber dan semacamnya. Tapi itulah ajaibnya, tak semua dosen mampu menerangkan tanpa buku, dan ia seolah telah menghafal seluruh isi buku dari cover hingga cover belakang. Ia berjalan dari pintu dengan kecepatan yang hampir mustahil untuk orang berusia di atas 60, dan seluruh kelas serempak mengunci mulut mereka, sehingga hanya suara lembaran buku dibuka yang terdengar.

Semua orang telah siap untuk mendengar isi bab baru, ketika perempuan Zara disampingku mendesis: "Kat!"

Volume suaranya cukup besar untuk didengar orang yang ia panggil, namun terlalu kecil untuk didengar seisi kelas. Ia tergolong manusia berdarah dingin, kau tahu-- orang-orang yang memakai pakaian merk dan tampang memikat serta postur bak model selalu dingin, baik perempuan maupun lelaki. Aku tak ingin menghakimi orang seperti itu, tapi rata-rata orang di Guangzhou selalu seperti ini, jadi mau tak mau kau harus mengakuinya. Mereka cantik dan pintar, tapi pernah cocok untuk dijadikan teman.

Ketika itu seorang gadis lainnya berjalan ke arah kami, dan menatap Zara dengan lega, seolah menemukan penyelamat atas keterlambatannya.

"Oh, aku terlambat!" suaranya lemah lembut namun panik. Ia adalah gadis dengan dengan kulit seputih salju, pinggang ramping dan kedua tungkai jenjang yang paling langsing di seantero kampus. Perempuan dengan bentuk tubuh tingkat 'setan'.

"Tak apa," Zara berusaha menenangkannya, "Kau duduk di sebelahku."

'Teknik Kepenulisan' menggabungkan tiga kelas secara bersamaan, yaitu kelas Jurusan Jurnalisme I, II, dan III angkatan 2016. Dan kelas gabungan seperti ini, yang mampu mengadakannya hanya dosen yang telah meraih gelar Profesor. Kelas diadakan di ruangan lantai I yang lebih seperti aula, ruangan lingkar membulat dengan lima deret. Seharusnya terdengar besar dan megah, tapi nyatanya orang-orang masih harus berebut tempat dengan sudut pandang yang bagus setiap kali kelas. Orang yang dapat bangku dua deret terakhir mulai kesulitan mendengar suara Profesor, terutama ketika orang di depanmu berbicara dengan orang di sebelahnya. Dan terlebih lagi, kelas ukuran ekstra namun ukuran papan tulis tak diperbesar. Kau tak yakin apa yang ditulis Profesor di depan kalau tak menyimak. Selebihnya, desain kelas ini tak jelek-- omong-omong.

Pagi ini pagi yang beruntung, secerah langit biru dan gaun kuningku dalam kelas. Bolpoin, pensil dan catatan-- segalanya telah siap, menunggu sesuatu keluar dari mulut Profesor. Tapi kemudian seorang gadis dengan rambut bergelombang yang diwarnai coklat mengkilap dengan topi kulit hitam dan manik-manik sebagai hiasannya berjalan mendekati orang di sebelah kananku, meminta tolong atas keterlambatannya dan tak mendapat kursi.

Aku hanya menengadah untuk melihat apakah mereka mendapat solusi, tapi kemudian aku mendapati mereka tengah menatap ke arahku. Dengan mata membesar, tersenyum ramah, dan suara lembut.

Jadi 'Kat' itu Katie Leung.

Senyum mereka begitu manis dan malu-malu sehingga perasaanku tidak enak. Kami bertiga terdiam selama sekitar tiga puluh detik, kami sama-sama tahu apa yang diinginkan satu sama lain, tapi tak ada yang memulai pembicaraan, hingga sudut-sudut bibir mereka mulai lelah (dan mungkin gigi mereka mulai mengering), akhirnya Katie Leung mulai berbicara.

"Hai," sapanya manis.

"Hai."

"Em, aku ingin tahu...bisa aku duduk disana?"

Bisa kurasakan hembusan nafas panjang baru saja keluar dari lubang hidungku, dan kekecewaan mulai melanda di dalamku. Pagi ini tak mudah, bahkan dalam setahun penuh ini kali pertama aku pernah mendapat kursi dengan sudut pandang terbaik.

Melihatnya aku teringat pada proposal yang telah kuselesaikan dengan memakan sehari dan semalam penuh setelah bergadang. Aku tak mencari perhitungan, tapi kekesalan itu muncul begitu aku melihat wajahnya.

Mendadak pagi ini tak lagi terasa cerah, dan gaun kuningku tak semenarik yang kukira, atau mungkin langit pagi di luar jendela tak sebiru yang kubayangkan. Kurasakan pantatku betul-betul terangkat dengan teramat lambat dan tak rela berdiri.

"Bu!"

Dibanding mengatakannya, kudapat diriku baru saja mengatakannya dengan keras. Mereka berdua melotot seolah tak menyangka dengan jawabanku sekaligus kaget. Suaraku pasti cukup keras karena Profesor bahkan menoleh ke arah kami, dan lebih dari setengah isi kelas meletakkan tatapan mereka ke diri kami.

"Harap semuanya bersiap-siap karena kelas kita dimulai," Profesor mengumumkan, terganggu dengan interupsi kecilnya.

Dan aku mulai memalingkan wajahku, kedua pipi dan telingaku memanas. Hei, aku tak bermaksud memancing perhatian semua orang! Mereka berdua mulai salah tingkah dan juga memalingkan wajah dari tatapan orang-orang.

"A-aku akan duduk di belakang," ujarnya sembari berlari ke barisan belakang dan tenggelam diantaranya.

"Katie!" Zara berusaha meraihnya, namun ia telah berlalu.

Pertunjukan selesai, dan Profesor mulai berbicara, dan seisi kelas mengubah titik fokus mereka ke depan. Tapi selama dua detik, si Zara melototiku-- dan tatapannya tak bisa dibaca. Ekspresinya tak terungkapkan.