Pagi ini suasana hari seakan menyambut Luqy dengan awan cerah dan matahari yang tak terlalu terik, awan biru yang menemani langkah seakan mendukung Luqy untuk mengikuti ujian seleksi perguruan tinggi yang diadakan oleh salah satu perguruan tinggi impian Luqy. Berbeda dengan yang lainnya, Luqy justru memasuki sebuah perpustakaan kota yang dinilai cukup sepi untuknya mempelajari materi yang akan diujikan nanti siang. Luqy memang mendapat kesempatan memperoleh undangan perguruan tinggi untuk tidak mengikuti seleksi, namun ujian kali ini Luqy lakukan karena ia harus memperoleh beasiswa dari perguruan tinggi tersebut.
Sepi, tenang dan nyaman. Sudut perpustakaan memang paling nyaman untuk membaca dan mempelajari materi-materi yang akan diujikan, apalagi kali ini perpustakaan dirasa lebih ramai dari biasanya. Deretan rak buku dirasa cukup aman menutup dirinya dari banyaknya pengunjung perpustakaan, lembar demi lembaran buku ia simak dengan teliti untuk mendapatkan jawab yang sesuai dengan soal-soal yang ia peroleh dari halaman internet. Beberapa buku yang ia ambil rupanya kurang jelas mendeskripsikan jawaban yang ia butuhkan hingga akhirnya Luqy memutuskan mengambil beberapa buku untuk menunjang belajarnya saat itu. Namun, seperti sudah ditakdirkan. Luqy tidak sengaja menyenggol seorang wanita dengan beberapa buku yang dibawanya, Luqy yang berniat mengambil buku di rak atas pun mencoba bertanggungjawab dengan membantu wanita itu membereskan buku yang berserakan.
"Ana?" ucap Luqy mengenali wanita itu.
"Test Of Profenciency in Korea, apa.." belum sempat Luqy menanyakan. Ana justru merebut buku itu dan pergi meninggalkan Luqy.
Luqy yang penasaran pun mencoba mengejar Ana hingga melupakan buku dan tas yang ia letakkan disudut perpustakaan.
"Korea? Kamu mau ke Korea, An?" tanya Ana yang mencoba mengacuhkan Luqy.
"Nggak, aku nggak baca buku ini. Tadi cuma mau aku beresin aja" ucap Ana berbohong.
"Kalau memang kamu nggak baca, kenapa sekarang masih ada di tangan kamu? Bukannya rak bahasa ada disebelah sana?" ucap Luqy menunjuk arah berlawanan dengan arah yang Ana lewati.
"Udahlah, urus aja urusan mu sendiri" ucap Ana sembari berjalan menuju pintu keluar perpustakaan.
"Kalau ini semua karna abangku, kamu salah ngehindarin aku. Oh ya, kamu kan memang hobi menghindar. Asal kamu tau, Na. Aku bahkan membenci abangku sendiri" ucap Luqy kembali menuju sudut perpustakaan. Ana hanya diam dan berjalan meninggalkan perpustakaan dengan pikiran yang coba ia lupakan.
Beberapa jam berlalu dan kini Ana tengah sibuk dengan troli belanjaannya. Beberapa bumbu racik, saos dan kecap manis ia ambil dalam jumlah banyak. Kini saatnya ia memasuki deretan mie instan dengan berbagai rasa, ia ambil masing-masing 5 bungkus dengan beberapa rasa yang berbeda. Seorang pekerja supermarket yang tengah memberesi rak mie instan pun melihatnya dengan tertegun-tegun.
"Banyak banget ambil mienya kak? Mau ke luar negeri ya?" tanya pelayan sok asik.
Ana hanya tersenyum dan mengangguk pelan dan tanpa terasa, troli yang dibawa Ana telah penuh dengan makanan dan minuman serbuk instan yang menurutnya akan sukar ditemui ditempat lain. Dengan tergopoh karena belanjaan yang banyak, Ana berjalan menyusuri gang rumahnya dengan perasaan sedih karna perpisahan yang akan ia jalani nanti.
"Bapaaaakkk!! Almaaa!! Aku pulang" seru Ana memasuki rumah dengan barang yang ia bawa.
"Loh, banyak banget. Kak?" tanya Alma bingung.
"Kalo masuk itu salam dulu" jawab bapak mengelap tangannya yang kotor karena masakan.
"Hehehe, iya. Assalamualaikum" ucap Ana sambil tersenyum dan menyalami tangan bapaknya.
"Waalaikumsalam, kamu nangis?" jawab bapak yang kemudian melihat mata Ana berwarna merah seperti habis menangis.
"Hehehe" kekeh Ana yang kemudian memeluk bapak dan adiknya.
"Aku pasti bakalan kangen kalian" ucap Ana yang tidak mau melepaskan pelukannya pada bapak dan adiknya.
"Kakak udah bilang sama Kak Raina?" tanya Alma.
Ana yang mendengar itu tiba-tiba melonggarkan pelukannya dan mencoba menghapus air matanya.
"Emang harus ya?" tanya Ana bingung.
"Harus kak, kakak tau kan rasanya gimana waktu dulu Kak Raina pergi tanpa pamitan ke kakak?".
"Iya, nak. Bener apa kata Alma, sekarang kamu telpon Raina. Suruh dia dateng ke angkringan ntar malem" jelas bapak memeberi masukan pada Ana.
Ana hanya mengangguk dan masuk kekamarnya dengan membawa barang belanjaan yang ia beli tadi sore, ia kemudian menata semua perlengkapan yang bisa saja ia butuhkan kedalam koper. Selesai dengan koper satu, Ana memutuskan menelpon Raina terlebih dahulu sebelum membereskan koper yang satunya. Untung saja Raina langsung mengangkat telpon dan mengiyakan permintaan Ana untuk bertemu diangkringannya nanti malam. Raina yang tidak menaruh curiga pun kembali memutuskan telpon dan melanjutkan aktivitasnya, sama halnya dengan Ana yang melanjutkan beberes koper pakaian yang akan ia bawa nantinya. Matanya tak lekang menyusuri sudut kamar yang akan ia tinggal tanpa ia tahu kapan akan kembali ke kamar itu lagi. Itulah satu-satunya cara Ana meraih cita-citanya, selain itu juga mungkin saja ia bisa melupakan masa lalunya saat sudah membuka lembaran baru dinegara yang baru. Rela tidak rela, itulah hal yang harus Ana putuskan. Entah keputusan atau bahkan keputusasaan.